LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM PENGELOLAAN AIR UNTUK
PERTANIAN
ACARA I
PENGUKURAN LAJU INFILTRASI
Disusun Oleh:
Golongan/kelompok :
Asisten Praktikum :
LABORATORIUM AGROHIDROLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ACARA I
PENGUKURAN LAJU INFILTRASI
ABSTRAKSI
Praktikum Pengelolaan Air untuk
Pertanian acara 1 dengan judul Pengukuran Laju Infiltrasi dilaksanakan pada
hari Jumat, tanggal 19 Februari 2016 di Laboratorium Agrohidrologi dan halaman
Stasiun Meteorologi Fakultas Pertanian,Universaitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Alat dan bahan yang digunakan adalah dua buah infiltrometer tabung konsetrik
(tabung dalam dan tabung luar), penggaris, ember, stopwatch, selang, dan air.
Praktikum ini dilaksanakan pada dua daerah pengamatan yaitu daerah dengan
vegetasi dan non vegetasi. Praktikum Pengelolaan Air untuk Pertanian acara 1
bertujuan untuk mengadakan pengukuran laju infiltrasi dan mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Infiltrasi merupakan peristiwa atau proses
masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan tanah dan terjadi secara
vertikal. Pengukuran laju infiltrasi menunjukkan bahwa tanah dengan vegetasi
memiliki laju infiltrasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah non
vegetasi. Semakin lama waktu infiltrasi, maka laju infiltrasi tanah dengan
vegetasi semakin menurun, sedangkan laju infiltrasi non vegetasi mengalami
fluktuasi. Pengujian selanjutnya menggunakan F-Test dan T-Test, hasil
menunjukkan bahwa antara tanah tanpa vegetasi dan tanah dengan vegetasi
menunjukkan perbedaan yang nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi
antara lain gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah, tekstur tanah, struktur
tanah, bulk density, dan total ruang pori (TRP) tanah, kerapatan lindak, dan
jumlah bahan organik tanah dalam tanah.
Kata kunci: laju inflitrasi, double ring infiltrometer, vegetasi
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Air merupakan faktor penting bagi tanaman karena
berkaitan dengan proses metabolisme tanaman. Kekurangan dan kelebihan air akan
menghambat proses metabolisme tanaman sehingga berdampak pada menurunnya
produksi tanaman. Dengan demikian, air yang diserap tanaman harus tepat
jumlahnya sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pemenuhan kebutuhan air untuk
tanaman perlu diperhatikan karena berkaitan dengan unsur hara dalam tanah. Hara
tanaman membutuhkan air sebagai medium untuk menunjang pertumbuhan tanaman.
Berkaitan dengan air dlaam tanah, air dibedakan menjadi 3 golongan yaitu: air
gravitasi, yaitu air yang selalu merembes ke bawah akibat adanya gaya
gravitasi, air ini dapat tersedia bagi tanaman namun tersedia dalam waktu yang
singkat; air higroskopis, yaitu air yang tidak dapat diserap oleh tanaman,
kecuali tanaman daerah kering; dan air kapiler, yaitu air yang tersimpan dalam
pori-pori tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler, dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Gaya gravitasi dan gaya kapiler inilah yang menyebabkan terjadinya
infiltrasi dalam tanah.
Infiltrasi merupakan peristiwa
atau proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan tanah dan
secara vertikal. Laju infiltrasi adalah banyaknya air yang masuk ke dalam tanah
per satuan waktu yang dinyatakan dalam mm/jam. Proses infiltrasi berawal ketika
air hujan menyentuh permukaan tanah dan masuk melalui pori-pori permukaan
tanah. Kemudian air tertampung di dalam tanah dan mengalir ke tempat lain
dengan arah lateral dan vertikal. Laju infiltrasi dapat digunakan untuk
menentukan kebutuhan air bagi tanaman. Dengan demikian, laju infiltrasi beserta
faktor-faktor yang mempengaruhinya penting untuk diketahui guna menentukan
jumlah air yang harus diberikan pada tanaman agar produktivitas tanaman dapat
dijaga atau ditingkatkan.
B.
Tujuan
Mengadakan pengukuran laju
infiltrasi dan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Infiltrasi merupakan peristiwa atau
proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan tanah dan terjadi
secara vertikal (Dariah dan Rachman, 2015). Infiltrasi merupakan proses yang
dinamis dan menjadi salah satu faktor yang paling penting dalam fase tanah pada
siklus hidrologi karena infiltrasi menentukan jumlah limpasan serta pasokan air
untuk profil tanah (Lado and Ben Hur, cit.
Bedbabis et al., 2014). Laju
infiltrasi merupakan ukuran dari laju air yang dapat diserap tanah, baik
berasal dari air hujan maupun dari irigasi (Ben Rouina, cit. Bedbabis et al.,
2014). Besarnya laju infiltrasi dinyatakan dalam millimeter per jam (mm/jam).
Secara umum, laju
infiltrasi dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Gaya
gravitasi dibatasi oleh besar kecilnya pori-pori tanah. Gaya gravitasi kurang
bekerja pada pori-pori tanah yang kecil, sedangkan gaya kapiler tanah justru
akan bekerja pada pori-pori tanah yang kecil. Gaya kapiler bersifat mengalirkan
air tegak lurus (ke arah vertikal) dan mendatar (ke arah horizontal). Kapasitas
infiltrasi merupakan laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah. Kapasitas
infiltrasi merupakan parameter hidrologi tanah yang penting karena dapat
berfungsi sebagai indikator degradasi tanah dan kekeringan (Bi et al., 2014).
Infiltrasi
merupakan interaksi kompleks antara intensitas curah hujan, karakteristik, dan
kondisi permukaan tanah. Besarnya intensitas curah hujan menentukan efektivitas
penyerapan air oleh tanaman. Air hujan pada intensitas curah hujan yang rendah
akan diserap oleh akar tanaman secara lebih efektif karena infiltrasi terjadi
secara sempurna. Sebaliknya, air hujan pada intensitas curah hujan tinggi tidak
dapat diserap oleh akar tanaman sepenuhnya, terlebih saat jatuh pada permukaan
tanah berpori kecil, sebagian besar dari air tersebut akan menjadi aliran
permukaan. Dalam kurun waktu tertentu, hujan dengan intensitas curah hujan
tinggi dapat menurunkan laju infiltrasi akibat kerusakan struktur permukaan
tanah (pemadatan) yang ditimbulkan oleh hujan tersebut (Arsyad dan Rustiadi,
2004).
Menurut Corn and
Digest (2011), laju infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
pori-pori tanah, sisa-sisa akar yang menempel pada tanah (bahan organik), dan
kandungan air tanah. Selain itu, laju infiltrasi juga dipengaruhi oleh kondisi
permukaan tanah, kualitas air, kondisi penutupan permukaan tanah, pencucian
partikel halus, dan pengolahan tanah. Semakin besar pori-pori tanah, infiltrasi
akan semakin cepat karena air mendapat gaya gravitasi yang besar. Sebaliknya,
semakin kecil pori-pori tanah, gaya gravitasi tidak dapat bekerja maksimal
(didominasi oleh gaya kapiler), sehingga infiltrasi berjalan lebih lambat.
Besarnya kandungan bahan organik di dalam tanah juga berpengaruh pada laju
infiltrasi. Semakin besar kandungan bahan organik di dalam tanah, baik berupa
seresah maupun sisa-sisa akar tanaman, kemampuan tanah untuk menjerap air akan
semakin besar, sehingga laju infiltrasi akan semakin cepat. Kandungan air tanah
juga menentukan besar kecilnya laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada tanah
kering lebih besar dibandingkan dengan tanah basah. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan tanah untuk menampung air (Corn and Digest, 2011).
Infiltrasi dapat
diukur dengan infiltrometer silinder atau infiltrometer sprinkler. Infiltrometer silinder merupakan alat ukur laju
infiltrasi yang paling banyak digunakan karena sederhana dan relatif murah.
Jika metode ini digunakan dengan tepat, informasi yang berguna saat air masuk
permukaan tanah dapat disediakan. Infiltrometer sprinkler lebih tepat digunakan ketika sistem yang dipelajari
melibatkan erosi, runoff, dan infiltrasi
air hujan, sedangkan untuk menentukan informasi infiltrasi pada system irigasi
permukaan, alur metode irigasi yang dijelaskan Kincaid (1986) harus digunakan
(Ward and Trimble, 2004).
III.
METODOLOGI
Praktikum Pengelolaan Air untuk Pertanian acara 1 dengan
judul Pengukuran Laju Infiltrasi dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 19
Februari 2016 di Laboratorium Agrohidrologi Departemen Tanah dan halaman
Stasiun Meteorologi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Alat dan bahan yang digunakan adalah dua buah double ring infiltrometer, penggaris, ember, stopwatch, selang, dan air.
Praktikum ini dilaksanakan pada dua daerah pengamatan
yaitu daerah dengan vegetasi dan non vegetasi. Double ring infiltrometer diletakan di atas permukaan tanah yang
datar dengan posisi tegak lurus permukaan tanah. Kemudian tabung infiltrometer
bagian luar dan dalam ditekan masuk kedalam tanah secara bergantian hingga
kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Tabung diperhatikan agar tidak miring dan
tidak merusak permukaan ketika dimasukan ke stanah. Kemudian, penggaris
diletakan kedalam tabung infiltrometer. Setelah itu, tabung diisi dengan air
pada tabung terluar hingga menggenang pada ketinggian tertentu. Setelah tabung
terluar tidak mengalami penurunan tinggi air atau daka kondisi jenuh, tabung
bagian dalam diisi pada ketinggian tertentu dan dicatat sebagai h1. Waktu
pengukuran penurunan tinggi air dicatat dan diamati interval waktu setiap 1, 2,
4, 8, dan 10 menit. Masing-masing interval dilakukan pengamatan dengan 3 kali
ulangan. Penurunan air pada tabung berdasarkan interval waktu pengamatan yang
dicatat sebagai h2 diamati dan dicatat hingga laju infiltrasi air ke dalam
tanah. Apabila air dalam tabung hampir habis, air ditambahkan hingga mencapai
tinggi awal. Langkah tersebut diulangi hingga infiltrasi konstan. Infiltrasi
konstan apabila pada tiga kali pengamatan selisih antara h1 dan h2 adalah
konstan. Setelah itu, data yang diperoleh diolah dengan interpolasi sehingga
didapatkan nilai laju infiltrasi setiap interval waktu.
IV. HASIL
PENGAMATAN
Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan
Laju Infiltrasi pada Lahan Vegetasi dan Lahan Non Vegetasi
No
|
Waktu Interval
|
Waktu Kumulatif
|
Tinggi Air (cm)
|
Infiltrasi
|
Infiltrasi
|
Laju Infiltrasi
|
||||||
Vegetasi
|
Nonvegetasi
|
Vegetasi (cm)
|
Nonvegetasi (cm)
|
Vegetasi (cm)
|
Nonvegetasi (cm)
|
Vegetasi (mm/jam)
|
Nonvegetasi (mm/jam)
|
|||||
H1
|
H2
|
H1
|
H2
|
|||||||||
1
|
1'
|
1
|
11
|
10,5
|
11
|
10,8
|
0,5
|
0,2
|
0,5
|
0,2
|
300,00
|
120,00
|
2
|
1'
|
2
|
10,5
|
10
|
10,8
|
10,7
|
0,5
|
0,1
|
1
|
0,3
|
300,00
|
90,00
|
3
|
1'
|
3
|
10
|
9,6
|
10,7
|
10,5
|
0,4
|
0,2
|
1,4
|
0,5
|
280,00
|
100,00
|
4
|
2'
|
5
|
9,6
|
8,6
|
11
|
10,5
|
1
|
0,5
|
2,4
|
1
|
288,00
|
120,00
|
5
|
2'
|
7
|
8,6
|
7,8
|
10,5
|
9,8
|
0,8
|
0,7
|
3,2
|
1,7
|
274,29
|
145,71
|
6
|
2'
|
9
|
7,8
|
7
|
9,8
|
9,5
|
0,8
|
0,3
|
4
|
2
|
266,67
|
133,33
|
7
|
4'
|
13
|
7
|
5,4
|
11
|
10,8
|
1,6
|
0,2
|
5,6
|
2,2
|
258,46
|
101,54
|
8
|
4'
|
17
|
11
|
9,5
|
10,8
|
10,1
|
1,5
|
0,7
|
7,1
|
2,9
|
250,59
|
102,35
|
9
|
4'
|
21
|
9,5
|
7,9
|
10,1
|
9,2
|
1,6
|
0,9
|
8,7
|
3,8
|
248,57
|
108,57
|
10
|
8'
|
29
|
7,9
|
5
|
11
|
9,6
|
2,9
|
1,4
|
11,6
|
5,2
|
240,00
|
107,59
|
11
|
8'
|
37
|
11
|
8,3
|
9,6
|
8,1
|
2,7
|
1,5
|
14,3
|
6,7
|
231,89
|
108,65
|
12
|
8'
|
45
|
8,3
|
5,4
|
8,1
|
6,7
|
2,9
|
1,4
|
17,2
|
8,1
|
229,33
|
108,00
|
13
|
10'
|
55
|
11
|
7,7
|
11
|
9,3
|
3,3
|
1,7
|
20,5
|
9,8
|
223,64
|
106,91
|
14
|
10'
|
65
|
11
|
7,5
|
9,3
|
7,6
|
3,5
|
1,7
|
24
|
11,5
|
221,54
|
106,15
|
15
|
10'
|
75
|
11
|
7,5
|
7,6
|
5,9
|
3,5
|
1,7
|
27,5
|
13,2
|
220,00
|
105,60
|
Tabel 2. Tabel Hasil
Perhitungan Interpolasi Kelipatan Menit Ke 5 pada Hasil Pengamatan Infiltrasi
Menit ke
|
Laju Infiltrasi (mm/jam)
|
|
Vegetasi
|
Nonvegetasi
|
|
5
|
288,00
|
120,00
|
10
|
264,62
|
125,38
|
15
|
254,52
|
101,95
|
20
|
249,08
|
107,02
|
25
|
244,29
|
108,08
|
30
|
238,99
|
107,72
|
35
|
233,92
|
108,38
|
40
|
230,93
|
108,41
|
45
|
229,33
|
108,00
|
50
|
226,48
|
107,45
|
55
|
223,64
|
106,91
|
60
|
222,59
|
106,53
|
65
|
221,54
|
106,15
|
70
|
220,77
|
105,88
|
75
|
220,00
|
105,60
|
Tabel
3. Tabel Hasil Uji T pada Pengamatan Laju Infiltrasi
Menit
ke
|
Infiltrasi
(mm)
|
Hasil
Uji f
|
Hasil
Uji t
|
|
Vegetasi
|
Nonvegetasi
|
|||
1
|
293.33
|
103.33
|
*
|
*
|
2
|
276.32
|
133.02
|
*
|
*
|
4
|
252.54
|
104.15
|
ns
|
*
|
8
|
233.74
|
108.08
|
*
|
*
|
10
|
221.72
|
106.22
|
ns
|
*
|
* : signifikan
ns : tidak
signifikan
IV. PEMBAHASAN
Praktikum Pengelolaan Air untuk Pertanian acara 1 yang
berjudul pengukuran laju infiltrasi bertujuan untuk mengadakan pengukuran laju
infiltrasi dan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan
hasil pengamatan dan perhitungan laju infiltrasi pada tanah dengan vegetasi dan
non vegetasi dapat dibuat grafik sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Laju Infiltrasi pada Berbagai Waktu
Kumulatif
Berdasarkan
Gambar 1 dapat diketahui bahwa laju infiltrasi pada tanah vegetasi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan tanah yang non vegetasi. Pada grafik tersebut, laju
infiltrasi pada menit pertama hingga menit-menit selanjutnya terus mengalami
penurunan sedangkan pada laju infiltrasi di daerah non vegetasi, mengalami laju
infiltrasi yang fluktuatif. Hal ini terlihat pada interval menit kedua terjadi
peningkatan laju infiltrasi yang diikuti penurunan laju infiltrasi di interval
berikutnya. Pada grafik 1 juga ditunjukkan bahwa laju infiltrasi pada tanah
dengan vegetasi lebih cepat dibandingkan dengan laju infiltrasi pada tanah non
vegetasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad (1989), penutupan tanah dengan
vegetasi dapat meningkatkan laju infiltrasi suatu lahan, hal ini didukung pula
dalam penelitian Utaya (2008), dimana perbedaan kapasitas infiltrasi pada
berbagai penggunaan lahan menunjukkan bahwa faktor vegetasi memiliki peran
besar dalam menentukan kapasitas infiltrasi. Menurut Winanti dalam Utaya (2008),
pengaruh vegetasi terhadap infiltrasi ditentukan oleh sistem perakarannya yang
yang berbeda antara tumbuhan berakar pendek, sedang, dan dalam. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kapasitas infiltrasi pada tanah bervegetasi akan
cenderung lebih tinggi dibanding tanah yang tidak bervegetasi.
Proses
masuknya air secara vertikal kedalam tanah atau Infiltrasi sangat mempengaruhi
ketersediaan sumber daya air dalam tanah. Banyaknya air per satuan waktu yang
masuk melalui permukaan tanah disebut laju infiltrasi (infiltration rate) dinyatakan dalam mmh-1 atau cmh-1
dimana laju infiltrasi dapat diperbesar dengan mempengaruhi salah satu dari
faktor-faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi yaitu, meningkatkan banyaknya
air yang masuk kedalam tanah dengan meningkatkan simpanan depresi yang
ditimbulkan oleh pengolahan tanah, pembuatan galengan atau pengolahan lahan
menurut kontur, mengurangi besarnya evaporasi, dengan pemberian mulsa misalnya
juga memperbesar jumlah air yang masuk kedalam tanah, pemupukan dengan pupuk
organik, penutupan tanah dengan vegetasi atau sisa-sisa tanaman dan menjaga
ekosistem flora dalam tanah karena lubang atau celah-celah pada tanah yang
ditimbulkan oleh binatang-binatang tanah, seperti cacing dan serangga dapat
memperbesar jumlah air yang meresap ke dalam tanah (Arsyad, 1989).
Faktor
yang mempengaruhi infiltrasi adalah sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah yang
diamati pada penelitian ini adalah yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi
yaitu tekstur tanah, struktur tanah, Bulk density, dan total ruang pori
(TRP) tanah. Kartasapoetra dalam Elfiati dan Delvian, et al. (2010) menyatakan bahwa pada fraksi berpasir mempunyai
kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan fraksi liat. Menurut
Suripin dalam Elfiati dan Delvian (2010), setiap jenis tanah mempunyai
kemampuan untuk berinfiltrasi yang berbeda-beda, yang bervariasi dari yang
sangat tinggi sampai rendah.
Tinggi
atau rendahnya laju infiltrasi juga dipengaruhi kerapatan lindak, total ruang
pori tanah, dan kandungan C-organik tanah. Hubungan
antara kerapatan lindak dan total ruang pori dimana jika semakin tinggi
kerapatan lindak maka semakin rendah total ruang pori dan semakin rendah
kerapatan lindak maka semakin tinggi persen total ruang pori. Besarnya total
ruang pori tanah menunjukkan tanah tersebut gembur dan memiliki banyak ruang
pori tanah. Hal ini berarti proses penyerapan terhadap air berlangsung cepat
(Foth; Havlin et al.; Winarso dalam
Elfiati dan Delvian, 2010). Jumlah bahan organik tanah dalam tanah juga sangat
mempengaruhi banyaknya air yang masuk kedalam tanah. Kandungan bahan organik
yang tinggi menyebabkan tanah mempunyai kemampuan meresapkan air sampai
beberapa kali berat keringnya dan juga memiliki porositas yang tinggi, sehingga
dapat mempengaruhi laju infiltrasi (Elfiati dan Delvian, 2010).
Fungsi dan kegunaan dari perlakuan penjenuhan pada ring besar pada double ring infiltrometer adalah untuk mengurangi pengaruh rembesan
lateral. Rembesan lateral sering menyebabkan hasil pengukuran dari alat ini
menjadi tidak mudah untuk disimulasikan ke dalam skala lapangan. Menurut Dariah
dan Rachman (2015) hindari kebocoran di sekitar dinding ring dengan cara memadatkan bagian tanah yang bersentuhan dengan
dinding ring. Bila terbentuk celah yang besar, maka perlu dilakukan perekatan
dengan menggunakan serbuk bentonit atau lempung halus saat penjenuhan. Cara
yang paling sederhana untuk melakukan adalah dengan menambahkan air secara
manual, biasanya digunakan untuk tanah dengan laju infiltrasi rendah. Untuk
mengetahui kapan air harus ditambahkan, diperlukan penunjuk/pointer (yang
paling sederhana adalah penggaris atau batang kayu/logam yang ditera) atau bisa
digunakan semacam kait pengukur (hook
gauge). Ketika permukaan air dalam ring pengukur turun dan sampai pada
titik penunjuk (pointer) atau hook gauge level, maka dilakukan penambahan air sampai permukaan air dalam
ring kembali ke titik awal/preset mark.
Rata-rata laju infiltrasi ditetapkan/dihitung dari volume penambahan air dan
interval waktu penambahan (Dariah dan Rachman, 2015).
Berdasarkan hasil pada Tabel 3 dapat
diketahui bahwa untuk hasil uji f, pada menit ke-4 dan ke-10 diperoleh hasil
bahwa rata-rata infiltrasi dengan vegetasi dan non vegetasi menunjukkan bahwa
varians yang dimiliki adalah sama (equal).
Sedangkan pada menit ke-1, ke-2, dan ke-8 menunjukkan hasil bahwa rata-rata
laju infiltrasi antara tanah dengan vegetasi dan non vegetasi berbeda nyata
dengan varians tidak sama atau (unequal).
Hasil uji f ini akan menentukan cara analisis untuk uji lanjut berikutnya yaitu
uji t. Untuk uji f yang menghasilkan hasil equal
atau f hitung lebih besar dari f
critical maka akan dilanjutkan dengan analisis uji t Two-Sample Assuming Equal Variances. Begitu pula pada hasil
analisis unequal atau f hitung lebih
besar dari f critical maka akan dilanjutkan dengan analisis uji t Two-Sample Assuming Unequal Variances.
Hasil yang diperoleh dari hasil Uji t didapatkan hasil bahwa untuk semua menit
diperoleh hasil berbeda nyata yang berarti bahwa rata-rata laju infiltrasi
antara perlakuan tanah dengan vegetasi dan non vegetasi berbeda nyata atau
dapat dikatakan adanya pemberian perlakuan memberikan pengaruh nyata pada hasil
pengamatan.
Infiltrasi dipengaruhi oleh volume hujan atau tampungan
keadaan karakteristik tanahnya dan unsur-unsur lainnya. Adanya infiltrasi dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan tingkat laju infiltrasi yang tinggi
maka kandungan air dalam tanah sedikit sehingga tanaman membutuhkan air yang
tinggi. Adapun laju infiltrasi yang rendah menyebabkan kebutuhan air pada tanaman
menurun seiring kandungan air dalam tanah meningkat. Apabila kondisi demikian
tidak dapat ditoleransi oleh tanaman maka tanaman akan mengalami titik layu
sementara dan/atau permanen (Barid, 2007).
Berkaitan
dengan infiltrasi, penggunaan lahan dengan tutupan vegetatif akan menyediakan
perlindungan dari pemadatan oleh energi air hujan. Namun besarnya
infiltrasi tergantung pada fase pertumbuhan. Tanah dengan tanaman jagung dewasa
meiliki infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan jagung yang baru ditanam.
Menurut Rawls et al. (1993),
peningkatan infiltrasi ini disebabkan oleh peningkatan bukaan akar dan
perlindungan daun-daunan dewasa yang melindungi tanah dari pemadatan oleh
air hujan.
Dalam
banyak kasus, vegetasi asli yang rimbun memiliki banyak bukaan akar yang
meningkatkan infiltrasi. Vegetasi yang padat juga menyediakan resistensi untuk
aliran lateral dari air melalui vegetasi, meningkatkan kedalaman aliran, dan
meningkatkan kesempatan air untuk terinfiltrasi. vegetasi yang lebat menyediakan
selapisan material vegetatif yang melapuk yang menjadi sumber energi bagi
bakteri, insekta dan hewan berkembang. Akumulasi serasah di lantai hutan
memberikan lapisan padat dari material vegetatif yang mengurangi kecepatan
aliran lateral dan meningkatkan infiltrasi (Singh and Narang, 1992).
V. KESIMPULAN
1.
Pengukuran
laju infiltrasi menunjukkan bahwa tanah dengan vegetasi memiliki laju
infiltrasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah non vegetasi.
2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi laju infiltrasi antara lain gaya gravitasi dan gaya kapiler
tanah, tekstur tanah, struktur tanah, bulk
density, dan total ruang pori (TRP) tanah, kerapatan lindak, dan jumlah
bahan organik tanah dalam tanah.
3.
Berdasarkan
hasil pengamatan infiltrasi pada daerah vegetasi menit ke 1 sebesar 293,33 mm,
menit ke 2 sebesar 276,32 mm, menit ke 4 sebesar 252,54 mm, menit ke 8 sebesar 233,74 mm, menit ke 10 sebesar 221,72
mm. Pada daerah tanpa vegetasi infiltrasi yang terjadi pada menit ke 1 sebesar 103,33 mm, menit ke 2 sebesar 133,02
mm, menit ke 4 sebesar 104,15
mm, menit ke 8 sebesar 108,08
mm, menit ke 10 sebesar 106,22
mm.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989.
Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.
Arsyad, S. dan E.
Rustiadi. 2004. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Barid
B. 2007. Kajian unit resapan dengan lapisan tanah dan tanaman dalam menurunkan
limpasan permukaan. Jurnal Berkala Ilmiah Teknik Perairan 13(4): 248-255.
Bedbabis, S., B. B.
Rouina, G. Ferrara. 2014. Effect of irrigation with treated wastewater on soil
chemical properties and infiltration rate. Journal of Environment Management
133: 45-50.
Bi, Y., H. Zou, C.
Zhu. 2014. Dynamic monitoring of soil bulk density and infiltration rate during
coal mining in sandy land with different vegetation. International Journal
Science and Technology 1(2): 198-206.
Corn and S. Digest.
2011. Soil Factors Determine Beneficial Infiltration Rates from Rainfall. <http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/>.
Diakses tanggal 25 Februari 2016.
Dariah, A. dan A.
Rachman. 2015. Pengukuran Infiltrasi. <http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/>.
Diakses tanggal 25 Februari 2016.
Elfiati, D., dan
Delvian. 2010. Laju infiltrasi pada berbagai tipe kelerengan dibawah tegakan
ekaliptus di areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari sektor aek nauli. Jurnal
Hidrolitan 1 (2): 29-34.
Singh,
B. and Narang, M. P., 1992. A comparison of chemical composition, cell-wall
content, digestibility and degradation kinetic characteristics as predictors of
forage intake. Indian J. Anim. Sci. 62: 369-373.
Rawls,
J., Kirkpatrick, R., Yang, J., Lacy, L. 1993. The dhod gene and deduced
structure of mitochondrial dihydroorotate dehydrogenase in Drosophila
melanogaster. Gene 124 (2): 191-197.
Utaya, Sugeng.
2008. Pengaruh perubahan penggunaan
lahan terhadap sifat biofisik tanah dan kapasitas infiltrasi di Kota Malang. Malang.
Ward, A. D. and S.
W. Trimble. 2004. Environmental Hydrology: Second Edition. Lewis Publisher. New
York.
LAMPIRAN
A.
Perhitungan
Interpolasi
Laju Infiltrasi
Vegetasi
Laju
Infiltrasi Vegetasi 10 menit
-8,21 = 4(y-266,67)
-8,21 = 4y -1066,68
1066,68 – 8,21 = 4y
264,62 = y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 15 menit
-7,87 = 2(y-258,46)
-7,87 = 2y-258,46
516,92 – 7,87 = 2y
254,525
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 20 menit
-6,06 = 4(y-250,59)
-6,06 = 4y-1002,36
1002,36 - 6,06 = 2y
249,075
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 25 menit
-8,57 = 2(y-248,57)
-8,57 = 2y-497,14
497,14 – 8,57 = 2y
244,29
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 30 menit
-8,11 = 8(y-240)
-8,11 = 8y-1920
1920 – 8,11 = 8y
238,99
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 35 menit
-48,66 = 8(y-240)
-48,66 = 8y-1920
1920 – 48,66 = 8y
233,92
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 40 menit
-7,68 = 8(y-231,89)
-7,68 = 8y-1855,12
1855,12 – 7,68 = 8y
230,93
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 50 menit
-5,69 = 2(y-229,33)
-5,69 = 2y-458,66
458,66 – 5,69 = 2y
226,48
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 60 menit
-2,1 = 2(y-223,64)
-2,1 = 2y-447,28
447,28 – 2,1 = 2y
222,59
= y
Laju
Infiltrasi Vegetasi 70 menit
-1,54 = 2(y-223,64)
-1,54 = 2y-443,09
443,09 – 1,54 = 2y
220,77
= y
Laju Infiltrasi Non Vegetasi
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 10 menit
-31,79 = 4(y-133,33)
-31,79 = 4y-533,32
533,32 – 31,79 = 4y
125,38
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 15 menit
0,81 = 2(y-101,54)
0,81 = 2y-203,08
203,08 + 0,81 = y
125,38
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 20 menit
18,66 = 4(y-102,35)
18,66 = 4y-409,4
409 + 18,66 = 4y
107,02
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 25 menit
-0,98 = 2(y-108,57)
-0,98 = 2y-217,14
217,14 – 0,98 = 2y
108,08= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 30 menit
1,06 = 8(y-107,59)
1,06 = 8y-860,72
860,72 + 1,06 = 8y
107,72
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 35 menit
6,36 = 8(y-107,59)
6,36 = 8y-860,72
860,72 + 6,36 = 8y
108,38
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 40 menit
-1,95 = 8(y-108,65)
-1,95 = 8y-869,2
869,2 – 1,95 = 8y
108,41
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 50 menit
-1,09 = 2(y-108)
-1,09 = 2y-216
216 – 1,09 = 2y
107,45
= y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 60 menit
-0,76 = 2(y-106,91)
-0,76 = 2y-213,82
213,82 – 0,76 = 2y
106,53 = y
Laju
Infiltrasi Non Vegetasi 70 menit
-0,55 = 2(y-106,15)
-0,55 = 2y-212,3
212,3-0,55 = 2y
105,88 = y
B.
Hasil Analisis Uji
f dan Uji t
Uji f Laju Infiltrasi 1 Menit
F-Test Two-Sample for
Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
293.3333
|
103.3333
|
Variance
|
133.3333
|
233.3333
|
Observations
|
3
|
3
|
Df
|
2
|
2
|
F
|
0.571429
|
|
P(F<=f) one-tail
|
0.363636
|
|
F Critical one-tail
|
0.052632
|
|
F hit>Fcrit= unequal
|
Uji f Laju Infiltrasi 2 Menit
F-Test Two-Sample for
Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
276.3175
|
133.0159
|
Variance
|
116.8738
|
165.3817
|
Observations
|
3
|
3
|
df
|
2
|
2
|
F
|
0.706691
|
|
P(F<=f) one-tail
|
0.414071
|
|
F Critical one-tail
|
0.052632
|
|
F hit>Fcrit= unequal
|
Uji f Laju Infiltrasi 4 Menit
F-Test Two-Sample for
Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
252.5404
|
104.1543
|
Variance
|
27.31178
|
14.79926
|
Observations
|
3
|
3
|
df
|
2
|
2
|
F
|
1.845482
|
|
P(F<=f) one-tail
|
0.351434
|
|
F Critical one-tail
|
19
|
|
F hit
|
Uji f Laju Infiltrasi 8 Menit
F-Test Two-Sample for
Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
233.7417
|
108.0783
|
Variance
|
31.0109
|
0.286792
|
Observations
|
3
|
3
|
df
|
2
|
2
|
F
|
108.1303
|
|
P(F<=f) one-tail
|
0.009163
|
|
F Critical one-tail
|
19
|
|
F hit>Fcrit= unequal
|
Uji f Laju Infiltrasi 10 Menit
F-Test Two-Sample for Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
221.7249
|
106.221
|
Variance
|
3.331866
|
0.43181
|
Observations
|
3
|
3
|
df
|
2
|
2
|
F
|
7.716049
|
|
P(F<=f) one-tail
|
0.114731
|
|
F Critical one-tail
|
19
|
|
F hit
|
Uji
t Laju Infiltrasi 1 Menit
t-Test: Two-Sample
Assuming Unequal Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
293.3333
|
103.3333
|
Variance
|
133.3333
|
233.3333
|
Observations
|
3
|
3
|
Hypothesized Mean
Difference
|
0
|
|
df
|
4
|
|
t Stat
|
17.18615
|
|
P(T<=t) one-tail
|
3.36E-05
|
|
t Critical one-tail
|
2.131847
|
|
P(T<=t) two-tail
|
6.73E-05
|
|
t Critical two-tail
|
2.776445
|
|
t tabel = 2.145
|
||
t stat > t tabel =
beda nyata
|
Uji t Laju Infiltrasi 2 Menit
t-Test: Two-Sample
Assuming Unequal Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
276.3175
|
133.0159
|
Variance
|
116.8738
|
165.3817
|
Observations
|
3
|
3
|
Hypothesized Mean
Difference
|
0
|
|
df
|
4
|
|
t Stat
|
14.77374
|
|
P(T<=t) one-tail
|
6.11E-05
|
|
t Critical one-tail
|
2.131847
|
|
P(T<=t) two-tail
|
0.000122
|
|
t Critical two-tail
|
2.776445
|
|
t tabel = 2.145
|
||
t stat > t tabel =
beda nyata
|
Uji t Laju Infiltrasi 4 Menit
t-Test: Two-Sample
Assuming Equal Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
252.5404
|
104.1543
|
Variance
|
27.31178
|
14.79926
|
Observations
|
3
|
3
|
Pooled Variance
|
21.05552
|
|
Hypothesized Mean
Difference
|
0
|
|
df
|
4
|
|
t Stat
|
39.60554
|
|
P(T<=t) one-tail
|
1.21E-06
|
|
t Critical one-tail
|
2.131847
|
|
P(T<=t) two-tail
|
2.43E-06
|
|
t Critical two-tail
|
2.776445
|
|
t tabel = 2.145
|
||
t stat > t tabel =
beda nyata
|
Uji t Laju Infiltrasi 8 Menit
t-Test: Two-Sample
Assuming Unequal Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
233.7417
|
108.0783
|
Variance
|
31.0109
|
0.286792
|
Observations
|
3
|
3
|
Hypothesized Mean
Difference
|
0
|
|
df
|
2
|
|
t Stat
|
38.90572
|
|
P(T<=t) one-tail
|
0.00033
|
|
t Critical one-tail
|
2.919986
|
|
P(T<=t) two-tail
|
0.00066
|
|
t Critical two-tail
|
4.302653
|
|
t tabel = 2.145
|
||
t stat > t tabel =
beda nyata
|
Uji t Laju Infiltrasi 10 Menit
t-Test: Two-Sample
Assuming Equal Variances
|
||
|
Variable
1
|
Variable
2
|
Mean
|
221.7249
|
106.221
|
Variance
|
3.331866
|
0.43181
|
Observations
|
3
|
3
|
Pooled Variance
|
1.881838
|
|
Hypothesized Mean
Difference
|
0
|
|
df
|
4
|
|
t Stat
|
103.122
|
|
P(T<=t) one-tail
|
2.65E-08
|
|
t Critical one-tail
|
2.131847
|
|
P(T<=t) two-tail
|
5.3E-08
|
|
t Critical two-tail
|
2.776445
|
|
t tabel = 2.145
|
||
t stat > t tabel =
beda nyata
|
C.
Dokumentasi
Praktikum
|
|
||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar