Senin, 13 September 2010

"Everytime"

It was three AM when you woke me up
And we jumped in the car and drove as far as we could go
Just to get away
We talked about our lives
Until the sun came up
And now I'm thinking about
How I wish I could go back
Just for one more day
One more day with you

Everytime I see your face
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right
Ever since you walked away
You left my life in disarray
All I want is one more day
It's all I need: one more day with you

When the car broke down
We just kept walkin along
Til we hit this town
There was nothing there at all
But that was all okay
We spent all our money on stupid things
But if I looked back now, I'd probably give it all away
Just for one more day
One more day with you

Everytime I see your face
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right
But ever since you walked away
You left my life in disarray
All I want is one more day
It's all I need: one more day with you

Now I'm sittin here, like we used to do
I think about my life and how now there's nothing I won't do
Just for one more day
One more day with you

Everytime I see your face
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right (Everything feels right)
Everytime I hear your name
Everytime I feel the same
It's like it all falls into place
Everything feels right

You walked away
Just one more day
It's all I need, just one more day with you

Kamis, 09 September 2010

Hardware

1. Unit Masukan ( Input Device )
Unit ini berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar ke dalam suatu memori dan processor untuk diolah guna menghasilkan informasi yang diperlukan. Input devices atau unit masukan yang umumnya digunakan personal computer (PC) adalah keyboard dan mouse, keyboard dan mouse adalah unit yang menghubungkan user (pengguna) dengan komputer. Selain itu terdapat joystick, yang biasa digunakan untuk bermain games atau permainan dengan komputer. Kemudian scanner, untuk mengambil gambar sebagai gambar digital yang nantinya dapat dimanipulasi. Touch panel, dengan menggunakan sentuhan jari user dapat melakukan suatu proses akses file. Microphone, untuk merekam suara ke dalam komputer.
Input device berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar sistem ke dalam suatu memori dan processor untuk diolah dan menghasilkan informasi yang diperlukan. Data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer dapat berbentuk signal input dan maintenance input. Signal input berbentuk data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer, sedangkan maintenance input berbentuk program yang digunakan untuk mengolah data yang dimasukkan. Jadi Input device selain digunakan untuk memasukkan data dapat pula digunakan untuk memasukkan program. Berdasarkan sifatnya, peralatan input dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
• Peratalan input langsung, yaitu input yang dimasukkan langsung diproses oleh alat pemroses. Contohnya : keyboard, mouse, touch screen, light pen, digitizer graphics tablet, scanner.
• Peralatan input tidak langsung, input yang melalui media tertentu sebelum suatu input diproses oleh alat pemroses. Contohnya : punched card, disket, harddisk.
Unit masukan atau peralatan input ini terdiri dari beberapa macam peranti yaitu
a. Keyboard
Keyboard merupakan unit input yang paling penting dalam suatu pengolahan data dengan komputer. Keyboard dapat berfungsi memasukkan huruf, angka, karakter khusus serta sebagai media bagi user (pengguna) untuk melakukan perintah-perintah lainnya yang diperlukan, seperti menyimpan file dan membuka file. Penciptaan keyboard komputer berasal dari model mesin ketik yang diciptakan dan dipatentkan oleh Christopher Latham pada tahun 1868, Dan pada tahun 1887 diproduksi dan dipasarkan oleh perusahan Remington. Keyboard yang digunakanan sekarang ini adalah jenis QWERTY, pada tahun 1973, keyboard ini diresmikan sebagai keyboard standar ISO (International Standar Organization). Jumlah tombol pada keyboard ini berjumlah 104 tuts. Keyboard sekarang yang kita kenal memiliki beberapa jenis port, yaitu port serial, ps2, usb dan wireless.
 gambar-211.jpg
Jenis-Jenis Keyboard :
1.) QWERTY
2.) DVORAK
3.) KLOCKENBERG
Keyboard yang biasanya dipakai adalah keyboard jenis QWERTY, yang bentuknya ini mirip seperti tuts pada mesin tik. Keyboard QWERTY memiliki empat bagian yaitu :
1. typewriter key
2. numeric key
3. function key
4. special function key.
1. Typewriter Key
Tombol ini merupakan tombol utama dalam input. Tombol ini sama dengan tuts pada mesin tik yang terdiri atas alphabet dan tombol lainnya sebagaimana berikut :
• Back Space
Tombol ini berfungsi untuk menghapus 1 character di kiri cursor
• Caps Lock
Bila tombol ini ditekan, maka lampu indikator caps lock akan menyala, hal ini menunjukkan bahwa huruf yang diketik akan menjadi huruf besar atau Kapital, bila lampu indicator caps lock mati, maka huruf akan menjadi kecil.
• Delete
Tombol ini berfungsi untuk menghapus 1 karakter pada posisi cursor
• Esc
Tombol ini berfungsi untuk membatalkan suatu perintah dari suatu menu.
• End
Tombol ini berfungsi untuk memindahkan cursor ke akhir baris/halaman/lembar kerja
• Enter
Tombol ini berfungsi untuk berpindah ke baris baru atau untuk melakukan suatu proses perintah.
• Home
Untuk menuju ke awal baris atau ke sudut kiri atas layar
• Insert
Tombol ini berfungsi untuk menyisipkan character.
• Page Up
Tombol ini berfungsi untuk meggerakan cursor 1 layar ke atas
• Page Down
Tombol ini berfungsi untuk Menggerakkan cursor 1 layar ke bawah
• Tab
Tombol ini berfungsi untuk memindahkan cursor 1 tabulasi ke kanan.
2. Numeric Key
Tombol ini terletak di sebelah kanan keyboard. tombol ini terdiri atas angka dan arrow key. Jika lampu indikator num lock menyala maka tombol ini berfungsi sebagai angka. Jika lampu indikator num lock mati maka tombol ini berfungsi sebagai arrow key.
3. Function Key
Tombol ini terletak pada baris paling atas, tombol fungsi ini ini terdiri dari F1 s/d F12. Fungsi tombol ini berbeda-beda tergantung dari program komputer yang digunakan.
4. Special Function Key
Tombol ini terdiri atas tombol Ctrl, Shift, dan Alt. Tombol akan mempunyai fungsi bila ditekan secara bersamaan dengan tombol lainnya. Misalnya, untuk memblok menekan bersamaan tombol shift dan arrow key, untuk menggerakan kursor menekan bersamaan ctrl dan arrow key.
b. Mouse
Mouse adalah salah unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah untuk perpindahan pointer atau kursor secara cepat. Selain itu, dapat sebagai perintah praktis dan cepat dibanding dengan keyboard. Mouse mulai digunakan secara maksimal sejak sistem operasi telah berbasiskan GUI (Graphical User Interface). sinyal-sinyal listrik sebagai input device mouse ini dihasilkan oleh bola kecil di dalam mouse, sesuai dengan pergeseran atau pergerakannya. Sebagian besar mouse terdiri dari tiga tombol, umumnya hanya dua tombol yang digunakan yaitu tombol kiri dan tombol kanan. Saat ini mouse dilengkapi pula dengan tombol penggulung (scroll), dimana letak tombol ini terletak ditengah. Istilah penekanan tombol kiri disebut dengan klik (Click) dimana penekanan ini akan berfungsi bila mouse berada pada objek yang ditunjuk, tetapi bila tidak berada pada objek yang ditunjuk penekanan ini akan diabaikan. Selain itu terdapat pula istilah lainnya yang disebut dengan menggeser (drag) yaitu menekan tombol kiri mouse tanpa melepaskannya dengan sambil digeser. Drag ini akan mengakibatkan objek akan berpindah atau tersalin ke objek lain dan kemungkinan lainnya. Penekanan tombol kiri mouse dua kali secara cepat dan teratur disebut dengan klik ganda (double click) sedangkan menekan tombol kanan mouse satu kali disebut dengan klik kanan (right click)Mouse terdiri dari beberapa port yaitu mouse serial, mouse ps/2, usb dan wireless.
 mouse
Gambar 2.12 Mouse Wireless
c. Touchpad
Unit masukkan ini biasanya dapat kita temukan pada laptop dan notebook, yaitu dengan menggunakan sentuhan jari. Biasanya unit ini dapat digunakan sebagai pengganti mouse. Selain touchpad adalah model unit masukkan yang sejenis yaitu pointing stick dan trackball.
 gambar-213a.jpggambar-213b.jpggambar-213c.jpg
Touch Pad                   Track Ball                     Pointing Stick
d. Light Pen
Light pen adalah pointer elektronik yang digunakan untuk modifikasi dan men-design gambar dengan screen (monitor). Light pen memiliki sensor yang dapat mengirimkan sinyal cahaya ke komputer yang kemudian direkam, dimana layar monitor bekerja dengan merekam enam sinyal elektronik setiap baris per detik.
gambar-214.jpg
Gambar Light Pen
e. Joy Stick dan Games Paddle
Alat ini biasa digunakan pada permainan (games) komputer. Joy Stick biasanya berbentuk tongkat, sedangkan games paddle biasanya berbentuk kotak atau persegi terbuat dari plastik dilengkapi dengan tombol-tombol yang akan mengatur gerak suatu objek dalam komputer.
gambar-215.jpg
Gambar Joy Stick dan Paddle Games
f. Barcode
Barcode termasuk dalam unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah untuk membaca suatu kode yang berbentuk kotak-kotak atau garis-garis tebal vertical yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk angka-angka. Kode-kode ini biasanya menempel pada produk-produk makanan, minuman, alat elektronik dan buku. Sekarang ini, setiap kasir di supermarket atau pasar swalayan di Indonesia untuk mengidentifikasi produk yang dijualnya dengan barcode.
 gambar-217.jpg Gambar Barcode Reader
gambar-216.jpg  Gambar Barcode
g. Scanner
Scanner adalah sebuah alat yang dapat berfungsi untuk meng-copy atau menyalin gambar atau teks yang kemudian disimpan ke dalam memori komputer. Dari memori komputer selanjutnya, disimpan dalam harddisk ataupun floppy disk. Fungsi scanner ini mirip seperti mesin fotocopy, perbedaannya adalah mesin fotocopy hasilnya dapat dilihat pada kertas sedangkan scanner hasilnya dapat ditampilkan melalui monitor terlebih dahulu sehingga kita dapat melakukan perbaikan atau modifikasi dan kemudian dapat disimpan kembali baik dalam bentuk file text maupun file gambar. Selain scanner untuk gambar terdapat pula scan yang biasa digunakan untuk mendeteksi lembar jawaban komputer. Scanner yang biasa digunakan untuk melakukan scan lembar jawaban komputer adalah SCAN IR yang biasa digunakan untuk LJK (Lembar Jawaban Komputer) pada ulangan umum dan Ujian Nasional. Scan jenis ini terdiri dari lampu sensor yang disebut Optik, yang dapat mengenali jenis pensil 2B. Scanner yang beredar di pasaran adalah scanner untuk meng-copy gambar atau photo dan biasanya juga dilengkapi dengan fasilitas OCR (Optical Character Recognition) untuk mengcopy atau menyalin objek dalam bentuk teks.
gambar-218.jpg
Gambar Scanner
Saat ini telah dikembangkan scanner dengan teknologi DMR (Digital Mark Reader), dengan sistem kerja mirip seperti mesin scanner untuk koreksi lembar jawaban komputer, biodata dan formulir seperti formulir untuk pilihan sekolah. Dengan DMR lembar jawaban tidak harus dijawab menggunaan pensil 2 B, tapi dapat menggunakan alat tulis lainnya seperti pulpen dan spidol serta dapat menggunakan kertas biasa.
h. Kamera Digital
Perkembangan teknologi telah begitu canggih sehingga komputer mampu menerima input dari kamera. Kamera ini dinamakan dengan Kamera Digital dengan kualitas gambar lebih bagus dan lebih baik dibandingkan dengan cara menyalin gambar yang menggunakan scanner. Ketajaman gambar dari kamera digital ini ditentukan oleh pixel-nya. Kemudahan dan kepraktisan alat ini sangat membantu banyak kegiatan dan pekerjaan. Kamera digital tidak memerlukan film sebagaimana kamera biasa. Gambar yang diambil dengan kamera digital disimpan ke dalam memori kamera tersebut dalam bentuk file, kemudian dapat dipindahkan atau ditransfer ke komputer. Kamera digital yang beredar di pasaran saat ini ada berbagai macam jenis, mulai dari jenis kamera untuk mengambil gambar statis sampai dengan kamera yang dapat merekan gambar hidup atau bergerak seperti halnya video.
gambar-219.jpg
Kamera Digital
i. Mikropon dan Headphone
Unit masukan ini berfungsi untuk merekam atau memasukkan suara yang akan disimpan dalam memori komputer atau untuk mendengarkan suara. Dengan mikropon, kita dapat merekam suara ataupun dapat berbicara kepada orang yang kita inginkan pada saat chating. Penggunaan mikropon ini tentunya memerlukan perangkat keras lainnya yang berfungsi untuk menerima input suara yaitu sound card dan speaker untuk mendengarkan suara.
gambar-220.jpg
Gambar headphone
j. Graphics Pads
Teknologi Computer Aided Design (CAD) dapat membuat rancangan bangunan, rumah, mesin mobil, dan pesawat dengan menggunakan Graphics Pads. Graphics pads ini merupakan input masukan untuk menggambar objek pada monitor. Graphics pads yang digunakan mempunyai dua jenis. Pertama, menggunakan jarum (stylus) yang dihubungkan ke pad atau dengan memakai bantalan tegangan rendah, yang pada bantalan tersebut terdapat permukaan membrane sensitif sentuhan ( touch sensitive membrane surface). Tegangan rendah yang dikirimkan kemudian diterjemahkan menjadi koordinat X – Y. Kedua, menggunakan bantalan sensitif sentuh ( touch sensitive pad) tanpa menggunakan jarum. Cara kerjanya adalah dengan meletakkan kertas gambar pada bantalan, kemudian ditulisi dengan pensil.

Rabu, 08 September 2010

Galaxy Classification

alaxies show a vast range of forms, and faced with any such situation we would like to seek any underlying patterns. This allows a compact description of individual objects, and if we are fortunate will lead to physical understanding (the prototype system of this kind is the MK stellar classification). Galaxy classification has developed with this aim, from rough description of an image through distinctions among components with different astrophysical properties.
It is important to keep in mind that existing schemes are based on the appearance of a galaxy at optical wavelengths (usually in blue light), over the range of surface brightness conveniently recordable from the Earth's surface. As such, these classifications are dominated by certain components of galaxies. There are crude hand-waving arguments implying that any outer faint structure might not be fundamental dynamically - based on lack of star formation there and the small number of crossing times at such distances - but we certainly need to check, and in fact very deep imaging has shown some surprising structures. The original definition of classification criteria in blue light also has implications for use on galaxies at substantial redshifts, where we typically view in the emitted ultraviolet. Recent surveys in the UV and near-IR have led to the notion of a "morphological K-correction", a shift in stage of the morphological classification due to changes in observed wavelength. This becomes especially important if we want to compare populations of galaxies at very different redshifts, so that different sets of galaxies are seen at different emitted wavelengths. As a specific example of how galaxies can change in appearance, here is a multiwavelength series of images of M81 = NGC 3031. Some of the same effects can be seen by comparing (observed) optical and near-infrared structures of faint galaxies, such as this example from WFPC2 and NICMOS imaging in the Hubble Deep Field.
These are, left to right: a ROSAT image, from data archived at HEASARC; a color-mapped UV image from GALEX; an optical color image, from data provided by G. Bothun; a near-IR image from the 2MASS atlas [Atlas Image obtained as part of the Two Micron All Sky Survey (2MASS), a joint project of the University of Massachusetts and the Infrared Processing and Analysis Center/California Institute of Technology, funded by NASA and the NSF], and a 70-μ image from Spitzer.
Comparing these images, starlight from the general population is important from the UV to the near-IR. Only recent star formation is important in the mid-UV, with the bulge vanishing. A more subtle shift occurs between optical and near-IR. Much of the bulge light can now be associated with a broad barlike oval distortion, and the spiral arms are now seen mostly by the light of red giants - not only are they smoother, but the ridge lines of the arms don't quite match those traced by young stars in the opti cal and UV. These young tracers tell where the density wave has driven cloud collapse, which may have a delay from the deepest potential perturbation and may not match the smoothed potential traced by the older stars.
Thought question: What kinds of galaxy classifications would have arisen if we had first encountered galaxies via the UV, or in the near-infrared? How about observing from downtown Rio or the surface of Pluto?
The earliest schemes were purely descriptive, dating to times before galaxies and gaseous nebulae could be distinguished. An example is Wolf's system from 1908, shown in Fig 1 of Sandage in SSS9:
Wolf nebular classification
Already sequences of disk systems with changes in inclination were recognized; Curtis used photographs of such systems to study the distribution of absorbing matter in the disks of spirals even before their nature was known.
The first overall scheme (which remains in widespread use) was that of Hubble. This system distinguishes ellipticals, spirals with and without bars, and irregulars. The classification criteria are:

  • Apparent shape of ellipticals.

  • Bulge strength and arm characteristics for spirals (arm characteristics through clumpiness or resolution most important). Spiral arms can sometimes be defined as much by dust as by blue stars. Hubble types can be conveniently arranged in the famous "Tuning Fork" diagram. The schematic example is taken from Realm of the Nebulae, as reprinted by Sandage 1975.
    Hubble's own tuning-fork diagram
    Ray White has posted a tuning-fork diagram using DSS images. Here is a version including some additional deeper CCD data I had lying around:
    Hubble tuning-fork illustration with real galaxies
    The "definitive" version of the Hubble classification was set out in Sandage's article in Galaxies and the Universe. Compared to Hubble's original conception, this version adds the S0 (lenticular) class between ellipticals and spirals. Hubble hypothesized such an intermediate class, but it was only recognized later. Galaxies are often called early (E and S0) or late (Sb,Sc, Irr) in type, a remnant of early notions that galaxies physically evolve along the Hubble sequence. Unfortunately, this nomenclature is opposite to that of the dominant stellar population in these types, and to the early-late nomenclature in the Yerkes classification.
    Classification of an elliptical galaxy image is straightforward, because there is so little structure present. Types E0-E7 are recognized, where the number gives the projected axial ratio. Specifically, an E0 galaxy appears circular (like M87), and in general for axial ratio b/a the number is 10(1-b/a). True ellipticals do not appear more flattened than E7, probably because there is a stability limit for nonrotating systems near this shape. Note that even the ellipticity is not completely well-defined, as many ellipticals have changes in ellipticity with radius or isophotal twists. Most appear to be triaxial systems.
    Spirals are divided into ordinary (S) and barred (SB) families, with a stage from S(B)a ("early" types, large bulge, tightly wound and fairly smooth arms) to S(B)c ("late" spiral, small bulge, loosely would arms, arms very textured with star-forming regions). As noted in the Hubble atlas, some spirals have arms patterns defined more by the dust lanes than by starlight per se. NGC 253 is a prominent example. For much of its extent, I find the foreground galaxy in NGC 3314 to be a personal favorite of this kind.
    This classification has gained such currency because (1) it is simple and thus accomodates the great majority of bright galaxies and (2) it is our great fortune that it correlates well with astrophysical quantities like bulge/disk ratio, gas content, star-forming properties, spectrum, chemical composition of ISM, etc. This is especially nice since the classification was originally designed solely to describe galaxies' appearance on photographs! Several refinements toward a continuous sequence have been made. Sandage not only explicitly recognized transition S0 galaxies, but found subtypes depending on the amount of dust in the disk plane (and strength of the disk) denoted S0-, S0,S0+ as in the Hubble Atlas. S0 systems pose some interesting problems of recognition when not seen close to edge-on, since they are tough to tell from ellipticals with extended envelopes.
    de Vaucouleurs introduced several important features:

  • (1) continuity of barred and nonbarred spirals (through mixed types SA-SAB-SB)

  • (2) continuity of spirals into irregulars Sc-Scd-Sd-Sdm-Sm-Im (m means Magellanic, the LMC being the prototype).

  • (3) description of the spiral structure is paramount, rather than some resolution estimate. This makes classification less sensitive to an observer's allowance for seeing or equipment changes. He introduced classes depending on whether the inner structure is ringlike or purely spiral, with mixed types recognized: (r),(rs),(sr),(s). The stage along the sequence still runs a-c (adding, in fact, stages d and m - for Magellanic types - out beyond Sc) as in the original Hubble class. For tabulation in the Reference Catalogs and convenient numerical use, a type T is often used which is -1 for S0, 0 for S0/a, on through 5 for Sc and 9 for Im. More negative values denotes various subsets of ellipticals with or without envelopes. The article by de Vaucouleurs in Handbuch der Physik (1959, 53, 275) sets out his detailed classification principles with photographic examples.

  • (4) the notion of a ``classification volume" rather than a one dimensional sequence. The classification volume is depicted in this sketch, most recently reproduced by Combes and Buta (1996, Fund. Cosmic Phys. 17, 95) and posted by permission of Ron Buta:
    De
Vaucouleurs classification volume
    The artist's conception below shows how the SA/SB and r/s classes interact at stage Sb (from Fig.1 of the RC1, likewise scanned in Combes and Buta (1996) and reposted courtesy of Ron Buta). A typical classification in the de Vaucouleurs system looks like SAB(rs)bc (in fact, this is the alleged type of our own galaxy).
    De Vaucouleurs family illustration

  • (5) Recognition of outer ring (prepended R) and pseudoring - denoted by initial (R) - structures. van den Bergh recognized an additional family of smooth-armed ("anemic") spirals, considering now that there exist parallel sequences S0,A,S. Thus the tuning fork becomes a trident (see Fig. 5-8 of Mihalas and Binney). These are most common in pretty rich clusters, but don't seem to be numerous for later Hubble types (small bulge:disk ratios), and the question immediately presents itself as to whether anemic spirals are waypoints between "normal" spirals and S0 systems.
    He has also introduced the luminosity class, ranging from I-V, which is based on the degree of order in the spiral pattern. Sc I galaxies have very long organized arms, Sc Vs have very poorly organized patterns. These classes do correlate with absolute magnitude, although not as tightly as first hoped. One still occasionally reads of Sc I spirals as the brightest such objects, used as rough standard candles. Even with the luminosity class from arm structure, the appearance of a spiral is not a reliable guide to its linear size (something that David Block stressed years ago in an atlas published at Fort Hare, South Africa). Pretty similar-looking spirals can often differ in size by a factor 5 - M81 is a pretty small spiral compared to some of the ones in Virgo, and NGC 309, UGC 2885, NGC 3312, and NGC 6872 are huge (the largest extending to observed diameters more than 250 kpc for H0=50). van den Bergh has described many classification issues, morphological and quantitative, in Galaxy Morphology and Classification (Cambridge, 1998).
    The Yerkes (or Morgan) scheme uses strictly the relative prominence of disk and bulge (the Hubble classification includes arm structure) - these are generally correlated, but not uniquely. This classification uses a form factor E,S,B, or D (for symmetric but non-E or S systems) and inclination class 1-7 (7 most elongated) plus a spectroscopic type corresponding to the nearest stellar equivalent to the spectroscopic appearance of a typical galaxy of similar morphological structure (confused yet?). This ranges from a-k, so Yerkes types look like Egk1, Iaf3, Sfg7, Bg4. The spectroscopic class is based on visual inspection of the image even though it looks like a spectral type. The system was defined and illustrated in PASP 70,364 (1958), ApJ 135,1 (1962), ApJ 142, 1364 (1965), and AJ 76,1000. The types most used from this system are some of the outliers: N-galaxies whose light is dominated by an unresolved nucleus, and cD galaxies for supergiant (spectroscopic nomenclature c) galaxies with extended envelopes. As noted in van den Bergh's book, the concentration changes little over the Hubble type range E-S0-Sa, and changes a great deal within the Sc class, graphically demonstrating that physical properties for any kind of purely morphological classification may have a highly nonlinear mapping to that classification's criteria, even when we are fortunate enough for there to be a useful mapping at all. Classifications of this kind, based on light concentration, have received renewed interest in the context of high-redshift galaxies, and with the recognition that they can be made robust even for poorly resolved systems by appropriate modelling.
    Vorontsov-Velyaminov produced a purely descriptive scheme that incorporates peculiarities such as three-armed spirals and gamma-forms. This accomodates most of the oddballs that the Hubble scheme doesn't, but does not yet allow a continuous sequence. It was illustrated in vol. 1 of the MCG. This points up various attitudes toward galaxies that don't really fit in systems like the Hubble classification - is it right to force them into one of the bins? How peculiar is peculiar? As transient phenomena, should interaction-induced distortions be dignified with a place in the scheme et all? (De Vaucouleurs wrote several times that we don't have a special model name for the prodicts of an automotiove collision. But then cars aren't self-gravitating systems).
    Spiral structure has been divided into grand-design and flocculent types, depending on the level of organization. The Elmegreens (1982 MNRAS 201, 1021; 1987, ApJ 314, 3) use an index that distinguished these, still on a purely visual level. The arm class ranges from 1 ("chaotic, fragmented, unsymmetric spiral arms") to 12 ("two long symmetric arms dominating the optical disk") Such distinctions have been long noted (for example in the Hubble Atlas and in part in van den Bergh's luminosity classes), but interest in disk dynamics eventually provoked a separate numerical estimate of arm organization.
    Some galaxies fall outside the commonly recognized sequences. Many of these are "train wrecks", transient forms produced by the interaction or merger of galaxies. These forms include ring (not ringed) galaxies, polar rings, shells, and systems with tails, as well as double nuclei and highly asymmetric galaxies. Possibly related are what Hubble called Irr II and de Vaucouleurs calls I0 systems. The type example is M82; a galaxy with early-type stellar spectrum, but no particular spiral structure and amorphous appearance. These are almost always found in dense environments and appear to result from interaction-induced bursts of star formation.
    There have been numerous papers purporting to give a ``true" physical explanation for the Hubble sequence. Their authors are, to my mind, missing the point. Classification must begin as a descriptive process; the desired physical insight is a rather different thing.
    Basic references on classification: for the Hubble system, see the Hubble Atlas, Revised Shapley Ames Catalog, Sandage-Bedke NASA atlas, and Carnegie Atlas of Galaxies. Luminosity classification of spirals was described by van den Bergh in ApJ 131, 215 (1960) and ApJ 131, 558 (1960); the NASA atlas includes many examples. de Vaucouleurs (1977, Yale conference p. 43) discusses comparison of classification with quantitative parameters. Dwarf galaxies were not included in these original schemes; see Sandage and Binggeli 1984 (AJ 89, 919). Many useful references are given in van den Bergh's review (JRAS Canada 69, 57, 1975) and in Sandage, SSS vol 9. Dwarfs can be classified based on whether a distinct nucleus is present and on whether the structure is spheroidal or more irregular. Some fall in the low-surface-brightness (LSB) category, though this also includes very large and massive systems; our understanding of LSB galaxies and how they relate to other kinds is still in its infancy.
    Classification on these systems is fairly robust; experienced observers generally agree on a galaxy's Hubble type to a level DT = 0.7 on the scale where the range from, say, Sa to Sab is one unit (and automated systems can be trained to a similar level). So what is this system "telling" us? The Hubble type (or T) can be shown to correlate with:

  • bulge/disk luminosity ratio

  • relative H I content M(H I)/L(B)

  • mass concentration

  • stellar population

  • nuclear properties

  • chemical abundances in the ISM

  • star formation history and integrated stellar spectrum We may usefully consider many galaxies as composed of some "building blocks" whose scale and importance varies from galaxy to galaxy. These include a nucleus, bulge, lens, bar, spheroidal component, disk (with arms, rings,...), and an unseen halo which is significant for the mass distribution and dynamics. The order revealed by existing classification systems tells us that these are not really independent; disk/bulge correlates overall with arm morphology, for example. These relations hold clues to both the formation and evolution of galaxies (unfortunately not easy to tell which is which). Many simulations suggest that bar and ring structure may evolve; we would like to distinguish properties which are primordial, or at least permanent once acquired, from those that are temporary.
    There has been very interesting recent work on automated classification of galaxy images, and on classification from minimal information (that is, from poorly resolved images as we get at high redshift). A few brave souls have tackled the automated recognition of "peculiar" galaxies, which would be a prerequisite for thinking we understand how their abundance might change with redshift and environment. Most people who have worked with deep HST images have been impressed by how peculiar faint galaxies are as a class, and it's a key question how much of this is a real difference from the local Universe and how much arises from color and surface-brightness selection effects which favor detection not only of galaxies which are forming stars at the relevant epoch, but of those pieces of galaxies that are doing so.
    One approach to automated classification is to ask what set of analytic or empirical components (bulge, disk) best represent a galaxy's detected image, and what the expected errors (say in the χ2 sense) are. The limitation here is that even in perfectly ordinary galaxies, the fitted forms for these components vary, and many galaxies have images that overlap with neighbors or are dotted with brilliant star-forming regions. A quite different approach is taken by neural-network schemes. Here, one defines a set of input values based on the galaxy image, and trains the code using a large set of galaxies classified by eyeball (usually by several sets of eyeballs for a consistency check). The code then finds the set of hidden connections needed to give these outputs, and can apply this mapping to any further data desired. This is thought to be an analog of what the human brain does in learning to recognize patterns, though working backwards, it is not particularly clear just what the code is responding to in the image, except that it looks most like the typical image that it was taught to classify in this way. Neural net classifiers seem to be statistically about as good as human ones, which is especially impressive if one considers that people may fold in all sorts of outside knowledge as to redshifts and passbands in their estimates. A detailed comparison of human and neural classifiers was presented by Naim et al. 1995 (MNRAS 274, 1107).
    The drive to derive as much information as possible from the expensive images of distant galaxies has led to the use of very simple image moments to classify galaxies. The idea is much like that of the Yerkes classification - the light is more concentrated in earlier-type galaxies. One implementation, by Fukugita et al. (1995 ApJ 439, 584) used HST imagery as "ground truth", and ground-based images in mediocre seeing to classify. Knowledge of the PSF is crucial, since this enters into the mapping between true and observed concentration indices in their (concentration, mean surface brightness) diagram. Results which are valid even in a statistical sense are useful in mapping the content of galaxy clusters, or using survey data to cover large areas of the sky at low resolution. A similar scheme, but designed to augment the Hubble system, was described by Abraham et al. (1994, ApJ, 432, 75). These automated classifications are by and large outgrowths of a long-standing broader classification problem - separating star and galaxy images at the faintest limits. Conselice and colleagures have made extensive use of a simple system involving concentration, asymmetry, and smoothness (CAS) parameters. Concentration C is measured as (for example) the logarithmic ratio of the radii containing 90% and 50% of the light. Asymmetry uses the fact that an arbitrary function can be decomposed into even and odd parts, and the figure derived is the absolute value of the departures from symmetry. The S parameter is more complex and data-dependent to derive; it describes the fraction of light in a galaxy image contained in bright structures smaller than a set threshold scale. Very crudely, C maps to morphological stage, A to interaction histroy, and S to star-formation rate, but these mappings are broad enough that the most powerful use of CAS is in comparing galaxy samples against each other.
    Another frontier in classification problems is how we should classify galaxies in the UV or infrared. Only now are large enough samples (such as the IR galaxy atlas derived from 2MASS data by Jarrett) being observed to tackle such problems systematically, and preferably without direct reference to the optical properties. The UV issue long relied largely on UIT imagery, with some HST snapshots being done for more distant galaxies to augment the very limited data on nearby galaxies. This situation is being systematically improved with the nearly all-sky GALEX survey. It has already turned up not only the expected sensitive tracers of star formation in early-type galaxies, but a category of spirals with very blue, low-surface-brightness outer disks which must have an interesting history of star formation.
    Going against the grain of this trend to simplify classification in the interest of automation, the Galaxy Zoo project has employed the contributions of hundreds of thousands of volunteers to derive increasingly sophisticated visual classifications for nearly a million galaxies in the SDSS, turning up some surprises (blue ellipticals, red spirals, different growth histories for black holes in galaxies with and without disks...) I think this has been an excellent idea!
  • Sistem Klasifikasi Galaksi

    Galaksi adalah bentuk pengelompokan bintang terbesar di alam semesta. Namun keberadaan bintang-bintang sebagai penyusun sebuah galaksi tidak diketahui sampai tahun 1920an. Sebelumnya, galaksi yang diamati menyerupai awan itu disebut nebulae, karena pengamatan pada saat itu tidak dapat memberikan resolusi yang cukup untuk memisahkan bintang-bintang penyusun galaksi. Dengan adanya kemajuan teknologi teleskop dan fotografi, bintang-bintang dalam sebuah galaksi mulai dapat diamati.Salah seorang pengamat galaksi adalah Hubble, yang dapat mengidentifikasi bintang-bintang variabel yang terdapat di galaksi Andromeda (M31).
    Bintang-bintang tersebut ternyata bersifat sama dengan Cepheid yang ditemukan dalam galaksi Bima Sakti. Kemudian dari hubungan periode – luminositas, Hubble mendapatkan bahwa jarak Andromeda dari Bima Sakti adalah tidak kurang dari 300 kpc, yang berarti bahwa Andromeda berada di luar Galaksi Bima Sakti yang berukuran 50 kpc. Hal ini menjadi penting karena sebelumnya semua nebulae diperkirakan sebagai bagian dari Bima Sakti. Sekarang telah diketahui bahwa jarak Andromeda adalah sekitar 800 kpc.

    Terdapat banyak bentuk galaksi di alam semesta ini. Untuk memudahkan dalam mengenali dan membedakan jenis dan bentuk suatu galaksi dibandingkan galaksi lainnya, diperlukan sistem identifikasi yang dapat dipakai di seluruh dunia. Pada tahun 1936, dalam buku The Realm of Nebulae, Hubble membuat pengelompokan galaksi dengan sistem yang lebih dikenal sebagai diagram garpu tala (tuning fork diagram). Sistem ini adalah yang pertama dibuat dan yang paling umum dipakai hingga saat ini. Dalam penggolongan ini, secara umum terdapat empat kelas galaksi, yaitu galaksi elips, lenticular, spiral, dan irregular untuk galaksi yang memiliki bentuk tidak beraturan.
    Galaksi elips memiliki bentuk bundar/elips dan tidak terlihat memiliki piringan pada strukturnya. Menurut Hubble, galaksi elips ini dibagi dalam subkelas berdasarkan bentuknya. Penamaannya menggunakan kode En, dengan E berarti elips, sedangkan n menunjukkan perbandingan antara sumbu mayor (a) dan minor (b) galaksi dengan rumusan n = 10 [1 - (b/a)]. Artinya, galaksi elips yang terlihat bundar dinamakan E0, sedangkan galaksi elips yang sumbu mayornya sebesar dua kali sumbu minornya dinamakan E5, dan seterusnya semakin pipih hingga E7.
    Galaksi lenticular adalah galaksi berbentuk piringan yang merupakan peralihan antara elips dan spiral. Galaksi ini diberi kode S0. Galaksi lenticular ini memiliki bagian inti yang elips dan memperlihatkan adanya struktur piringan, namun pada bagian piringannya tidak terdapat lengan spiral.
    Kelas galaksi berikutnya adalah galaksi spiral, yaitu galaksi yang berbentuk piringan dan mempunyai struktur lengan spiral. Kode penamaannya adalah S. Galaksi kelas lenticular dan spiral ini terkadang memiliki struktur bar pada piringannya. Untuk itu Hubble memberikan tambahan kode B pada penamaan masing-masing kelas galaksi yang memiliki bar: SB0 untuk galaksi lenticular dan SB untuk galaksi spiral.
    Galaksi spiral normal (S) dan dengan bar (SB), terbagi lagi dalam subkelas a, b, dan c, yang dibedakan menurut dua hal berikut: (1) perbandingan kecerlangan antara komponen bulge dan piringan; dan (2) seberapa dekat jarak antar lengan spiral. Galaksi kelas Sa memiliki bulge lebih besar dan lengan spiral yang lebih rapat jika dibandingkan dengan galaksi kelas Sb dan Sc. Hal yang sama juga berlaku untuk galaksi spiral dengan bar (SB). Penamaan dalam subkelas ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Sehingga, sebuah galaksi dapat termasuk dalam kelas Sab, atau Sbc, dan seterusnya. Lalu bagaimana dengan Galaksi kita, Galaksi Bima Sakti? Dalam penggolongan Hubble ini, Galaksi Bima Sakti ternyata tergolong kelas SBbc.

    Galaksi Bimasakti

    Terdapat banyak bintang, nebula, dan gugus bintang yang bisa diamati di langit setiap malamnya. Semua objek tersebut berada di dalam galaksi kita. Di beberapa bagian bintang nampak padat sehingga ketika langit cerah, bersih dari awan, dan kondisi sekitar yang gelap, kita bisa melihat pita berwarna putih yang memanjang dan melintasi beberapa rasi seperti Sagittarius (arah pusat Galaksi), Scorpius, Ophiucus, Aquila, Cassiopeia, Auriga, Crux, dan Centaurus. Sementara di bagian yang lain tampak celah-celah gelap yang menunjukkan adanya materi antar bintang yang tebal. Itulah (bidang) galaksi yang kita tinggali. Bentuknya yang seperti itu kemudian menginspirasi orang untuk menamakannya dengan sebutan Milky Way. Kata galaksi dan milky way itu sendiri diadaptasi dari bahasa Yunani “galaxias” dan Latin “via lactea” dengan kata dasar lactea yang berarti susu. Sedangkan menurut orang Indonesia, galaksi kita diberi nama Bimasakti. Menurut salah satu sumber dari Observatorium Bosscha, sejarah penamaan ini berasal ketika Presiden RI pertama, Soekarno, ditunjukkan citra galaksi oleh salah seorang astronom Indonesia. Ternyata, Soekarno melihat salah satu bagian gelap di foto tersebut menyerupai tokoh Bima Sakti. Namun tidak diketahui bagian gelap mana yang dimaksud.
    Galaksi Bimasakti di panjang gelombang visual
    Galaksi Bimasakti di malam hari (Axel Mellinger)
    Galaksi adalah tempat berkumpulnya bintang-bintang di alam semesta. Hampir tidak ditemukan adanya bintang yang berkelana sendiri di ruang antar galaksi. Dan Matahari termasuk di antara 200 milyar bintang di Galaksi Bimasakti (disingkat dengan Galaksi). Dengan asumsi bahwa rata-rata massa bintang di Galaksi adalah sebesar massa Matahari, maka massa Galaksi dapat mencapai 2 x 10^11 massa Matahari (massa Matahari adalah 2 x 10^30 kg).
    Bentuk galaksi Bimasakti seperti dua buah piring cekung yang ditangkupkan, bagian tengahnya tebal dan semakin pipih ke arah tepi, dan terdapat lengan-lengan spiral di dalamnya. Oleh karena itu Galaksi kita digolongkan ke dalam galaksi spiral. Berdasarkan klasifikasi galaksi Hubble, galaksi Bimasakti termasuk dalam kelas SBbc. Artinya, Galaksi kita adalah galaksi spiral yang memiliki “bar” atau palang di bagian pusatnya, dengan kecerlangan bagian pusat yang relatif sama dengan bagian piringan, dan memiliki struktur lengan spiral yang agak renggang di bagian piringannya.
    Gambaran Galaksi Bimasakti Terbaru
    Gambaran Galaksi Bimasakti terbaru (NASA/JPL-Caltech)
    Galaksi spiral tersusun atas 3 bagian utama, yaitu bagian bulge, halo, dan piringan. Ketiganya memiliki bentuk, ukuran, dan objek penyusun yang berbeda-beda. Bahkan, bagian bulge dan piringan menjadi penentu dalam klasifikasi galaksi yang dibuat oleh Hubble (diagram garpu tala).
    Bagian bulge adalah daerah di galaksi yang kepadatan bintangnya paling tinggi. Bintang-bintang tua lebih banyak ditemukan daripada bintang muda, karena sangat sedikit materi pembentuk bintang yang terdapat di sini. Bulge ini berbentuk elipsoid seperti bola rugby. Bintang-bintang di dalamnya bergerak dengan kecepatan tinggi dan orbit yang acak, tidak sebidang dengan bidang galaksi. Dari perhitungan kecepatan orbit bintang-bintang di dalamnya, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat sebuah benda bermassa sangat besar yang berada di pusat Galaksi yang jauh lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Benda tersebut diyakini adalah sebuah lubang hitam supermasif, yang diperkirakan terdapat di bagian pusat semua galaksi spiral. Termasuk juga di galaksi Andromeda, galaksi spiral terdekat dari Galaksi kita.
    Komponen kedua adalah halo. Berbentuk bola, ukuran komponen ini sangat besar hingga jauh membentang melingkupi bulge dan piringan, bahkan mungkin lebih jauh daripada batas terluar piringan galaksi yang bisa kita amati. Objek yang menjadi penyusun halo dibagi menjadi dua kelompok, yaitu stellar halo dan dark halo. Yang dimaksud dengan stellar halo adalah bintang-bintang yang berada di bagian halo. Namun hanya sedikit ditemukan bintang individu di bagian ini. Yang lebih dominan adalah kelompok bintang-bintang tua yang jumlah bintang anggotanya mencapai jutaan buah, yang disebut dengan gugus bola (globular cluster).
    Di bagian piringan terdapat bintang-bintang muda serta gas dan debu antar bintang yang terletak di lengan spiral. Banyak ditemukannya bintang muda dan gas antar bintang sangat berkaitan erat, karena gas adalah materi utama pembentuk bintang. Di beberapa lokasi bahkan ditemukan bintang-bintang muda yang masih diselimuti gas, yang menandakan bahwa bintang-bintang tersebut baru terbentuk. Sedangkan banyaknya debu di piringan membuat pengamat di Bumi kesulitan untuk melakukan pengamatan visual di sekitar bidang Galaksi, terutama ke arah pusat Galaksi (lihat gambar di atas). Karenanya, pengamatan di sekitar bidang Galaksi akan memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan di daerah panjang gelombang radio dan infra merah yang tidak terpengaruh oleh debu antar bintang (lihat gambar di bawah).
    Bimasakti dalam infra merah dekat
    Galaksi Bimasakti dalam panjang gelombang infra merah dekat (NASA-LAMBDA)
    Seberapa besar Galaksi kita? Di bagian pusat Galaksi, bulge hanya memiliki diameter 6 kpc dan tebal 4 kpc (kpc = kiloparsek, 1 parsek = 3,26 tahun cahaya = 206265 SA = 3,086 x 10^13 km). Jarak dari pusat hingga ke bagian tepi Galaksi (jari-jari) adalah 15 kpc dengan ketebalan rata-rata sebesar 300 pc. Sedangkan Matahari berada pada jarak 8 kpc dari pusat. Di posisi itu, Matahari sedang bergerak mengelilingi pusat Galaksi dengan bentuk orbit yang hampir melingkar. Laju orbitnya adalah sekitar 250 km/detik sehingga matahari memerlukan waktu 220 juta tahun untuk berkeliling satu kali. Jika umur matahari adalah 4,6 milyar tahun, berarti tata surya kita sudah mengorbit pusat Galaksi sebanyak 20 kali.
    Galaksi kita sebenarnya berada pada sebuah kelompok galaksi yang disebut dengan Grup Lokal, yang ukurannya mencapai 1 MPc dan beranggotakan lebih dari 30 galaksi. Galaksi spiral yang ada di kelompok ini hanya tiga, yaitu Bimasakti, Andromeda, dan Triangulum. Sisanya adalah galaksi yang lebih kecil dengan bentuk elips atau tak beraturan. Grup Lokal ini termasuk kelompok galaksi yang dinamis. Maksudnya adalah bahwa galaksi-galaksi di kelompok ini mengalami interaksi gravitasi, termasuk Galaksi kita dengan galaksi Andromeda. Interaksi tersebut diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya tabrakan antara Galaksi kita dengan Andromeda dan kemudian membentuk galaksi elips. Namun jangan terlalu khawatir karena peristiwa tersebut tidak akan terjadi hingga 2 milyar tahun lagi.

    Bulan

    Bulan (Moon dalam bahasa Inggris, Luna dalam bahasa Romawi, Artemis dalam bahasa Yunani) adalah satu-satunya satelit alami yang Bumi miliki. Jika dilihat dari posisinya, Bulan adalah benda angkasa yang paling dekat dari Bumi. Bulan juga menjadi benda kedua yang paling terang di langit setelah Matahari (magnitudo Bulan -12,7, Matahari -26,4) dan satu-satunya benda langit yang permukaannya dapat diamati dengan mudah.
    Permukaan Bulan
    Dari Bumi, kita bisa melihat Bulan dengan cukup jelas tanpa menggunakan alat bantu optik seperti teleskop dan binokular. Tampaklah bahwa Bulan memiliki permukaan yang kecerahannya tidak seragam, ada bagian yang terang dan ada yang gelap. Dan secara sekilas, Bulan tampak memiliki permukaan yang datar/halus. Begitulah anggapan masyarakat di jaman dahulu. Pandangan tersebut baru berubah ketika Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati Bulan 400 tahun yang lalu (inilah latar belakang pencanangan tahun 2009 ini sebagai Tahun Astronomi Internasional atau IYA 2009). Galileo mendapati bahwa permukaan Bulan tidaklah rata, tetapi berbukit-bukit dan memiliki banyak kawah. Dan karakteristik permukaan Bulan itu juga berhubungan dengan kecerahannya. Daerah yang tampak terang memiliki permukaan yang berbukit-bukit dan penuh kawah, sedangkan daerah yang tampak lebih gelap adalah permukaan yang memiliki sedikit kawah. Mereka pun kemudian memberikan nama dataran tinggi untuk bagian yang terang dan penuh dengan kawah, serta “mare” (berarti laut dalam bahasa Latin) untuk bagian yang gelap dan sedikit kawah. Penamaan lautan ini, sebenarnya adalah sebuah salah kaprah karena di Bulan tidak ada laut, dilakukan karena dataran gelap tersebut tampak seperti lautan.



    Perbedaan kecerahan di permukaan Bulan itu ternyata disebabkan oleh perbedaan material batuan yang terkandung di kedua kawasan itu. Batuan yang berada di bagian dataran tinggi adalah anorthosit yang mengandung banyak kalsium dan aluminum silikat. Sedangkan batuan yang menyusun mare adalah basalt, suatu lava beku yang banyak mengandung besi, magnesium, dan titanium silikat. Pengetahuan ini sudah dikonfirmasi dengan contoh batuan yang diambil dari Bulan, yang berjumlah tidak kurang dari 382 kg.
    Berbeda dengan Bumi, Bulan tidaklah memiliki atmosfer. Ada dua alasan yang menyebabkannya. Alasan yang pertama adalah karena bagian dalam Bulan terlalu dingin untuk hadirnya aktivitas vulkanik. Di Bumi, aktivitas vulkanik termasuk salah satu penghasil gas dan pembentuk atmosfer di masa awal pembentukannya. Sementara alasan kedua memegang peranan yang lebih penting lagi, yaitu karena massa Bulan terlalu kecil sehingga gaya gravitasi yang dihasilkan tidak cukup untuk menahan gas-gas yang terbentuk. Kecepatan lepas di Bulan hanyalah 2,4 km/detik, bandingkan dengan kecepatan lepas di Bumi yang sebesar 11,2 km/detik. Dengan kecepatan lepas sekecil itu, gas yang ada di Bulan dapat bergerak lepas dari pengaruh gravitasi Bulan, sehingga tidak ada udara di permukaannya.
    Ketiadaan atmosfer di Bulan menyebabkan banyaknya kawah di permukaannya. Benda-benda yang mengarah ke Bulan, yang berukuran besar ataupun kecil, dapat langsung menumbuk permukaannya tanpa ada penghambat. Berbeda dengan Bumi karena atmosfernya menyebabkan benda-benda asing yang mengarah ke Bumi akan mengalami gesekan hingga berpijar, terkikis, dan berkurang ukurannya. Peristiwa berpijarnya benda asing yang masuk ke atmosfer Bumi ini kita lihat sebagai meteor. Akibatnya, benda-benda yang kecil akan habis terbakar dan hanya benda-benda yang cukup besar saja yang akan menumbuk permukaan sehingga kawah yang ditemukan di permukaan Bumi tidaklah sebanyak di Bulan.
    Dari usia batuan di daerah dataran tingginya, tumbukan-tumbukan benda asing yang menghasilkan kawah di permukaan Bulan diperkirakan terjadi tidak lama setelah Bulan terbentuk, yaitu pada sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Dan di masa-masa awal setelah Bulan terbentuk itu, material yang berada di bagian permukaan sudah mulai mengeras sementara di dalamnya masih berada dalam bentuk lelehan. Sebelum bagian keraknya menebal, sebuah benda asing yang cukup besar menumbuk Bulan hingga material lava di dalamnya mengalir keluar dan mengisi kawah yang terbentuk. Peristiwa inilah yang menghasilkan mare di Bulan. Setelah mare terbentuk, hanya sedikit benda asing yang menumbuknya sehingga bagian mare hanya memiliki sedikit kawah seperti yang sekarang kita amati.
    Fase Bulan
    Sebagai satelit Bumi, Bulan bergerak mengelilingi Bumi dengan periode 27,3 hari (periode revolusi). Uniknya, periode revolusi Bulan itu sama dengan periode rotasinya (berputar pada porosnya), sehingga wajah Bulan yang terlihat dari Bumi akan selalu tetap dan kita tidak akan pernah dapat melihat wajah Bulan yang membelakangi Bumi. Lintasan orbit Bulan tidaklah berhimpit dengan orbit revolusi Bumi (ekliptika), melainkan menyilang sebesar 5,2 derajat, sehingga kita dapat melihat fase Bulan purnama atau gerhana Bulan secara bergantian. Karena apabila lintasan orbitnya berhimpit dengan ekliptika, kita tidak akan pernah dapat mengamati Bulan purnama melainkan hanya gerhana Bulan setiap bulannya.
    Dalam perjalanannya mengelilingi Bumi, posisi Bulan berubah-ubah relatif terhadap Matahari dan Bumi sehingga bagian terang di Bulan yang terlihat dari Bumi berbeda-beda dari waktu ke waktu secara periodik. Perubahan ini disebut dengan  perubahan fase, yang membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama dari periode rotasinya, yaitu 29,5 hari (disebut dengan periode sinodis). Dan dalam rentang waktu tersebut, Bulan juga akan terbit pada waktu yang berbeda setiap harinya.
    Apabila Bulan berada di antara Matahari dan Bumi, bagian Bulan yang terkena cahaya Matahari tidak dapat dilihat dari Bumi sehingga Bulan tidak akan dapat diamati juga. Saat ini, Bulan yang berada pada fase mati (atau disebut juga Bulan baru) akan terbit bersamaan dengan Matahari. Setelah fase ini bagian terang di Bulan yang terlihat dari Bumi bertambah sehingga Bulan tampak berbentuk sabit (fase sabit awal) dan waktu terbitnya menjadi semakin siang. Kemudian di hari-hari berikutnya, bentuk sabitnya akan semakin membesar hingga akhirnya setengah bagian Bulan yang menghadap Bumi menjadi terang, yang berarti Bulan berada pada fase setengah awal atau kuartir awal. Jarak sudut antara Bulan dan Matahari saat ini adalah 90 derajat dan Bulan yang berumur sekitar 7 hari ini akan terbit 6 jam setelah Matahari.
    Dari fase setengah awal, bagian yang terang di wajah Bulan akan terus bertambah hingga tampak benjol dan akhirnya mencapai bulat penuh (fase purnama) pada umur antara 14 – 15 hari. Pada fase purnama ini, Bulan akan terbit bersamaan dengan terbenamnya Matahari. Setelah itu, wajah Bulan yang terang akan berkurang hingga setengah (fase setengah akhir, terbit 18 jam setelah Matahari tenggelam) pada umur 21 hari, kemudian berbentuk sabit (fase sabit akhir, terbit 3 jam sebelum Matahari terbit) dan akhirnya kembali menjadi fase Bulan baru/mati.
    Karena dapat diamati dengan jelas, penduduk Bumi pun memanfaatkan fase Bulan sebagai penanda waktu/sistem kalender. Ada banyak sistem kalender yang didasarkan pada Bulan, dua diantaranya adalah sistem kalender Islam dan Jawa. Jumlah hari dalam satu bulan di kedua sistem itu ditentukan dari periode sinodis Bulan. Dalam kedua sistem kalender tersebut terdapat 12 bulan dalam setahun yang masing-masing bulannya terdiri dari 29 atau 30 hari. Di kalender Jawa, bulan pertama memiliki 30 hari dan bulan berikutnya memiliki 29 hari, begitu seterusnya secara bergantian hingga bulan ke-12. Sedangkan di kalender Islam yang banyak digunakan saat ini, jumlah hari dalam sebulan ditentukan dari perhitungan usia Bulan sehingga bisa saja terdapat dua bulan yang berurutan memiliki jumlah hari yang sama.
    Ciri Fisik
    Bulan adalah satelit kelima terbesar di Tata Surya kita setelah Ganymede, Titan, Callisto, dan Io. Diameternya adalah sebesar 3.476 km, sepertiga dari diameter Bumi. Sedangkan massanya adalah sebesar 7,35 x 10^22 kg. Dengan ukuran dan massa sebesar itu, gaya tarik gravitasi di Bulan lebih kecil daripada di Bumi, yaitu hanya sebesar 16,5% dari gravitasi di Bumi (1,62 m/s^2 berbanding 9,8 m/s^2).


     arak rata-rata Bulan dari Bumi adalah sejauh 384.403 km. Pada jarak ini, Bulan akan tampak seukuran dengan Matahari yang jaraknya 400 kali lebih jauh dan ukurannya 400 kali lebih besar daripada Bulan. Karena ukuran Bulan dan Matahari di langit setara inilah penduduk Bumi dapat mengalami gerhana Matahari, yaitu ketika terhalangnya cahaya Matahari yang seharusnya sampai ke permukaan Bumi karena Bulan berada di antara Bumi dan Matahari.
    Bulan memiliki interior yang cukup unik. Bagian kerak Bulan diketahui lebih tebal di permukaan yang membelakangi Bumi dibandingkan dengan permukaan yang menghadap Bumi. Hal ini menjelaskan mengapa di permukaan Bulan yang menghadap Bumi terdapat banyak mare, yaitu karena tipisnya bagian kerak sehingga tumbukan benda yang cukup besar dapat menghancurkan kerak dan membuat material cair mengalir keluar ke permukaan. Keunikan lainnya adalah posisi bagian inti Bulan yang tidak berada tepat di tengah, melainkan sedikit bergeser ke arah Bumi. Penyebabnya diperkirakan karena saat pembentukannya dahulu, gaya tarik Bumi sedemikian kuatnya sehingga dapat menggeser bagian inti Bulan tersebut. Dan akibat pergeseran ini, bagian interior Bulan di bawah permukaan yang menghadap Bumi mendingin lebih lama daripada bagian interior yang membelakangi Bumi. Sehingga terjadilah perbedaan ketebalan kerak di kedua bagian permukaan tersebut.
    Kerapatan Bulan yang hanya sebesar 3,3 g/cm^3 menunjukkan sedikitnya kandungan besi dalam interior Bulan. Bagian inti Bulan yang berupa material padat dan berukuran kecil, serta lambatnya rotasi Bulan membuat astronom berkesimpulan bahwa bagian inti Bulan tidak dapat membangkitkan medan magnet sehingga tidak ada gunanya kita membawa kompas ke sana. Hal ini sudah dikonfirmasi oleh para astronot yang mendarat di Bulan. Namun penelitian juga menunjukkan adanya jejak magnetisme pada batuan Bulan. Artinya, dahulu Bulan pernah memiliki medan magnet, yaitu ketika bagian intinya masih berupa material lelehan.
    Bulan kini diperkirakan berusia lebih dari 4,5 miliar tahun. Asal-usulnya belum diketahui secara pasti, namun setidaknya ada empat teori yang mencoba menjelaskan asal-usul Bulan. Pertama, Bulan terbentuk bersamaan dengan Bumi. Kedua, Bulan terbentuk ketika Bumi berputar begitu cepat sehingga sebagian materialnya terlontar dan memadat menjadi Bulan. Ketiga, Bulan adalah benda angkasa yang ditangkap oleh gaya gravitasi Bumi. Ketiga teori ini sudah ada sejak sebelum contoh batuan Bulan diambil oleh astronot Apollo. Masing-masing teori tersebut akan menghasilkan tiga variasi komposisi material Bulan yang berbeda-beda. Untuk membuktikan teori mana yang cocok, dibutuhkan contoh batuan Bulan agar dapat diteliti komposisinya.
    Menurut teori pertama, komposisi material penyusun Bulan akan sama dengan Bumi karena keduanya terbentuk dari material yang sama. Sedangkan menurut teori kedua, akan ada kemiripan dalam komposisi batuan keduanya namun tidak akan sama secara keseluruhan karena material pembentuk Bulan berasal dari sebagian material Bumi, yaitu hanya dari bagian kerak Bumi saja. Dan menurut teori ketiga, material Bumi dan Bulan akan sama sekali berbeda. Setelah contoh batuan Bulan diambil dan diteliti, ternyata ketiga teori tersebut tidak dapat menjelaskan hasil penelitian yang diperoleh karena ada material yang komposisinya sama dan ada juga material yang komposisinya berbeda dengan yang ada di Bumi.
    Batuan Bulan
    Batuan Bulan (Britannica)
    Dari hasil penelitian tersebut muncullah teori keempat yang menyebutkan bahwa Bulan terbentuk setelah terjadi suatu tumbukan hebat antara benda angkasa sebesar Mars dengan Bumi muda. Akibat dari tumbukan tersebut, sebagian material Bumi dan benda asing itu terlontar dan sembari mengelilingi Bumi, material campuran tersebut kemudian memadat. Dan kini campuran antara material penyusun Bumi dan benda asing itu kita lihat sebagai Bulan. Teori ini juga dapat menjelaskan penyebab kemiringan sumbu rotasi Bumi sebesar 23,5 derajat. Dengan begitu, teori ini pun menjadi teori yang diterima oleh banyak pihak hingga saat ini.
    Interaksi Bulan dan Bumi
    Sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Newton bahwa benda bermassa akan menghasilkan pengaruh gravitasi bagi benda-benda lain, Bumi dan Bulan juga berinteraksi secara gravitasi. Pengaruh gravitasi Bumi menyebabkan Bulan bergerak mengelilingi Bumi dan posisi bagian inti Bulan tidak tepat berada di pusatnya. Sedangkan pengaruh gravitasi Bulan menyebabkan semua materi yang ada di Bumi seperti daratan, atmosfer, dan air mengalami gaya tarik ke arah Bulan. Namun karena daratan terdiri atas materi yang tidak dapat bergerak bebas dan kita tidak dapat mengamati atmosfer dengan mudah, maka pengaruh gravitasi Bulan pada air laut sangat mudah untuk kita amati.

    Interaksi Bulan dan Bumi
    Sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Newton bahwa benda bermassa akan menghasilkan pengaruh gravitasi bagi benda-benda lain, Bumi dan Bulan juga berinteraksi secara gravitasi. Pengaruh gravitasi Bumi menyebabkan Bulan bergerak mengelilingi Bumi dan posisi bagian inti Bulan tidak tepat berada di pusatnya. Sedangkan pengaruh gravitasi Bulan menyebabkan semua materi yang ada di Bumi seperti daratan, atmosfer, dan air mengalami gaya tarik ke arah Bulan. Namun karena daratan terdiri atas materi yang tidak dapat bergerak bebas dan kita tidak dapat mengamati atmosfer dengan mudah, maka pengaruh gravitasi Bulan pada air laut sangat mudah untuk kita amati.
    Gambaran pasang naik dan pasang surut
    Gambaran pasang naik dan pasang surut (Cockpit Cards)
    Gaya tarik Bulan mengakibatkan ketinggian permukaan air laut berubah secara periodik. Perubahan tersebut biasa disebut dengan pasang naik (ketinggian air laut bertambah) dan pasang surut (ketinggiannya berkurang). Secara umum bagi pengamat di ekuator Bumi, pasang naik akan terjadi apabila Bulan berada di meridian (saat kulminasi atas) dan ketika Bulan kulminasi bawah. Sedangkan pasang surut akan terjadi ketika Bulan berada di horison (saat terbit dan terbenam). Jadi setiap lokasi di Bumi akan mengalami pasang naik dan surut secara bergantian setiap sekitar 6 jam sekali.
    Pasang naik maksimum akan terjadi ketika Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus, yaitu pada saat terjadinya Bulan mati atau purnama. Saat itu, air laut mengalami gaya tarik oleh gravitasi Bulan dan Matahari sekaligus (gravitasi Matahari tidak sebesar gravitasi Bulan). Sedangkan saat Bulan berada pada fase setengah awal dan akhir, pasang naik akan menjadi minimum karena posisi Bulan dan Matahari yang terpisah 90 derajat menyebabkan gaya gravitasi Bulan dan Matahari saling meniadakan.
    Gravitasi Bulan juga memberi pengaruh positif terhadap iklim di Bumi, yang dipengaruhi oleh kemiringan sumbu rotasi Bumi. Dengan adanya Bulan, kemiringan sumbu rotasi Bumi relatif tetap sepanjang masa, sehingga iklim di Bumi juga relatif stabil. Apabila Bulan tidak ada, diperkirakan kemiringan sumbu rotasi Bumi akan mengalami perubahan yang sangat ekstrim sehingga iklim di Bumi akan berubah secara ekstrim juga.
    Interaksi Bumi dan Bulan juga mengakibatkan terjadinya pengereman rotasi Bumi dan bertambahnya jarak Bumi-Bulan. Penyebabnya adalah gesekan yang terjadi antara air laut dengan daratan pada peristiwa pasang naik air laut. Menurut perhitungan, rotasi Bumi mengalami perlambatan sebesar 1,5 milidetik setiap abadnya dan akibatnya Bulan bergerak menjauhi Bumi sebesar lebih dari 3 cm setiap tahunnya. Dengan demikian, jutaan tahun dari sekarang periode rotasi Bumi akan sama dengan periode rotasi dan revolusi Bulan sehingga wajah yang sama dari Bulan dan Bumi akan selalu berhadapan. Saat itu, melihat Bulan adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi penduduk di separuh belahan Bumi, karena posisi Bulan di langit akan selalu tetap. Kemudian karena jarak Bumi – Bulan membesar, ukuran sudut Bulan akan berkurang sehingga kita tidak akan dapat menyaksikan piringan Bulan yang menutupi seluruh piringan Matahari saat terjadinya gerhana Matahari total.