Senin, 26 Februari 2018


Aplikasi pemuliaan tanaman tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan yang ada, karena tanaman dalam pertumbuhannya merupakan fungsi dari genotipe dan lingkungan (Allard, 1960). Penampilan tanaman tergantung kepada genotipe, lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh dan interaksi antara genotipe dan lingkungan. Respon tanaman yang spesifik terhadap lingkungan yang beragam mengakibatkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G x L), pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi dari genetik dalam penampilan akhir (Gomez dan Gomez 1985). Oleh karena itu, pengembangan tanaman diarahkan untuk mendapatkan varietas yang dapat beradaptasi luas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Pfeiffer et al., 1995). Dewasa ini, pengembangan tanaman sudah mulai diarahkan pada tanaman yang spesifik lokasi.
Beberapa metode untuk menjelaskan dan menginterpretasikan tanggap genotipe terhadap variasi lingkungan telah banyak dikembangkan. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode additive main effect multiplicative interaction (AMMI), seperti yang dilakukan oleh Sumertajaya (1998) dan Kusumaningsih (2004). Analisis dengan metode tersebut menggabungkan pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Analisis AMMI dapat menjelaskan interaksi galur dengan lokasi. Dalam menyajikan pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lokasi maka hasil penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lokasi secara simultan. Penyajian dalam bentuk plot yang demikian disebut biplot. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan, dan antara galur dan lingkungan. Biplot tersebut menyajikan nilai komponen utama pertama dan rataan. Biplot antara nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama pertama bisa ditambahkan jika komponen utama kedua tersebut nyata (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Dengan demikian analisis AMMI dapat meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi galur dengan lingkungan.
Tahapan analisis AMMI yang dilakukan adalah :
1. Menyusun matriks pengaruh interaksi dalam bentuk matriks Ig x l
2. Melakukan penguraian bilinear terhadap matriks Igxl melalui SVD (singular value decomposition)
3. Menentukan banyaknya Komponen Utama I (KUI) nyata melalui postdictive success
4. Membuat biplot AMMI
Suatu galur dianggap stabil jika posisinya berada dekat dengan sumbu utama. Galur dianggap spesifik pada lokasi tertentu dapat dilihat melalui posisi masing-masing galur terhadap garis lokasi.
Menurut Vargas et al. (1998) interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi ekspresi tanaman. Ini artinya genotipe yang sama akan memberikan respon produksi yang berbeda pada lingkungan yang berbeda.



Evaporasi adalah komponen utama penggerak siklus hidrologi, karena itu menduga laju evaporasi dengan akurat sangat penting untuk pengelolaan sumber daya air dan peningkatan produksi pertanian. Tetapi, laju evaporasi adalah unsur iklim yang sulit diukur secara langsung karena beragamnya faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor yang mempengaruhi ET adalah faktor cuaca seperti radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin; faktor tanaman seperti jenis tanaman, fase tumbuh, keragaman dan kerapatan tanaman dan faktor pengelolaan dan kondisi lingkungan tanaman seperti kondisi tanah, salinitas, kesuburan tanah, tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman (Temesken, Davidovv dan Frame, 2005).
Evapotranspirasi standar didefinisikan sebagai laju evapotranspirasi dari permukaan yang luas, rapat ditumbuhi rumput hijau dengan ketinggian yang seragam antara 8 – 15 cm dan dalam kondisi tidak kekurangan air (Allen, 1998).
CROPWAT adalah decision support system yang dikembangkan oleh Divisi Land and Water Development FAO berdasarkan metode Penman- Monteith, untuk merencanakan dan mengatur irigasi. CROPWAT dimaksudkan sebagai alat yang praktis untuk menghitung laju evapotranspirasi standar, kebutuhan air tanaman dan pengaturan irigasi tanaman (Marica, 2000).
Dari beberapa studi didapatkan bahwa model Penmann-Monteith memberikan pendugaan yang akurat sehingga FAO merekomendasikan penggunaannya untuk pendugaan laju evapotranspirasi standar dalam menduga kebutuhan air bagi tanaman (Itenfisul.et.al., 2003; engena dan Gavilan, 2005).
Pengukuran langsung laju evapotranspirasi sebaiknya menggunakan lisimeter, tetapi hanya sedikit stasiun iklim yang memiliki lisimeter, karena itu pengukuran dilakukan dengan panci evaporasi  yang disebut Panci Klas-A dengan dilengkapi data-data iklim yang lain. Tetapi sebuah penelitian oleh Fontenot (2004) menunjukkan bahwa laju evapotranspirasi standar yang diukur dengan Panci Klas-A tidak cocok dengan hasil dari metode Penman-Monteith. Xing et.al.(2008) mendapatkan laju evapotranspirasi dengan menggunakan data panci lebih rendah daripada yang diduga dengan metode Penman-Monteith maupun Priestley-Taylor. Untuk mendapatkan laju evapotranspirasi standar, hasil pengukuran dengan panci harus dikonversikan dengan menggunakan koefisien panci dan dengan metode Cuenca dan Snyder didapatkan koefisien panci untuk iklim maritim Canada bervariasi antara 0.78 – 0.94.


Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpang sari perkebunan karet dapat diusahakan sampai tahun ke tiga dan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun ke empat. Bila siklus peremajaan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit dilakukan etiap 25 tahun sekali, maka potensi pengusahaan padi gogo sebagai tanaman tumpangsari di kedua jenis perkebunan tersebut dapat mencapai luasan 12% (Toha, 2005). Kendala utama di lahan tersebut yaitu intensitas cahaya rendah (naungan) di bawah tegakan perkebunan/hutan tanaman industri selain kemasaman tanah yang tinggi (Sopandie dan Trikoesoemaningtyas, 2011 ; Barus, 2013) dan ancaman kekeringan (Sopandie dan Trikoesoemaningtyas, 2011 ) sebagai dampak perubahan iklim yang menyebabkan periode musim hujan dan musim kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara pasti (Budiastuti, 2009). Kendala lain yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya penyakit blas (Pyricularia grisea).
Menurut Sopandie et al. (2003a) naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan mengakibatkan penurunan fotosintat. Tanaman toleran mempunyai tingkat efisiensi penerimaan cahaya yang lebih tinggi pada kondisi normal dan terutama saat ternaungi dibanding tanaman yang peka. Karakter padi gogo toleran naungan mempunyai kemampuan meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatkan tinggi tanaman sehingga fotosintesis relatif optimum (Sasmita et al., 2006). Karakter ini akan mempengaruhi mekanisme fisiologi di dalam jaringan seperti penurunan nisbah klorofil a/b (Lautt et al., 2000).

Kesimpulan
Galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan WI-44 (4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tinggi dan sebanding dengan varietas pembanding Way Rarem (4.95 ton ha-1). Galur B13-2-e (127.40 cm) memiliki tinggi tanaman sebanding dengan varietas Batutegi (128.80 cm), sebaliknya galur WI-44 (106.85 cm) memiliki tinggi tanaman lebih pendek dibanding kedua varietas pembanding. Kedua galur memiliki jumlah anakan produktif relatif sama (15-16 batang) dan lebih banyak dibanding dengan kedua varietas pembanding (9-10 batang). Galur B13-2-e dan WI-44 termasuk kategori toleran terhadap naungan. Galur toleran lainnya yaitu galur I5-10-1-1, O18-b-1, dan IW-56. Galur B13-2-e dan WI-44 direkomendasi untuk dapat diverifikasi lanjut, konsistensi hasil dan toleransinya pada kondisi naungan alami, antara lain pada sistem tumpangsari.


Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah (Badan Litbang Pertanian, 2010). Menurut Yang et al. (2004); Miyagawa (2005); Syukur (2005); Eugene et al. (2010); Leszczynska dan Malina (2011) aplikasi bahan organik sebagai pupuk organik dapat meningkatkan kadar hara, meningkatkan kemampuan kimiawi, meningkatkan kemampuan fisik dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Kemudian Rochmah (2009); Widowati (2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan meningkatkan efisiensi pemupukan.
Hasil penelitian Sugiyanta et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan ½ dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1, 50 kg SP-36 ha-1 dan 50 kg KCl ha-1) + aplikasi 7.5 ton jerami ha-1 menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan pupuk anorganik dosis rekomendasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik sekitar 50%, walaupun sebenarnya sumbangan hara N, P, dan K dari pupuk organik relatif kecil sekitar 0-10% tergantung dari tingkat mineralisasi dari pupuk organik tersebut. Hal ini berarti 40% sampai 50% penyediaan hara N, P, dan K berasal dari perbaikan sifat fisik dan biologi tanah.
Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting yaitu penyediaan unsur hara makro dan mikro tetapi dalam jumlah yang sedikit, sehingga berbagai hasil penelitian pupuk organik menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda. Kemudian menurut Chairani (2006) selain karena rendahnya kadar unsur hara dalam pupuk organik, unsur hara pada pupuk organik harus melalui proses mineralisasi terlebih dahulu sehingga lambat tersedia bagi tanaman.
Unsur N merupakan unsur yang sangat penting pada fase vegetatif tanaman, serta merupakan unsur hara yang paling menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan hasil padi sawah. Bertambahnya luas daun per rumpun pada tahap anakan aktif dan anakan maksimum diduga karena meningkatnya jumlah anakan per rumpun. Menurut Rachman et al. (2008) dan Rubio et al. (2009), N berperan dalam memacu pertumbuhan vegetatif tanaman dan meningkatkan kualitas daun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wahyuti (2011) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman dan pembentukan anakan padi sawah varietas Ciherang, Maro, dan galur B11143 dipengaruhi oleh meningkatnya aplikasi dosis pupuk N.
Peningkatan aplikasi dosis sampai 400 kg pupuk anorganik ha-1 akan meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama N, P, dan K tanah. Komponen hasil dan hasil gabah dipengaruhi oleh fotosintesis tanaman, dimana proses ini dipengaruhi oleh unsur hara N, P, dan K. Unsur N berfungsi meningkatkan kandungan klorofil daun tanaman sehingga proses fotosisntesis tanaman meningkat. Jumlah klorofil yang tinggi menunjukkan proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik (Suharno et al., 2007; Ai dan Banyo, 2011).
Aplikasi dosis pupuk organik + dosis pupuk anorganik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Hasil tersebut dapat terlihat pada aplikasi dosis 500 kg pupuk organik ha-1 + 200 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan efisiensi pemupukan N tertinggi sampai 89.19%, sedangkan aplikasi dosis 750 kg pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan efisiensi pemupukan P dan K tertinggi masing-masing yaitu 69.55% dan 92.52% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Peningkatan efisiensi pemupukan ini dipengaruhi oleh peran pupuk organik dalam meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman serta peningkatan aktivitas dan keanekaragaman hayati biota tanah.
Pada kondisi jenuh air (anaerob) tanah sulit mendapatkan O2 sehingga mengganggu aktivitas mikroba dalam tanah. Azospirillum sp, Azotobacter, dan bakteri pelarut fosfat adalah mikroba yang hidup di daerah rizosfer tanaman dan merupakan bakteri aerob obligatif atau bakteri yang memerlukan oksigen bebas sehingga peran oksigen menjadi salah satu faktor dalam perkembangan hidupnya. Metode SRI (System Rice of Intensification) mengkondisikan lahan dalam keadaan yang tidak selalu tergenang (intermitten), sehingga memungkinkan pada bagian rizosfer dalam keadaan oksidatif. Hal ini mendorong Azospirillum sp, Azotobacter, dan mikroorganisme aerob lainnya dapat berkembang dengan baik.



Revolusi hijau melahirkan varietas unggul berdaya hasil tinggi (high yielding varieties) yang responsif terhadap pemupukan. Pupuk anorganik menjadi komponen utama sarana produksi untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) dampak dari penggunaan pupuk anorganik secara intensif terlihat pada penurunan bahan organik tanah. Sugiyanta et al. (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk anorganik berdosis tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah dan menjadi pembatas untuk mencapai hasil padi sawah yang tinggi.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah (Badan Litbang Pertanian, 2010). Menurut Yang et al. (2004); Miyagawa (2005); Syukur (2005); Eugene et al. (2010); Leszczynska dan Malina (2011) aplikasi bahan organik sebagai pupuk organik dapat meningkatkan kadar hara, meningkatkan kemampuan kimiawi, meningkatkan kemampuan fisik dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Kemudian Rochmah (2009); Widowati (2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan meningkatkan efisiensi pemupukan.
Aplikasi pupuk organik bukan sebagai pengganti pupuk anorganik namun sebagai komplemen, sehingga dalam budidaya konvensional pupuk organik sebaiknya digunakan secara terpadu dengan pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman secara berkelanjutan. Aplikasi pupuk organik ke dalam tanah selain ditujukan sebagai sumber hara makro, mikro, dan asam asam organik, juga berperan sebagai bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah dalam jangka panjang.
Hasil penelitian Sugiyanta et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan ½ dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1, 50 kg SP-36 ha-1 dan 50 kg KCl ha-1) + aplikasi 7.5 ton jerami ha-1 menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan pupuk anorganik dosis rekomendasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik sekitar 50%, walaupun sebenarnya sumbangan hara N, P, dan K dari pupuk organik relatif kecil sekitar 0-10% tergantung dari tingkat mineralisasi dari pupuk organik tersebut. Hal ini berarti 40% sampai 50% penyediaan hara N, P, dan K berasal dari perbaikan sifat fisik dan biologi tanah.
Aplikasi pupuk jerami dengan dosis tinggi memiliki kendala yaitu ketersediaan dan kemudahan dalam aplikasi. Oleh karena itu perlu dipelajari penggunaan pupuk organik sebagai komplementer dengan dosis yang rendah. Informasi mengenai jenis dan dosis pupuk organik + anorganik yang tepat akan bermanfaat dalam peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi sawah dengan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi dosis pupuk organik + anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah, serta terhadap efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik.
Ada beberapa kelemahan pupuk organik yaitu: (1) kandungan hara pupuk organik rendah sehingga tanpa pupuk anorganik menyebabkan sumbangan hara sangat sedikit, (2) pupuk organik harus melalui proses mineralisasi, dan (3) immobilisasi unsur hara sehingga unsur hara lambat tersedia bagi tanaman. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting yaitu penyediaan unsur hara makro dan mikro tetapi dalam jumlah yang sedikit, sehingga berbagai hasil penelitian pupuk organik menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda. Kemudian menurut Chairani (2006) selain karena rendahnya kadar unsur hara dalam pupuk organik, unsur hara pada pupuk organik harus melalui proses mineralisasi terlebih dahulu sehingga lambat tersedia bagi tanaman.
Peningkatan aplikasi dosis pupuk anorganik menunjukkan peningkatan ketersediaan unsur hara terutama nitrogen (N) dalam tanah. Unsur hara yang terkandung dalam pupuk anorganik lebih cepat tersedia bagi tanaman. Unsur N merupakan unsur yang sangat penting pada fase vegetatif tanaman, serta merupakan unsur hara yang paling menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan hasil padi sawah.

KESIMPULAN
Interaksi nyata antara pupuk organik dan anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Aplikasi pupuk organik sampai dosis 1,000 kg ha-1 tidak meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi, sebaliknya aplikasi pupuk anorganik sampai dosis 400 kg ha-1 meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi. Aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik. Efisiensi N tertinggi (89.19%) pada aplikasi dosis 500 kg pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik ha-1, dan efisiensi P dan K tertinggi (69.55% dan 92.52%) pada aplikasi dosis 750 kg pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik ha-1. Aplikasi pupuk anorganik pada padi sawah cukup 300 kg ha-1


Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun belakangan memicu peningkatan resiko banjir. Menurut Hirabayashi et al. (2013) peningkatan frekuensi banjir tergantung pada peningkatan derajat pemanasan global yang terjadi dan tertinggi adalah di Asia Tenggara, India, Afrika Timur dan Utara Pegunungan Andes. Cekaman rendaman atau genangan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan terjadinya penurunan komponen hasil dan hasil tanaman. Kuswantoro (2011) menyatakan pada tanaman kedelai bahwa cekaman rendaman menyebabkan penurunan jumlah cabang produktif, jumlah polong isi dan hasil. Pada tanaman padi, telah banyak dilaporkan dampak cekaman rendaman terhadap pertumbuhan dan hasil, namun lebih terbatas pada cekaman rendaman keseluruhan yang sesaat seperti akibat terjadinya banjir rob. Para peneliti dari IRRI juga sudah banyak mempublikasikan hasil penelitian terkait cekaman rendaman keseluruhan, antara lain (1) Septiningsih et al. (2009) yang mengungkapkan pembentukan tanaman padi toleran cekam   rendaman keseluruhan melalui pendekatan molekuler dengan penemuan gen Sub1 dan (2) Mackill et al. (2010) mempelajari cekaman rendaman sebagai salah satu cara adaptasi untuk antisipasi perubahan iklim global. Dengan semakin tingginya intensitas banjir dan cekaman rendaman, Collard et al. (2013) menyatakan perlu upaya perakitan varietas toleran rendaman untuk berbagai kondisi rendaman yang terjadi sekarang ini, seperti rendaman stagnan, rendaman pada fase kecambah (anaerobic germination), serta gabungan berbagai cekaman abiotik terkait cekaman rendaman, seperti salinitas dan kekeringan.
Perakitan varietas padi yang toleran terhadap rendaman keseluruhan dan sesaat (submergence/flash flooding) telah berkembang baik dengan ditemukannya gen Sub1 yang dimasukkan ke beberapa varietas berdaya hasil tinggi di Asia yang ditanam lebih dari satu juta hektar antara lain IR64, Swarna, Samba Mahsuri BR11, TDK dan CR1009 (Septiningsih et al., 2009). Metode pemuliaan yang digunakan adalah metode silang balik dengan bantuan marka molekuler atau marker assisted backcrossing (MAB). Selain gen Sub1, saat ini telah ditemukan gen Snorkel1 dan Snorkel2 yang mengendalikan sifat kemampuan pemanjangan batang ketika tanaman padi tercekam rendaman. Gen Snorkel sesuai untuk pertanaman padi yang mengalami cekaman rendaman stagnan atau berada di daerah rawa dalam (deepwater). Tiga QTL (quantitative trait locci) yang berperan dalam kemampuan pemanjangan batang terletak pada kromosom 1, 3 dan 12 (Hattori et al., 2008). Diantara ketiga lokus tersebut, gen pengendali pada kromosom 12 adalah yang paling utama. Penemuan tersebut memungkinkan untuk menggunakan pendekatan molekuler dalam perbaikan kemampuan pemanjangan batang varietas padi untuk toleransi terhadap rendaman stagnan. Sedangkan menurut Nugraha et al. (2013) bobot tajuk, bobot daun, luas indek daun, diameter batang, tinggi tanaman dan jumlah anakan merupakan karakter yang paling efektif digunakan sebagai kriteria untuk seleksi tandem terhadap hasil gabah karena memiliki variabilitas genetik luas, heritabilitas tinggi dan korelasi yang kuat den an hasil gabah. Karakterkarakter tersebut efektif digunakan untuk seleksi hasil gabah padi yang toleran terhadap cekaman rendaman stagnan.
Cekaman rendaman stagnan pada pertanaman padi sering terjadi pada daerah rawa lebak. Penggunaan varietas lokal di lahan rawa lebak masih memberikan produktivitas yang rendah, seperti Pandak Putih dan Siam Kuning di lahan rawa lebak dalam Kalimantan Selatan hanya sekitar 3.0 ton ha-1 dan Sei Putih di lebak pematang dan tengahan Sumatera Selatan berkisar 2.0-2.5 ton ha-1 (Suwarno et al., 1996). Penggunaan varietas unggul baru (VUB) berdampak terhadap peningkatan produktivitas, antara lain varietas Cisanggarung pada musim kemarau di Kayu Agung, Sumatera Selatan dapat menghasilkan 4.0-5.5 ton ha-1, varietas unggul padi seperti Barito, Mahakam, Tapus, Alabio dan Nagara mampu menghasilkan gabah kering giling sebanyak 4.0-5.0 ton ha-1 di lahan lebak dangkal dan tengahan Kayuagung, Sumatera Selatan (Suwarno et al., 1996). Terlihat bahwa jika budidaya padi lebak dilakukan secara intensif, maka daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi sebagai alternatif sentra produksi padi.
IRRI (International Rice Research Institute) mulai melirik pengembangan area pertanaman padi ke lahanlahan yang mengalami cekaman rendaman stagnan, yaitu terendam 25-50 cm dari permukaan tanah selama hampir seluruh fase hidupnya. Belum ada varietas padi yang dilepas untuk kondisi terendam seperti ini. Selain itu, perakitan varietas padi yang memiliki kombinasi toleransi terhadap rendaman sesaat dan stagnan merupakan prioritas utama program pemuliaan di IRRI. Beberapa galur harapan yang memiliki toleransi terhadap kedua jenis rendaman tersebut telah diuji lapang di Asia dan Afrika selama tahun 2011-2012 (Mackill et al., 2010).
Strategi adaptasi tanaman padi terhadap cekaman rendaman stagnan adalah melakukan pemanjangan batang mengikuti naiknya permukaan air, sehingga daun masih berada di atas permukaan air untuk menghindari kondisi anaerob. Hattori et al. (2011) menyebutkan strategi ini sebagai escape strategy. Menurut Hattori et al. (2009) pada bagian tanaman yang terendam air, zat pengatur tumbuh (ZPT) etilen terakumulasi sehingga mengalami peningkatan yang menginduksi ekspresi gen Snorkel1 (SK1) dan Snorkel2 (SK2) yang berfungsi sebagai ERF-type transcription factors. Selain itu terjadi juga peningkatan ZPT gibberellic acid (GA).

KESIMPULAN
Genotipe yang memiliki hasil tertinggi pada lingkungan tercekam rendaman stagnan adalah IPB107-F-5-1-1 (G17) sebesar 5.47 ton ha-1 dan IPB107-F-82-2-1 (G15) sebesar 5.80 ton ha-1 dengan penurunan hasil di bawah 20%. Respon genotipe padi terhadap cekaman rendaman stagnan adalah mengalami pertambahan tinggi tanaman, umur berbunga 50%, umur panen, jumlah gabah hampa per malai dan kemampuan pemanjangan batang, sedangkan jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai mengalami penurunan. Kemampuan pemanjangan batang sebagai strategi adaptasi tanaman padi terhadap cekaman rendaman stagnan ternyata tidak berkorelasi terhadap hasil.


Ratun (ratoon) atau singgang (Jawa) atau turiang (Sunda) adalah tanaman padi yang telah dipanen yang tumbuh kembali menghasilkan anakan baru dan selanjutnya dapat berproduksi kembali (Islam et al., 2008). Keunggulan ratun, antara lain adalah waktu panen 40% lebih singkat, penghematan air sebanyak 60%, penghematan input produksi sebanyak 38% (Oad dan Cruz, 2002). Keunggulan lainnya adalah penghematan biaya, tenaga kerja, dan waktu persiapan tanam (Santos et al., 2003). Namun demikian, dari banyak keunggulan tersebut, produktivitas padi ratun cenderung masih rendah.

Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi ratun telah banyak dilakukan penelitian, antara lain tentang penggunaan varietas dan galur tipe baru (Susilawati et al., 2010). Input produksi pada padi utama juga dapat mempengaruhi kebugaran ratunnya (Islam et al., 2008). Pemupukan N yang dikombinasikan dengan P atau K pada padi ratun juga dapat meningkatkan produktivitas padi ratunnya (Susilawati et al., 2012a) atau mengatur teknik budidaya, misalnya pengaturan tinggi pemotongan saat panen tanaman utama (tinggi tunggul) (Susilawati et al., 2012b). Namun, belum banyak penelitian yang melaporkan penggunaan bioinsektisida dengan bahan pembawa ekstrak kompos untuk meningkatkan kebugaran padi ratun dan menurunkan populasi dan serangan serangga hamanya. Ekstrak kompos yang merupakan pupuk hayati dapat digunakan sebagai bahan pembawa bioinsektisida cair dengan bahan aktif konidia jamur entomopatogen, seperti Beauveria bassiana (Herlinda et al., 2012). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengkaji pengaruh aplikasi bioinsektisida dan ekstrak kompos terhadap produksi padi ratun dan populasi serangga hama yang menyerang padi ratun tersebut.
Bioinsektisida cair dibuat berdasarkan metode Herlinda et al. (2012), yaitu menggunakan bahan aktif konidia B. bassiana dengan kerapatan 109 konidia mL-1 dan bahan pembawanya adalah larutan ektrak kompos yang telah disterilkan pada suhu 100 oC untuk meniadakan bakteri perombak. Ekstrak kompos pada penelitian ini dibuat mengikuti metode Suwandi (2004), yaitu dengan fermentasi tepung kulit udang. Menurut Suwandi et al. (2012) setiap liter ekstrak kompos tersebut mengandung komunitas bakteri berguna dalam keadaan populasi berimbang, yaitu bakteri perombak kitin (kitinolitik), perombak selulosa (selulolitik) dan pelarut fosfat masing-masing 4.9x108;7.1x108; dan 6.3x108 sel dalam keadaan dorman (fase istirahat).
Rahimi et al. (2011) dan Liu et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah anakan padi ratun tidak hanya tergantung pada hara mineral yang diaplikasikan pada ratun tetapi juga ditentukan oleh input N pada padi utamanya. Suwandi et al. (2012) menambahkan, gejala ini terjadi karena meningkatnya serapan N, P dan K oleh tanaman padi yang diaplikasi ekstrak kompos.
Shrestha et al. (2012) menyatakan cara kerja ekstrak kompos dalam meningkatkan produksi tanaman melalui peningkatan mineralisasi atau melalui ameliorisasi tanah. Liu et al. (2012) menyatakan N yang diserap padi ratun 57-76% akan digunakan untuk pembentukan bunga dan dimanfaatkan untuk pembentukan bulir padi ratun. Susilawati et al. (2012a) melaporkan bahwa unsur N mutlak diperlukan dalam menghasilkan ratun yang berproduksi tinggi dan N dapat dikombinasikan dengan P atau K. Santoso (2011) menyatakan unsur P dan K secara bersama-sama merangsang pengisian bulir padi, meningkatkan ukuran dan bobot bulir, sehingga dapat meningkatkan hasil gabah dan bulir yang bernas.

KESIMPULAN
Perlakuan ekstrak kompos dan kombinasi bioinsektisida dan ekstrak kompos dapat meningkatkan tinggi anakan padi ratun dibandingkan perlakuan bioinsektisida aja. Jumlah anakan produktif per rumpun menunjukkan hasil paling tinggi pada petak yang diaplikasikan ekstrak kompos yang berbeda nyata dengan jumlah anakan pada yang diberi bioinsektisida dan kombinasi bioinsektisida dan ekstrak kompos. Produksi gabah kering giling pada petak yang diaplikasikan ekstrak kompos paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Bioinsektisida yang diaplikasikan pada padi ratun mampu menurunkan populasi serangga hama, C. bipunctata, R. dorsalis, N. lugens, dan Nephotettix nigropictus. Data ini memberi indikasi bahwa aplikasi ekstrak kompos meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi, sedangkan bioinsektisida menurunkan populasi serangga hama padi ratun.


Kedelai merupakan komoditi pangan strategis di Indonesia yang kebutuhannya terus meningkat sejalan pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu usaha untuk  meningkatkan produksi kedelai nasional adalah memperluas  areal tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan kering yang potensinya sangat besar. Menurut Mulyani et al. (2011), luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta hektar dan diperkirakan 102.8 juta hektar di antaranya berupa tanah masam.
Kendala budidaya kedelai di tanah masam adalah produktivitas yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang rendah karena tanah masam ditandai oleh pH rendah dan kelarutan Aluminium (Al) yang tinggi. Kelarutan Al yang tinggi menyebabkan Al menjadi racun bagi tanaman serta pengikatan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti unsur fosfor. Gejala keracunan yang dapat diamati pada tanaman adalah gangguan pertumbuhan akar sehingga penyerapan air dan hara yang dibutuhkan tanaman ikut terganggu (Caniato et al., 2007; Ojo dan Ayuba, 2012).
Pendekatan budidaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan produktivitas yang optimal di tanah masam adalah dengan menanam varietas kedelai toleran terhadap cekaman Al. Deptan (2012) telah melepas 74 varietas, beberapa di antaranya toleran terhadap tanah masam seperti Sibayak, Ratai, Nanti, dan Tanggamus. Umumnya varietas toleran tanah masam yang telah dilepas tersebut mempunyai biji ukuran kecil. Adie dan Krisnawati (2007) melakukan pengelompokan biji kedelai berdasarkan ukuran biji, diketahui bahwa varietas Sibayak, Ratai, Nanti, dan Tanggamus termasuk kelompok berbiji kecil (< 10 g per 100 biji) .
Saat ini konsumen lebih suka terhadap kedelai berbiji besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan varietas kedelai berbiji besar untuk kesesuaian budidaya di tanah masam. Keragaman genetik kedelai untuk sifat berbiji besar dan toleran aluminium masih relatif rendah sehingga perlu dilakukan persilangan antara varietas toleran tanah masam (Tanggamus) (Deptan, 2012) dengan varietas peka tanah masam berbiji besar (> 14 g per 100 biji) , yaitu Argomulyo (Deptan, 2012) untuk memperoleh galur yang toleran tanah masam berbiji besar.
Keragaman genetik terdiri atas ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis. Ragam genetik aditif adalah ragam genetik yang menyebabkan terjadinya kesamaan sifat di antara tetua dan turunannya. Fenotipe pada aksi gen aditif disebabkan penjumlahan dari masing-masing alel tanpa interaksi dengan alel lain (interaksi alelik atau non alelik), sedangkan pada aksi gen epistasis, fenotipe ditentukan oleh interaksi alel-alel dari lokus yang berbeda (Roy, 2000) Toleransi kedelai terhadap tanah masam dikendalikan oleh aksi gen aditif yang juga dipengaruhi aksi gen epistasis. Kuswantoro et al. (2011) menyatakan bahwa pewarisan sifat jumlah polong kedelai di tanah masam dikendalikan oleh aksi gen epistasis. Menurut Phillips (2008) aksi gen epistasis berperan penting dalam adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik seperti cekaman aluminium. Penelitian bertujuan untuk menduga aksi gen dari karakter pertumbuhan kedelai pada cekaman aluminium di kultur hara dan menduga apakah karakter pertumbuhan tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif atau oleh aksi gen epistasis.
Analisis data dilakukan dengan menghitung rata-rata dan dilakukan uji-t untuk setiap karakter yang diamati pada masingmasing populasi, serta dilanjutkan dengan pendugaan aksi gen yang mengendalikan karakter yang diamati. Penentuan aksi gen dan banyak gen pengendali sifat dilakukan berdasarkan analisis sebaran F2 dengan melihat nilai skewness dan kurtosis (Roy, 2000). Komponen ragam dan heritabilitas diestimasi menggunakan persamaan sebagai berikut:
                       n
Ragam (V) = Σ    (xi-μ)2
                      i=1        
                              n-1
Ragam fenotipe (VP) = VF2
Ragam lingkungan (VE) = (VP1 + VP2 + VF1)/3
Ragam genotipe (VG) = VF2 - VE
Heritabilitas arti luas (h2bs) = (VG/VP) X 100%.
Nilai heritabilitas dikategorikan tinggi bila h2bs>50%, sedang bila h2 bs terletak antara 20-50% dan rendah bila h2bs < 20% (Mangoendidjojo, 2003).
Menurut Roy (2000) dan Jayaramachandran et al. (2010), penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan epistasis. Penyebaran karakter panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non aditif dalam mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh lingkungan yang besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang bersifat komplementer
Menurut Bnejdi et al. (2011) aksi gen yang mengendalikan suatu karakter pada generasi awal sulit dipisahkan dari epistasis duplikat. Epistasis duplikat adalah interaksi epistasis antara gen aditif x aditif, interaksi antar lokus ini dapat meningkatkan toleransi kedelai terhadap Al pada kondisi tercekam.
Karakter panjang akar, panjang tunas, dan ratio tunas per akar yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas sedang, sedangkan karakter berat basah tunas dan akar serta berat kering tunas dan akar mempunyai nilai heritabilitas arti luas tinggi. Hal ini berarti bahwa karakter-karakter yang diamati tersebut lebih banyak dikendalikan faktor genetik (aksi gen aditif epistasis) dibandingkan faktor lingkungan, dimana ragam genetik terekspresi pada penampilan fenotipik tanaman (Karasu et al., 2009; Bnejdi dan Gazzah, 2010).
Interaksi antar alel (epistasis) yang lebih penting pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti kedelai adalah interaksi aditif x aditif. Bentuk interaksi ini dapat terfiksasi pada generasi lanjut (Barona et al., 2012). Hal ini berarti pada populasi F2 aksi gen yang terjadi bersifat epistasis aditif x aditif yang masih belum terfiksasi tetapi diharapkan interaksi gen epistasis pada populasi F2 ini dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Bila seleksi dilakukan pada generasi lanjut (F5) diharapkan aksi gen epistasis aditif x aditif dan aksi gen aditif telah terfiksasi, sehingga pada generasi ini tingkat homozigositasnya telah tinggi (± 95%) (Riaz dan Chowdhry, 2003; Santoso, 2007).


KESIMPULAN
Karakter panjang akar, panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dari populasi F2 mempunyai nilai tengah yang melebihi kedua tetuanya dengan nilai heritabilitas arti luas dari sedang hingga tinggi. Aksi gen aditif epistasis duplikat hanya terjadi pada karakter panjang akar sedangkan karakter panjang tajuk, panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk diatur oleh aksi gen epistasis komplementer. Semua karakter yang diamati memiliki pola sebaran yang bersifat kontinu dan menunjukkan bahwa semua karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen.


Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama yang ditanam hampir di seluruh dunia. Luas penanaman gandum mencakup sekitar 30% area penanaman sereal di dunia, dengan lebih dari 220 juta ha areal budidaya (Cossani dan Reynolds, 2012). Kebutuhan gandum di Indonesia sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh tingginya impor pada tahun 2012 mencapai 6,300,000 ton (BPS, 2013) setara dengan nilai US$ 298,516,200 (Kemenperin, 2013). Berbagai persoalan dihadapi dalam pengembangan gandum di Indonesia di antaranya, terbatasnya varietas yang beradaptasi terhadap lingkungan tropis. Di daerah asalnya gandum dibudidayakan pada suhu 8-10 oC dan menghendaki suhu 10-21 oC sebagai suhu optimal untuk pertumbuhan (Fischer dan Maurer, 1978), persaingan lahan penanaman gandum di dataran tinggi dengan tanaman hortikultura, selain itu terjadinya perubahan iklim global yang sangat berpengaruh pada berbagai aspek pertanian dan lingkungan seperti peningkatan polusi udara, meningkatnya tingkat radiasi UV, perubaha  curah hujan, ketidakteraturan musim, kehilangan air dan pemanasan global yang menyebabkan peningkatan suhu juga menghambat pengembangan gandum  di Indonesia. Peningkatkan suhu sekitar 1.8 sampai 5.8 oC diprediksi akan terjadi diakhir abad ini (IPCC, 2007).
Berbagai upaya pemuliaan harus dilakukan untuk meningkatkan toleransi tanaman gandum terhadap cekaman lingkungan abiotik seperti peningkatan suhu melalui perbaikan genetik. Eksploitasi keragaman genetik melalui induksi mutasi adalah salah satu cara yang dibutuhkan pada program pemuliaan tanaman dalam mengembangkan varietas tanaman yang memiliki keunggulan karakter tertentu. Tujuan dari induksi mutasi adalah untuk meningkatkan laju frekuensi mutasi sehingga diperoleh varian dengan tingkat keragaman yang tinggi yang akan diseleksi sesuai dengan karakter yang diinginkan. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia dan fisik. Iradiasi sinar gamma merupakan salah satu jenis mutagen fisik yang biasa digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik pada berbagai tanaman. Perlakuan mutagen akan merusak DNA dan selama proses perbaikan DNA akan terjadi mutasi baru yang diinduksi secara acak. Perubahan dapat terjadi pada organel di sitoplasma maupun mutasi kromosom inti (Jain, 2010).
Tingkat sensitivitas terhadap radiasi dapat diukur berdasarkan nilai LD50 (lethal dose 50) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman yang diradiasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak umumnya diperoleh di sekitar LD50 (Shu et al., 2012). Nilai LD50 sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas, kandungan air dan oksigen. Penelitian yang dilakukan oleh Puchooa (2005) mengenai iradiasi sinar gamma pada kalus tanaman Anthurium menyatakan LD50 diperoleh pada dosis iradiasi 15 Gy. Ling et al. (2008) menyatakan LD50 pada kalus jeruk sekitar 27 Gy sedangkan hasil penelitian Mahadevamma et al. (2012) menunjukkan pada kalus pepaya sekitar 30 Gy.
Induksi mutasi mampu menghasilkan mutan dengan tingkat keragaman pada banyak karakter yang bisa diseleksi, sementara dengan pendekatan transgenik hanya satu karakter yang bisa diintegrasikan kedalam genom tanaman. Pendekatan transgenik juga memiliki kekurangan dalam hal regulasi dan penerimaan tanaman hasil rekayasa genetika. Keuntungan spesifik dari mutasi induksi adalah untuk mengembangkan galur mutan yang kemudian diidentifikasi karakter gen spesifiknya dalam rangka membangun database gen, untuk studi molekular yang berkaitan dengan fungsi genomik, pengembangan bioinformatika dan untuk pengembangan varietas yang dapat tumbuh pada lahan pertanian di bawah kondisi perubahan iklim (Jain, 2010). 
Iradiasi sinar gamma telah banyak digunakan pada berbagai tanaman dalam rangka peningkatan keragaman genetik untuk toleransi cekaman abiotik dan biotik serta peningkatan kuantitas dan kualitas hasil, diantaranya: tomat (Ishfaq et al., 2012), wortel (Nagananda et al., 2013), kentang (Ahmad et al., 2010), kedelai (Alify et al., 2013), padi (Shanthi et al., 2010), sorghum (Soeranto dan Sihono, 2010), dan gandum (Singh dan Balyan, 2009; Borzouei et al., 2010; Plamenov et al., 2013). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai radiosensitivitas sebagai dasar untuk melakukan induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma untuk memperoleh mutan putatif gandum yang memiliki toleransi terhadap suhu tinggi.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat radiosensitivitas suatu tanaman terhadap iradiasi sinar gamma adalah dengan mengetahui Lethal Doses (LD20 dan LD50) dari tanaman tersebut (Rakotoarisoa et al., 2008). Perubahan warna, penambahan bobot dan diameter kalus dapat digunakan untuk menduga nilai radiosensitivitas pada kalus embriogenik gandum.
Peningkatan dosis iradiasi dan suhu menyebabkan perubahan warna dan penghambatan pertumbuhan kalus embriogenik. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya kematian sel-sel di sekitarnya melalui programmed cell death (PCD). Menurut van Doorn et al. (2011), PCD merupakan bagian integral dari perkembangan tanaman selama morfogenesis jaringan, organ, atau embrio yang disebabkan oleh rusaknya vakuola atau sebagai respon terhadap stres biotik dan abiotik yang menyebabkan terjadinya nekrosis.

KESIMPULAN
Nilai radiosensitivitas kalus embriogenik antar varietas gandum sangat bervariasi, LD20: 7.79 to 18.96 Gy dan LD50: 24.29-33.63 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma menyebabkan diameter dan bobot kalus embriogenik semakin rendah, warna kalus menjadi kecoklatan hingga menghitam; hal ini diduga terjadi akibat adanya kerusakan sel pada kalus. Secara umum suhu tinggi dan iradiasi sinar gamma menurunkan daya hidup kalus, menghambat munculnya embrio somatik serta menurunkan daya berkecambah embrio somatik menjadi planlet. Percobaan yang dilakukan mampu menghasilkan 19 planlet mutan putatif dari varietas Dewata yang diduga memiliki toleransi terhadap suhu tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk aklimatisasi dan evaluasi planlet mutan putatif toleran suhu tinggi yang telah dihasilkan.

Peranan gandum sebagai pendukung ketahanan pangan dunia secara global mengakibatkan tanaman gandum telah menjadi salah satu komoditi pangan yang penting. Saat ini Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum terbesar sehingga mengakibatkan peningkatan pengeluaran devisa negara. Oleh karena itu, usaha untuk memproduksi gandum sangat perlu dilakukan untuk mengurangi volume impor gandum. Usaha memproduksi gandum perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang sesuai dengan kondisi agroklimat di Indonesia (Budiarti, 2005; Setyowati et al., 2009). 
Gandum dapat tumbuh baik pada kondisi curah hujan sekitar 40-60 cm per tahun. Berdasarkan musim produksi tanaman gandum terdiri dari 2 jenis, yaitu gandum musim dingin (winter wheat) dan gandum musim semi (spring wheat) (Acquaah, 2007). Gandum musim dingin adalah gandum yang mampu bertahan pada suhu dingin di bawah 40 oC jika dilindungi salju, pertumbuhannya berhenti dan mengalami dormansi selama musim dingin, kemudian melanjutkan pertumbuhan di musim semi untuk panen di musim panas. Gandum musim semi merupakan tanaman berhari panjang dan kurang toleran pada suhu rendah dan mengalami kerusakan pada suhu sekitar 2-1 oC (Acquaah, 2007).
Gandum merupakan salah satu tanaman serealia yang berasal dari daerah subtropis. Pengembangan gandum di Indonesia berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gandum dapat ditanam daerah dataran tinggi dengan ketinggian tempat mencapai >1,000 m dpl yang memiliki iklim hampir sama dengan lingkungan subtropik (Nuret al., 2012). Penanaman gandum di daerah tropik perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang adaptif. Saat ini baru beberapa varietas gandum yang sudah dilepas untuk kondisi tropik sehingga pengembangan varietas gandum yang sesuai untuk kondisi tropik masih perlu dilakukan. Sebagai upaya untuk mengembangkan varietas gandum, maka telah diperoleh sejumlah individu generasi F2 yang diseleksi dengan metode pedigree (Natawijaya, 2012). Individu-individu terseleksi dari generasi F2 merupakansegregan yang kemudian ditanam menjadi famili-famili F3.


Peranan gandum sebagai pendukung ketahanan pangan dunia secara global mengakibatkan tanaman gandum telah menjadi salah satu komoditi pangan yang penting. Saat ini Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum terbesar sehingga mengakibatkan peningkatan pengeluaran devisa negara. Oleh karena itu, usaha untuk memproduksi gandum sangat perlu dilakukan untuk mengurangi volume impor gandum. Usaha memproduksi gandum perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang sesuai dengan kondisi agroklimat di Indonesia (Budiarti, 2005; Setyowati et al., 2009).
Gandum dapat tumbuh baik pada kondisi curah hujan sekitar 40-60 cm per tahun. Berdasarkan musim produksi tanaman gandum terdiri dari 2 jenis, yaitu gandum musim dingin (winter wheat) dan gandum musim semi (spring wheat) (Acquaah, 2007). Gandum musim dingin adalah gandum yang mampu bertahan pada suhu dingin di bawah 40 oC jika dilindungi salju, pertumbuhannya berhenti dan mengalami dormansi selama musim dingin, kemudian melanjutkan pertumbuhan di musim semi untuk panen di musim panas. Gandum musim semi merupakan tanaman berhari panjang dan kurang toleran pada suhu rendah dan mengalami kerusakan pada suhu sekitar 2-1 oC (Acquaah, 2007).
Gandum merupakan salah satu tanaman serealia yang berasal dari daerah subtropis. Pengembangan gandum di Indonesia berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gandum dapat ditanam daerah dataran tinggi dengan ketinggian tempat mencapai >1,000 m dpl yang memiliki iklim hampir sama dengan lingkungan subtropik (Nur et al., 2012). Penanaman gandum di daerah tropik perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang adaptif. Saat ini baru beberapa varietas gandum yang sudah dilepas untuk kondisi tropik sehingga pengembangan varietas gandum yang sesuai untuk kondisi tropik masih perlu dilakukan.
Sebagai upaya untuk mengembangkan varietas gandum, maka telah diperoleh sejumlah individu generasi F2 yang diseleksi dengan metode pedigree (Natawijaya, 2012). Individu-individu terseleksi dari generasi F2 merupakan segregan yang kemudian ditanam menjadi famili-famili F3.
Analisis ragam (ANOVA) dilakukan menggunakan software SAS 9.1.3. Pendugaan ragam antar check menggunakan uji F pada taraf 5%, dan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dilakukan bila terdapat pengaruh yang nyata. Pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2 bs) dilakukan berdasarkan pemisahan nilai kuadrat tengah harapan famili (σ2 g) terhadap keragaman fenotipe (σ2 p) dengan kriteria : h2 bs>50% (tinggi), 20%

Penerapan metode seleksi berdasarkan nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan metode seleksi pedigree. Seleksi dilakukan pada generasi awal dengan menggunakan karakter-karakter terpilih berdasarkan nilai heritabilitas tinggi. Jika dalam populasi F3 memiliki nilai heritabilitas rendah, maka metode seleksi yang sesuai digunakan adalah metode seleksi bulk (Syukur et al., 2012).
Nilai heritabilitas merupakan salah satu parameter genetik yang dipertimbangkan untuk memilih karakter seleksi (Wirnas et al., 2006; Suharsono dan Jusuf, 2009; Sungkono et al., 2009; Syukur et al., 2010; Yunianti et al., 2010; Barmawi et al., 2013).
Tujuan seleksi sebagai dasar untuk memperbaiki tanaman dalam memperoleh varietas unggul baru. Peranan keragaman genetik pada perakitan varietas unggul sangat penting karena tingginya keragaman genetik memberikan peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki (Martono, 2009).

KESIMPULAN
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa famili berbeda nyata pada karakter umur berbunga, umur panen, persentase floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai, jumlah biji per tanaman, dan bobot biji per tanaman. Karakter tinggi tanaman dan umur berbunga merupakan karakter berbeda nyata di antara varietas pembanding. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu karakter umur berbunga, umur panen, persentase floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai, jumlah biji per tanaman, dan bobot biji per tanaman. Berdasarkan bobot biji per tanaman dan seleksi multikarakter (jumlah anakan produktif, persentase floret hampa, dan bobot biji per tanaman) pada lingkungan optimum, terpilih 80 individu terbaik (masing-masing 5 individu dari 20 famili).


Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman alloheksaploid yang berasal dari daerah subtropis. Menurut Nur (2013) pengembangan gandum di Indonesia selama ini diarahkan pada dataran tinggi dengan ketinggian > 800 m di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu sekitar 22-24 oC. Apabila gandum dibudidayakan di dataran tinggi maka akan bersaing dengan komoditas sayuran dan tanaman hortikultura.  
Terbatasnya jumlah varietas gandum yang mampu beradaptasi dengan baik di dataran tinggi Indonesia juga merupakan kendala dalam usaha produksi gandum sehingga upaya untuk menghasilkan varietas gandum masih diperlukan. Sejauh ini, Indonesia telah memiliki tiga varietas gandum yang mampu beradaptasi baik di dataran tinggi wilayah tropis yaitu Nias, Dewata dan Selayar serta baru dirilis tiga varietas yaitu Guri-1, Guri-2 dan Ganosha. 
Perbaikan sifat agronomi gandum dapat dilakukan dengan berbagai metode pemuliaan tanaman seperti induksi mutasi, persilangan dan rekayasa genetik. Metode mutasi induksi dapat menggunakan mutagen fisika seperti radiasi sinar gamma, fast neutron dan ion beam, atau mutagen kimia antara lain dengan ethyl methane sulfonate (EMS). Penelitian pemuliaan mutasi pada tanaman pertanian umumnya menggunakan iradiasi sinar gamma karena iradiasi sinar gamma memiliki daya tembus yang lebih dalam pada target sel dari material tanaman yang diinduksi (IAEA, 2003). Menurut Syukur et al. (2010), perbaikan karakter melalui program pemuliaan tanaman membutuhkan banyak informasi antara lain tentang keragaman genetik dan heritabilitas. 
Nilai duga heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menentukan apakah karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan (Yunianti et al., 2010). Nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor keragaman genetik berperan penting dalam penampilan fenotipe pada tanaman (Ishak, 2012). Menurut Sabu et al. (2009) nilai heritabilitas yang tinggi ini memberikan arti bahwa faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya.
Mohibullah et al. (2011) melaporkan bahwa pada 100 aksesi gandum yang mereka teliti terdapat keragaman pada karakter jumlah spikelet per malai, bobot biji per tanaman dan produksi per hektar. Baloch et al. (2013) dan Kumar et al. (2014) juga melaporkan bahwa terdapat keragaman untuk karakter umur panen, umur berbunga, panjang daun bendera, jumlah anakan, tinggi tanaman, panjang malai, bobot biji per tanaman dan indeks panen. 
Menurut Zecevic et al. (2010) bobot biji per malai merupakan karakter komponen hasil yang sangat penting karena memiliki pengaruh langsung terhadap indeks panen dan hasil. Nur et al. (2012) menambahkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, luas daun, kerapatan stomata, klorofil a dan ketebalan daun lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan.
Hasil penelitian gandum telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain Baloch et al. (2013) menunjukkan nilai heritabilitas tertinggi pada kerakter tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, jumlah spikelet per malai, jumlah biji per malai dan bobot biji per tanaman. Laghari et al. (2010) melaporkan heritabilitas tinggi terdapat pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, jumlah biji per malai dan bobot biji per malai. Khan dan Naqvi (2011) melaporkan heritabilitas tertinggi pada kondisi irigasi kontrol terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet, panjang malai dan jumlah biji.
Menurut Bahar dan Zen (1993), karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, ragam genetik tinggi, pada umumnya akan memiliki nilai KKG tinggi untuk masing-masing karakter. KKG digunakan untuk mengukur keragaman genetik suatu sifat tertentu dan untuk membandingkan keragaman genetik berbagai sifat tanaman. Tinggi nilai KKG menunjukkan peluang terhadap usahausaha perbaikan yang efektif melalui seleksi. Berdasarkan pada nilai parameter genetik tersebut dapat dilakukan seleksi terhadap karakter kuantitatif tanpa mengabaikan nilai tengah populasi yang bersangkutan.

KESIMPULAN
Galur mutan putatif gandum mempunyai keragaan yang berbeda dalam hal karakter tinggi tanaman, umur berbunga, persentase floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai dan bobot biji per tanaman. Karakterkarakter pada populasi galur mutan putatif gandum generasi M5 memiliki kisaran yang beragam dan cukup tinggi. Nilai heritabilitas tinggi terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai dan bobot biji per tanaman. Berdasarkan bobot biji per tanaman dan persentase floret hampa diperoleh 30 galur mutan putatif potensial dengan kisaran potensi hasil 17.11-33.15 g per tanaman dan persentase floret hampa 1.38-16.38 %.


Tomat (Solanum lycopersicum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia. Tomat dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun olahan, contohnya sebagai pewarna makanan, bahan kosmetika dan obat-obatan. Budidaya tanaman tomat umumnya adaptif pada dataran tinggi, namun belakangan ini areal penanaman tomat dataran tinggi terbatas karena terjadi persaingan penanaman komoditas pertanian lain dan banyaknya daerah konservasi yang terletak di dataran tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan areal tanam tomat ke daerah dataran menengah dan rendah (Purwati, 2007).
Perluasan areal tanam ke dataran rendah menyebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan sehingga varietas yang dikembangkan tidak berproduksi optimum. Purwati (2007) menyatakan dataran tinggi mampu menghasilkan produksi tomat sebesar 26.60 ton ha-1, sedangkan potensi produksi tomat dataran rendah masih sangat rendah yaitu 0.25 kg tanaman-1 atau setara dengan 6 ton ha-1. Hasil tomat hibrida adaptif dataran rendah hingga tinggi yang ditanam di dataran medium (550 m dpl) menurut Purwati (2009) hanya menghasilkan 1.95 kg tanaman-1 dari potensi hasil 3 kg tanaman-1, dengan kata lain telah terjadi penurunan hasil sebesar 35%. Surmaini et al. (2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi di dataran rendah adalah suhu. Perbedaan suhu dapat mengakibatkan perbedaan respons tanaman, dimana peningkatan suhu menyebabkan peningkatan transpirasi tanaman sehingga terjadi penurunan produktivitas tanaman, peningkatan konsumsi air, waktu pematangan buah atau biji yang singkat, penurunan mutu hasil, dan pendorong berkembangnya hama penyakit tanaman. Oleh karena itu, usaha pemuliaan tomat unggul dataran rendah perlu dilakukan.
Salah satu tahapan yang harus dilakukan untuk mengembangkan tomat dataran rendah adalah menguji genotipe unggul dataran rendah di beberapa lokasi. Pengujian di beberapa lokasi perlu dilakukan untuk mengetahui respons genotipe pada lingkungan dengan tipe tanah, ketinggian, suhu, lintang, iklim dan musim yang berbeda. Dari hasil pengujian stabilitas hasil dapat ditentukan genotipe tertentu pada kondisi lingkungan yang berbeda dapat beradaptasi secara luas atau spesifik lokasi (Suryati et al., 2008). Pengembangan genotipe unggul spesifik lokasi dapat diarahkan untuk mendapatkan varietas spesifik lingkungan, sementara varietas yang unggul di semua lingkungan dapat dilepas menjadi varietas yang mampu beradaptasi luas (Nusifera dan Agung, 2008; Ganefianti et al., 2009).
Analisis ragam gabungan di beberapa lokasi akan menunjukkan informasi ada atau tidaknya interaksi yang terjadi antara genotipe dengan lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan (GxE) diperlukan pemulia untuk membantu proses identifikasi genotipe unggul. Analisis stabilitas dapat dilakukan apabila terdapat interaksi GxE untuk menunjukkan kestabilan suatu genotipe apabila ditanam pada lingkungan yang berubah atau berbeda (Syukur et al., 2012).
Analisis stabilitas dapat dilakukan menggunakan metode AMMI (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). AMMI sangat efektif menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan dengan keakuratan dugaan respons interaksi genotipe x lingkungan yang tinggi. Analisis AMMI melalui visualisasi biplot mampu menginterpretasikan data uji multilokasi dengan menunjukkan interaksi galur dengan lokasi sehingga terbentuk pola sebaran titiktitik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lokasi dimana hasil penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lokasi secara simultan (Sujiprihati et al., 2006). Biplot AMMI kemudian meringkas pola hubungan antara galur, antara lingkungan, dan antara keduanya sehingga dihasilkan nilai AMMI1 dan rataan. Biplot antara nilai AMMI2 dan nilai AMMI1 bisa ditambahkan jika AMMI2 nyata. Dalam visualisasi biplot, genotipe dapat dikatakan stabil apabila berada dekat dengan sumbu dan genotipe yang berada jauh dari sumbu namun dekat dengan garis lokasi digolongkan genotipe yang spesifik lokasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2000; Ganefianti et al., 2009). AMMI juga telah digunakan untuk melihat kestabilan beberapa komoditas lain seperti cabai (Ganefianti et al., 2009), jagung (Sujiprihati et al., 2006) dan bengkuang (Nusifera dan Agung, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk menduga pengaruh genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lingkungan terhadap komponen hasil dan hasil buah per tanaman serta untuk melihat kestabilan hasil dari 14 genotipe tomat pada empat lokasi dataran rendah menggunakan analisis AMMI.
Interakasi genotipe x lokasi juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata untuk semua karakter sehingga analisis AMMI dapat dilakukan (Sujiprihati et al., 2006). Adanya interaksi GxE pada bobot buah per tanaman menunjukkan genotipe dengan potensi hasil yang tinggi pada lokasi tertentu belum tentu hasilnya akan tetap tinggi pada lokasi lainnya dengan kata lain keragaan suatu genotipe secara nyata dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang beragam (Ambarwati dan Yudono, 2003; Lestari et al., 2010; Kusmana, 2005; Sujiprihati et al., 2006; Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Stabilitas suatu genotipe merupakan kemampuan genotipe tersebut untuk hidup pada berbagai lingkungan yang berbeda dan fenotipenya tidak mengalami banyak perubahan di tiap-tiap lokasi percobaan (Syukur et al. 2012).

KESIMPULAN
Karakter bobot per buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman memiliki interaksi genotipe x lingkungan yang sangat nyata. Keragaman karena pengaruh interaksi berdasarkan model AMMI2 sebesar 88.50%. Genotipe IPBT3, IPBT33, IPBT34, IPBT60 dan Intan dikatagorikan stabil pada empat lingkungan.


Jeruk merupakan komoditas buah yang paling banyak diimpor di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hortikultura (2013) nilai impor jeruk Indonesia mencapai US $ 227,300,473. Jeruk impor lebih diminati konsumen karena memiliki kriteria yaitu warna yang menarik, kulitnya mudah dikupas, rasanya segar dan hampir tidak mempunyai biji (seedless). Jeruk Siam Simadu merupakan jeruk Siam lokal yang hampir mendekati kategori tipe jeruk yang sesuai dengan kriteria konsumen dan pasar dunia untuk dikonsumsi dalam keadaan segar tetapi mempunyai biji yang relatif banyak yaitu lebih dari 15 biji per buah sehingga kalah bersaing dengan jeruk impor (Husni et al., 2010).
Perbaikan kualitas jeruk lokal yang sudah memiliki rasa dan warna yang sesuai dengan kriteria konsumen dan pasar dapat dilakukan dengan merakit tanaman jeruk lokal tersebut memiliki buah jeruk seedless. Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour) termasuk dalam kelompok jeruk dengan jumlah kromosom 2n=2x=18. Menurut Wu dan Mooney (2002), metode yang paling efektif untuk mendapatkan tanaman jeruk tanpa biji atau triploid (2n=3x=27) yaitu dengan cara menyilangkan tanaman jeruk tetraploid (2n=4x=36) dengan tanaman jeruk diploid (2n=2x=18).
Tanaman jeruk tetraploid dapat dihasilkan dengan perlakuan kolkisin. Menurut Takahira et al. (2011), kolkisin dapat digunakan untuk menggandakan jumlah kromosom. Ascough et al. (2008) mengemukakan bahwa kolkisin dapat menghambat pembentukan dan aktivitas benang-benang spindle pada saat pembelahan sel mitosis serta mencegah inti dan sel membelah sehingga jumlah kromosom sel mengganda. Menurut Dhooghe et al. (2011), penggandaan jumlah kromosom menggunakan kolkisin sangat tergantung pada konsentrasi kolkisin yang diberikan.
Gmitter dan Ling (1991) berhasil mendapatkan tanaman jeruk tetraploid Orlando Tangelo dengan menggunakan perlakuan kolkisin 0.1%. Berdasarkan penelitian Zeng et al. (2006), perlakuan kolkisin 0.1% dapat menghasilkan tanaman jeruk tetraploid Frost (Citrus sinensis Osbeck). Aleza et al. (2009) dapat memperoleh tanaman jeruk tetraploid varietas Clemenules dengan pemberian kolkisin 0.1%.
Damayanti dan Mariska (2003) menyatakan bahwa pemberian kolkisin dapat mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu lama untuk tumbuh. Menurut Suryo (2007) pembelahan sel menjadi lambat disebabkan jumlah kromosom yang mengganda.
Identifikasi tingkat ploidi dapat dilakukan dengan analisis stomata. Teknik ini cepat, murah, tidak merusak, tidak memerlukan peralatan yang canggih, dan memiliki akurasi yang cukup tinggihingga 90% (Cohen dan Yao, 1996). Menurut Rego et al. (2011), metode penghitungan jumlah kloroplas dalam sel penjaga adalah cara yang efektif dan cepat untuk menentukan tingkat ploidi. Jumlah kloroplas dalam sel penjaga dapat mengidentifikasi tanaman diploid dan tetraploid. Gu et al. (2005) dan Yu et al. (2009) juga telah meneliti tingkat ploidi berdasarkan jumlah kloroplas.
Lozykowska (2003) menyatakan bahwa ukuran panjang stomata berhubungan dengan jumlah kloroplas pada sel penjaga. Peningkatan jumlah kloroplas pada sel penjaga mengakibatkan ukuran stomata menjadi lebih besar. Hasil penelitian Tang et al. (2011), tanaman diploid memiliki ukuran stomata yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tetraploid turunannya.

KESIMPULAN
Nilai LD50 diperoleh pada konsentrasi kolkisin sebesar 0.2%. Induksi tetraploid menggunakan kolkisin dapat menurunkan pertumbuhan tunas jeruk Siam Simadu, tunas yang diberi perlakuan kolkisin menghasilkan pertambahan tinggi, jumlah daun, jumlah buku, jumlah akar, dan panjang akar yang lebih rendah dibandingkan dengan tunas kontrol (kolkisin 0%). Daun tunas pucuk yang diberikan perlakuan kolkisin lebih tebal dibandingkan dengan daun tunas pucuk kontrol. Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin 0.1%  memiliki jumlah kloroplas dua kali lebih banyak daripada jumlah kloroplas tunas kontrol, ukuran stomata yang lebih besar dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan tunas kontrol.


Selasa, 20 Februari 2018

Karaktaresistik tanah andisol


Karaktaresistik tanah andisol
Tanah andisol merupakan tanah yang berkembang dari bahan-bahan letusan gunung berapi dan dikenal sebagai tanah yang paling subur dibanding dengan jenis tanah yang lainnya. Menurut Yulia, (2015) tanah andisol ini biasanya dapat ditemukan pada ketinggian antara 700 sampai 2500 m dpl, di kawasan pegunungan dengan tekstur yang sangat beragam. Tanah ini bisa berbentuk tanah liat dan tanah lempung dengan tekstur yang kasar serta mengandung banyak zat organik yang terdapat pada lapisan tengan dan atas, sedangkan pada bagian bawah kandungan unsur haranya cenderung sedikit.
Tanah andisol ini terbentuk akibat erupsi dari gunung berapi. Salah satu zat padat yang mempengaruhi terbentuknya tanah andisol adalah pasir dan abu vulkanik segar. Pasir dan abu vulkanik segar ini melapisi permukaan tanah dan lapisan atas tanah yang ditutupi oleh abu vulkanik lambat laun akan melapuk. Abu vulkanik yang terdeposisi di atas permukaan tanah akan mengalami proses pelapukan kimiawi dengan bantuan asam-asam organik dan air yang terdapat di dalam tanah. Peristiwa ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi dari abu vulkanik tersebut dan terhadap tanah yang terdapat di lapisan bawahnya.
Abu vulkanik bersifat mengganggu tanaman pada lahan yang ditutupinya. Namun begitu dalam abu vulkanik terkandung berbagai unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman seperti Ca, Mg, K, Na, P, S, Fe, dan Mn. Abu tersebut kemudian akan melapuk dan mengeluarkan hara-hara esensial yang ada didalamnya, sehingga menjadi tersedia untuk tanaman. Dengan demikian abu vulkanik merupakan penyedia cadangan hara esensial bagi tanaman (Yulia, 2015).
Menurut Kaunang (2008) tanah andosol mempinyai ketebalan kurang lebih 50 cm, berwarna coklat keabu-abuan gelap sampai hitam. Kandungan debu tinggi, namun  profil dapat didominasi oleh pasir halus, porositas tanah tinggi dan sering adanya bulk density (BD) rendah dapat terjadi adanya horison (B) transisi yang berwarna kecoklatan, tapi translokasi liat tidak  banyak. Rendahnya bulk densiti andisol sebagian disebabkan oleh tingginya bahan organik dan rendahnya partikel densiti yaitu 1,4 – 1,8 g/cm3. Bulk densiti adalah bobot massa tanah kondisi lapangan yang dikering ovenkan per satuan volume. Nilai bulk densiti tanah berbanding lurus dengan tingkat kekasaran partikel-partikel tanah, makin kasar akan makin berat. Tanah yang bertekstur liat dan berstruktur granular mempunyai bulk densiti antara 1,0-1,3 g/cm3 sedangkan yang bertekstur kasar antara 1,3-1,8 g/cm3. Semakin tinggi bulk densiti semakin sulit ditembus air atau ditembus oleh akar tanaman dan memiliki porositas yang rendah (Hanafiah, 2005).
Adapun karakteristik dari tanah andisol yaitu (Rahmat, 2009)
a)      memiliki ketebalan solum tanah agak tebal (100-225 cm), 
b)      berwarna hitam, kelabu sampai coklat tua,
c)      teksturnya debu, lempung  berdebu sampai lempung,
d)     strukturnya remah,
e)      kapasitas tukar kation sekitar 20-30 me/100g,
f)       kandungan C dan N tinggi tetapi rasio C/N rendah, kandungan kalium (K) sedang, kandungan fosfor (P) rendah,
g)      serta tanahnya asam sampai netral (pH 5-7).
Tanah Andisol mengandung unsur hara yang cukup tinggi. Unsur hara tersebut berasal dari abu letusan gunung sehingga tanah jenis ini sangat baik untuk ditanami. Tidak  jarang daerah yang terkena musibah gunung meletus, justru tanahnya akan lebih subur daripada sebelumnya. Selain unsur hara, zat lain yang terkandung dalam tanah andisol ini adalah zat-zat organik. Zat yang terkandung didalamnya sebagian  besar adalah abu vulkanik dari letusan gunung. Sifat tanah andisol umumnya peka terhadap erosi dan memiliki produktivitas yang sedang hingga tinggi sehingga penggunaannya baik terutama untuk tanaman sayuran, kopi, hortikultura, teh, kina dan pinus (Darmawijaya, 1990).

Hanafiah, K.A, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kaunang Dj. 2008. Andisols (Andosol). Soil Environment 6 (2): 109-113.
Rukmana, Rahmat. 2009. Budidaya Bawang  Putih. Kanisius, Yogyakarta.
Darmawijaya. 1990. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yulia. 2015. Persebaran Tanah Andosol di Indonesia – Kelebihan dan Kekurangannya. < http://ilmugeografi.com/>. Dikases pada 1 Desember 2015.

ACARA VII SELEKSI POHON INDUK KAKAO


ACARA VII
SELEKSI POHON INDUK KAKAO

ABSTRAKSI
Praktikum Metode Pemuliaan Tanaman acara VII yang berjudul Seleksi Pohon Induk Kakao yang dilaksanakan pada tanggal 05 November 2015 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Praktikum ini bertujuan untuk melakukan seleksi ketahanan pohon induk kakao terhadap serangan hama Helopeltis dan mengetahui pengaruh variabel produksi terhadap hasil pada tanaman kakao. Alat dan bahan yang digunakan yaitu buah kakao, besek, abu gosok, dan timbangan analitik. Buah kakao diskoring berdasarkan tingkat kerusakan akibat serangan Helopeltis antonii (skor 1-10) dan tekstur permukaan kulitnya, halus skor 0 samapi kasar skor 5. Dilakukan pengambilan data yaitu dihitung jumlah biji per pod, jumlah pod per pohon per tahun, berat biji per pod, berat biji, jumlah biji lebih dari 1 gram (per pod), hasil biji per pohon per tahun. Buah kakao yang paling baik dengan kriteria hasil tertinggi dan serangan helopeltis paling rendah sekaligus adalah buah kakao bernomor 18 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intensitas serangan sebesar 0, kakao nomor 20 dengan indeks hasil sebesar 2550 dan intensitas serangan sebesar 0, dan kakao nomor 21 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intesitas serangan sebesar 0. Variabel-variabel yang memiliki korelasi paling besar terhadap hasil biji/pohon/tahun adalah berat biji/polong dan jumlah biji>1gram.

Kata kunci : kakao, biji, Helopeltis


I.     PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak potensi pada bidang pertanian. Salah satu tanaman yang dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia adalah tanaman kakao. Tanaman kakao tersebut merupakan salah satu komoditas yang sangat penting di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan secara aspek sosial ekonomi kakao menguntungkan untuk dibudidayakan. Indonesia merupakan negara ketiga produsen kakao terbesar di Indonesia, sehingga tanaman kakao yang sehat dan berkualitas sangat penting untuk selalu diupayakan.
Keberadaan organisme pengganggu tumbuhan tak bisa lepas dari kegiatan budidaya tanaman, seperti pada perkebunan tanaman kakao. Adanya organisme penganggu tumbuhan pada saat tertentu akan menyebabkan produktivitas suatu tanaman mengalami penurunan secara signifikan. Salah satu hama yang menyebabkan turunnya produktivitas kakao di Indonesia adalah keberadaan hama pengisap buah kakao (Helopeltis antonii). Hama ini merusak dengan cara menusuk dan menghisap buah kakao maupun tunas-tunas muda pada tanaman kakao. Adanya serangan dari hama ini dapat menyebabkan kematian pada buah kakao muda, sedangkan serangan hama Helopeltis antonii pada buah berumur sedang akan menyebabkan buah menjadi abnormal. Hal tersebut tentunya akan menurunkan kualitas dan daya hasil buah kakao, oleh karena itu sebagai pemulia tanaman harus dapat mengetahui seleksi kakao yang tahan terhadap serangan hama Helopeltis.

B.  Tujuan
1.      Melakukan seleksi ketahanan pohon induk kakao terhadap serangan hama Helopeltis.
2.      Mengetahui pengaruh variabel produksi terhadap hasil pada tanaman kakao.


II.      TINJAUAN PUSTAKA

Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia, karena kakao sebagai penghasil devisa Negara, sebagai sumber penghasilan bagi petani maupun masyarakat lainnya. Indonesia merupakan salah satu produsen kakao utama di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia mempunyai tanaman kakao paling luas di dunia yaitu sekitar 1.462.000 ha yang terdiri dari 90% perkebunan rakyat dan sisanya perkebunan swasta dan negara, dengan produksi mencapai 1.315.800 ton/tahun (Karmawati et al., 2010 cit. Siswanto dan Karmawati, 2012).
Menurut Crozier et al. (2011) kakao memiliki buah yang biasa dikenal sebagai pod. Pada masing-masing pod tersebut memproduksi sekitar 35-50 biji yang dikelilingi oleh pulp berlendir. Pulp tersebut mengandung zat penghambat perkecambahan, namun karena biji kakao tidak memiliki masa dorman maka seringkali biji dalam buah pun dapat tumbuh bila terlambat dipanen (Susanto, 1994). Menurut Lasisi (2014), berdasarkan beratnya, kakao memiliki kandungan yang terdiri dari sekitar 74,4% sekam atau kulit ari, 22,5% biji basah (wet beans) dan 3,1% plasenta. Jika polong kakao dibuka perlu adanya tindakan-tindakan khusus, seperti menyimpan di arang atau lapukan serbuk gergaji yang baik, diperlukan untuk menjaga viabilitas (Wod dan Lass, 2001).
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao. Salah satu hama utama kakao yang banyak dijumpai hampir di seluruh provinsi di Indonesia adalah Helopeltis spp. Jenis Helopeltis yang menyerang tanaman kakao diketahui lebih dari satu spesies, yaitu Helopeltis antonii, Helopeltis theivora dan Helopeltis claviver (Karmawati et al., 2010). Stadium yang merusak dari hama ini adalah nimfa (serangga muda) dan imagonya. Nimfa dan imago menyerang buah muda dengan cara menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan, kemudian mengisap cairan di dalamnya. Sambil mengisap cairan, kepik tersebut juga mengeluarkan cairan yang bersifat racun yang dapat mematikan sel-sel jaringan yang ada di sekitar tusukan. Selain buah, hama ini juga menyerang pucuk dan daun muda (Siswanto dan Karmawati, 2012).
Hama pengisap buah Helopeltis antonii menyerang pucuk dan buah dengan cara menusukkan stiletnya untuk mengisap cairan. Aktivitas makan tersebut meninggalkan gejala serangan berupa bercak-bercak berwarna cokelat kehitaman. Serangan Helopeltis antonii dapat menyebabkan kematian pucuk dan menghambat pembentukan buah, bahkan dapat menyebabkan gugur, sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas hasil kakao. Serangan hama Helopeltis antonii dapat menurunkan produksi buah kakao 50-60% (Sulistyowati, 2008 cit. Indriati et al., 2015). Serangan pada buah muda akan menyebabkan terjadinya bercak yang akan bersatu sehingga kulit buah menjadi retak, buah menjadi kurang berkembang dan menghambat pekembangan biji. Serangan pada buah tua menyebabkan terjadinya bercak-bercak cekung berwarna coklat muda, yang selanjutnya akan berubah menjadi kehitaman (Siswanto dan Karmawati, 2012).
Pada proses seleksi tanaman agar diperoleh sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka penentuan kriteria seleksi harus dilakukan untuk menentukan keefektifan proses seleksi. Beberapa informasi yang diperlukan dalam menentukan kriteria seleksi adalah keragaman genetik dan heritabilitas (Syukur et al., 2010). Menurut Poehlman dan Sleeper (1995) dalam Syukur et al. (2010) keragaman genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Selain itu, perlu juga diketahui nilai heritabilitas karakter-karakter yang akan dijadikan target seleksi (Pinaria et al., 1995 cit. Syukur et al., 2010).


III.             METODOLOGI

Praktikum acara VII yang berjudul Seleksi Pohon Induk Kakao dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 5 November 2015 di Ruang Sidang Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat dan bahan yang digunakan adalah buah kakao, abu gosok, besek (bambu) yang telah diberi nomer, alat pencatat data, dan timbangan analitik.
Cara kerja pada praktikum ini yaitu setiap kelompok dibagi buah kakao yang telah diberi nomer 1-100. Buah kakao diskoring berdasarkan tingkat kerusakan akibat serangan Helopeltis antonii (skor 1-10) dan tekstur permukaan kulitnya, halus skor 0 samapi kasar skor 5. Biji kakao dikeluarkan dari buahnya, kemudian dihilangkan pulpnya dengan menggunakan abu gosok sampai bersih. Biji kakao yang sudah dibersihkan, kemudian dikeringkan samapi kering. Setelah dikeringkan, dilakukan pengambilan data yaitu dihitung jumlah biji per pod, jumlah pod per pohon per tahun, berat biji per pod, berat biji, jumlah biji lebih dari 1 gram (per pod), hasil biji per pohon per tahun. Kemudian dihitung korelasi antar sifat dan hasil, serta data dianalisis regresi berganda dengan Stepwise Forward atau Backward komponen hasil dengan biji dan Path Analysis untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap hasil biji/ tahun. Analisis dengan Principle Component Analysis berdasarkan komponen hasil kerusakan Helopeltis.


IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil
Tabel 1. Nilai korelasi antar variabel

Jumlah pod/pohon/tahun
Jumlah biji/pod
Berat biji/polong
Rerata berat biji
Jumlah biji > 1 gram

Jumlah pod/pohon/tahun
1




Jumlah biji/pod
0.924327679
1




Berat biji/polong
0.356298306
0.406173058
1



Rerata berat biji
-0.282835017
-0.294523771
0.724850872
1


Jumlah biji > 1 gram
0.038569359
0.084275411
0.837963228
0.780200965
1

hasil biji/pohon/tahun
0.980274881
0.949876421
0.364020186
-0.280843148
0.052411796


 



Jumlah pod/pohon/tahun (X1)
Jumlah biji/pod (X2)
Berat biji/polong (X3)
Rerata berat biji (X4)
Jumlah biji > 1 gram (X5)
Jumlah pod/pohon/tahun (X1)





Jumlah biji/pod (X2)
19.97433709




Berat biji/polong (X3)
3.144475953
3.665356603



Rerata berat biji (X4)
-2.431603127
-2.541432627
8.676474102


Jumlah biji > 1 gram (X5)
0.318287909
0.697433962
12.66205564
10.28521876

hasil biji/pohon/tahun (X6)
40.90060923
25.05514869
3.222907631
-2.413006558
0.432793595

Keterangan Warna
Significant
Not Significant


Tabel 2. Pengaruh nilai langsung dan tidak langsung
Pengaruh Langsung / T. Langsung
Jumlah pod/pohon/tahun
Jumlah biji/pod
Berat biji/polong
Rerata berat biji
Jumlah biji > 1 gram
Jumlah pod/pohon/tahun
0.691964
0.639602
0.246546
-0.195712
0.026689
Jumlah biji/pod
0.471214
0.509791
0.207063
-0.150145
0.042963
Berat biji/polong
-0.111794
-0.127443
-0.313765
-0.227433
-0.262924
Rerata berat biji
-0.072836
-0.075846
0.186664
0.257520
0.200918
Jumlah biji > 1 gram
0.001727
0.003773
0.037513
0.034927
0.044767
JUMLAH
0.980
0.950
0.364
-0.281
0.052

PENGARUH L/TL
jumlah biji per pod
Berat biji per polong (gram)
Rerata berat biji (gram)
Jumlah biji > 1 gram per buah
jumlah biji per pod
5.541244955
-1.720447294
-1.720447294
1.579801763
Berat biji per polong (gram)
-2.221958722
7.156521214
4.411878003
5.416951343
Rerata berat biji (gram)
-0.271355172
0.53879755
0.873985205
0.471580817
Jumlah biji > 1 gram per buah
-2.04793106
-5.437171845
-3.875896196
-7.183235217
jumlah
1
0.537699625
-0.310480282
0.285098705

B.     Pembahasan
Seleksi pohon induk kakao bertujuan untuk mendapatkan pohon induk dengan karakteristik yang sesuai dengan yang diharapkan, yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pemuliaan tanaman kakao. Pada praktikum ini seleksi didasarkan pada buah dan biji kakao. Karena pohon induk tanaman tidak dapat diamati secara langsung, maka penentuan karakter-karakter terpilih hanya berdasarkan karakterbuah dan biji yang dikehendaki. Karakter hasil tanaman dapat diamati dari jumlah biji per buah, bobot biji, dan jumlah buah dalam satu pohon. Khusus untuk jumlah buah per pohon diperkirakan rata-rata 50 buah (karena tidak dilakukan pengamatan langsung terhadap tanaman).
Karakter kualitatif yang diamati adalah kehalusan kulit buah dan tingkat serangan Helopeltis sp. Tingkat serangan ini digunakan untuk menentukan tingkat ketahanannya terhadap hama tersebut. Semakin tinggi tingkat serangan maka tingkat ketahanannya semakin rendah, dan sebaliknya. Hama ini merupakan salah satu hama utama pada tanaman kakao sehingga perlu diwaspadai sejak awal. Dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kerugian yang besar. Salah satu upaya preventi terebut adalah dengan menggunakan tanaman yang tahan.
Pohon induk yang dikehendaki adalah yang hasilnya tinggi dan tahan terhadap serangan hama Helopeltis sp. Pada buah yang diamati memiliki keragaman yang cukup luas ehingga datanya menyebar hampir merata. Garis hasil menunjukkan semakin ke kanan atas berarti hasil tanaman semakin meningkat. Demikian juga dengan tingkat serangan. Oleh karena itu, nomor buah yang diamati yang paling mendekati karakter yang diinginkan adalah nomor-nomor buah yang mendekati nol koma nol pada.
Hama penghisap buah kakao (Helopeltis spp.) merupakan hama penting yang tingkat pengrusakannya menduduki peringkat kedua setelah hama penggerek buah kakao. Serangan hama ini dapat menurunkan produktivitas 50-60%. Hama penghisap buah kakao berwujud kepik yang terdiri dari beberapa spesies antara lain H.antonii, H. claviver, dan H. theivora. Hama ini menyerang hamper semua tanaman kakao di Indonesia dan beberapa negara pembudidaya kakao lainnya seperti papua, Filipina, Srilanka, dan sebagian negara-negara Afrika.
Hama penghisap buah dapat menyerang buah kakao saat pagi dan sore hari. Karena ia tidak menyukai keberadaan cahaya, ketika siang hari hama ini biasanya bersembunyi di bagian tanaman yang gelap seperti sela-sela atau bagia daun yang menhadap ke bawah. Hama penghisap buah dapat menyerang saat masih dalam fase nimfa dan imago. Serangan dilakukan dengan cara menusuk kulit buah muda maupun yang sudha tua menggunkan mulutnya yang menyerupai jarum. Mulutnya itu kemudian menghisap cairan manis yang ada di dalam kulit buah, lalu bersama dengan tusukan tersebut mulutnya mengeluarkan cairan racun yang dapat mematikan sel dan jaringan yang terdapat disekitar lubang tusukan.
Serangan pada buah muda menyebabkan kulit buah menjadi retak dan terjadinya pertumbuhan buah yang abnormal (malformasi). Karena pertumbuhannya abnormal, perkembangan bijipun akan terhambat dan mengakibatkan penurunan produktivitas hasil panen. Pada intensitas serangan yang tinggi, buah muda yang terserang bias mati, mongering, dan gugur. Serangan pada buah tua menyebabkan kulit buah dipenuhi dengan bitnik-bintik hitam yang merupakan luka n=bekas tusukan. Namun serangan pada buah tua merupakan luka bekas tusukan. Namun serangan pada buah tua biasanya jarang terjadi karena kulit buah sudah terlalu keras dan tidak mengandung cairan yang bias dimakan oleh hama penghisap. Serangan dapat pula terjadi pada pucuk daun muda. Daun muda yang terserang biasanya dalam beberapa hari langsung layu, mengering, dan akhirnya mati. Daun-daun tersebut pada akhirnya akan gugur dan ranting akan merangas kering dan akan menjadi seperti lidi.  
Grafik 1. Hasil Analisis PCA Seleksi Pohon Induk Kakao

Seleksi tanaman induk kakao bertujuan untuk mendapatkan buah kakao dengan hasil yang tinggi dan dengan serangan helopeltis yang rendah. Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis dengan Principle Component Analysis (PCA) untuk mengetahui nomor pohon indukan yang memiliki hasil tertinggi dan ketahanan terbaik terhadap helopeltis.hasil analisis PCA pada grafik diatas menjelaskan bahwa tanda panah hasil biji pohon menunjukkan banyaknya jumlah biji yang dihasilkan dalam satu buah kakao, semakin mendekati garis tersebut maka semakin banyak biji yang dihasilkan dalam satu buah. Sedangkan pada arah berlawanan, tanda panah berketerangan present merupakan banyaknya serangan hama helopeltis yang menyerang satu buah kakao, semakin mendekati garis tersebut maka semakin banyak serangan yang didapatkannya. Satu buah kakao mewakili satu pohon induk kakao.
Grafik diatas menjelaskan bahwa buah kakao yang paling baik dengan kriteria hasil tertinggi dan serangan helopeltis paling rendah sekaligus adalah buah kakao bernomor 18 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intensitas serangan sebesar 0, kakao nomor 20 dengan indeks hasil sebesar 2550 dan intensitas serangan sebesar 0, dan kakao nomor 21 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intesitas serangan sebesar 0. Sedangkan untuk kakao yang paling buruk yaitu dengan indeks hasil rendah dan serangan helopeltis yang tinggi adalah kakao bernomor 8 dengan indeks hasil sebesar 900 dan intensitas serangan sebesar 4, kakao bernomor 22 dengan indeks hasil sebesar 1500 dan intesitas serangan sebesar 9, dan kakao bernomor 24 dengan indeks hasil sebesar 1550 dan intensitas serangan sebesar 7.
Kriteria yang paling penting dan digunakan sebagai acuan untuk menyeleksi pohon tetua baru pada populasi pembenihan kakao adalah pohon dengan produksi pulp normal. Ukuran biji adalah kriteria terpenting kedua, karena dalam biji komersial dari pasar kakao kering dibutuhkan setidaknya biji seberat 1 gram.  Produksi pulp dari pohon dalam waktu tertentu didapatkan dengan mengalikan pod yang dipanen pada periode tersebut dengan rata-rata volume biji basah. Nilai tersebut dibagi dengan rata-rata jumlah bii per pod, yang kemudian menunjukkan nilai berat rerata per biji basah. Untuk mendapatkan berat biji rerata untuk kakao pasar, nilai tersebut di kalikan dengan rasio kering/basah dari pohon (Ruinard, 1961).
Sasaran pemuliaan tanaman kakao adalah mendapatkan varietas atau klon unggul yang emiliki produktivitas mencapai 2 to/ha/tahun, jumlah buah untuk menghasilkan biji kering sebanyak 1 kg adalah sekitar 25 buah, berat biji kering yang seragam 1,1–1,2 g/biji (mutu A), kadar lemak biji mencapai 55% atau lebih. Selain itu, varietas atau klon tersebut memiliki tingkat ketahanan/toleransi terhadap penyakit busuk kakao, Vascular Streak Dieback (VSD), dan hama penggerek buah kakao, serta helopeltis. Varietas atau klon unggul diharapkan memiliki daya adaptasi luas terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti kekeringan, kelebihan air, dan kemasaman tanah (Rahardjo, 2011)
Dalam kegiatan seleksi, korelasi antar karakter tanaman berguna untuk mengestimasi suatu karakter tertentu. Untuk itu, diiperlukan penduga atau karakter yang mudah diamati. Seleksi efektif dapat terjadi apabila korelasi atau keeratan hubungan atar karakter penduga dengan karakter yang diinginkan dalam suatu program seleksi mendekati nilai 1. Koefisien korelasi dapat bernilai negatif apabila bertambahnya nilai suatu sifat diikuti penurunan sifat yang lain. Sementara itu, koefisien korelasi yang bernilai 0 menunjukkan tidak adanya hubungan antar variabel.

jumlah biji per pod
Berat biji per polong (gram)
Rerata berat biji (gram)
Jumlah biji > 1 gram per buah
hasil biji/pohon/tahun
jumlah biji per pod
1
Berat biji per polong (gram)
0.538
1
Rerata berat biji (gram)
-0.310
0.616
1
Jumlah biji > 1 gram per buah
0.285
0.757
0.540
1
hasil biji/pohon/tahun
1
0.538
-0.310
0.285
1

Pada praktikum seleksi pohon induk kakao, digunakan 5 variabel yang didapatkan dari pengukuran atau perhitungan secara kuantitatif. Kelima variabel tersebut adalah jumlah biji per pod, berat biji per polong, rerata berat biji, jumlah biji lebih dari 1 gram per pod, serta hasil biji per pohon per tahun. Kelima variabel tersebut dianalisis keeratan hubungannya satu sama lain. Hubungan keeratan tertinggi yang ditunjukan oleh koefisien korelasi sebesar 0,76 terdapat pada hubungan jumlah biji lebih dari atau sama dengan 1 gram dengan berat biji per polong.  Koefisien korelasi berat biji per polong dengan jumlah biji per pod sebesar 0,54; koefisien korelasi rerata berat biji dengan berat biji per polong sebesar 0.62; koefisien korelasi hasil biji per pohon per tahun dengan berat biji per polong sebesar 0,54 serta; koefisien korelasi jumlah biji lebih dari atau sama dengan 1 gram per buah dengan rerata berat biji adalah 0,54. Selain itu, koefisien korelasi rerata berat biji dengan jumah biji per pod, jumlah biji lebih dari atau sama dengan 1 gram per buah dengan jumlah biji per pod, rerata berat biji dengan hasil biji per pohon per tahun, dan jumlah bii lebih dari atau sama dengan 1 gram dengan hasil biji per pohon per tahun tidak signifikan setelah dilakukan t-test.
Berdasarkan hasil pengamatan juga dapat diketahui pengaruh langsung serta tidak langsung dari beberapa parameter terhadap hasil biji kakao per tahun. Parameter yang paling berpengaruh berdasarkan data adalah jumlah biji per pod dengan nilai 1,0000 sedangkan keempat parameter (variabel) yang lain yaitu berat biji per polong, rerata berat biji serta berat biji yang lebih dari 1 gram dengan nilai pengaruh 0,7569.



V.                KESIMPULAN

1.      Buah kakao yang paling baik dengan kriteria hasil tertinggi dan serangan helopeltis paling rendah sekaligus adalah buah kakao bernomor 18 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intensitas serangan sebesar 0, kakao nomor 20 dengan indeks hasil sebesar 2550 dan intensitas serangan sebesar 0, dan kakao nomor 21 dengan indeks hasil sebesar 2250 dan intesitas serangan sebesar 0.
2.      Variabel yang memiliki korelasi tertinggi ditunjukan oleh koefisien yaitu sebesar 0,76 terdapat pada hubungan jumlah biji lebih dari atau sama dengan 1 gram dengan berat biji per polong. Jika kedua variabel tersebut meningkat, maka produksi biji/pohon/tahun juga akan meningkat.



DAFTAR PUSTAKA

Crozier, S. J., A. G. Preston, J. W. Hurst, M. J. Payne, J. Mann, L. Hainly, D. L. Miller. 2011. Cacao seeds are a “super fruit”: a comparative analysis of various fruit powders and products. Chemistry Central Journal 5: 5.
Indriati, G., Dadang, dan D. Prijono. 2015. Aktivitas insektisida ekstrak buah cabai jawa (Piper retrofractum) terhadap Helopeltis antonii (Hemiptera: Miridae). Jurnal Litri 21 (1): 33-40.
Karmawati, E., Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana dan Rubiyo. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Lasisi, D. 2014. A comparative study of effects of drying methods on quality of cocoa beans. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) 3 (1): 991-996.
Rahardjo, P. 2011. Menghasilkan Benih dan Bibit Kakao Unggul. Pebebar Swadaya, Depok.
Ruinard, J. 1961. Variability of various pod characters as a factor in cacao selection. Euphytica 10: 134–146.
Siswanto dan Karmawati, Elna. 2012. Pengendalian hama utama kakao (Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) dengan pestisida nabati dan agens hayati. Perspektif 11 (2): 99-103.
Susanto. 1994. Tanaman Kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius, Yogyakarta.
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, dan K. Nida. 2010. Pendugaan komponen ragam, heritabilitas dan korelasi untuk menentukan kriteria seleksi cabai (Capsicum annuum L.) populasi F5. Jurnal Hortikultura Indonesia 1 (3): 74-80.
Wood, G. A. R. dan R. A. Lass. 2001. Cocoa. Blackwell Science, UK.



LAPORAN PRAKTIKUM
METODE PEMULIAAN TANAMAN
ACARA VII
SELEKSI POHON INDUK KAKAO
Description: https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTHjR_iSMWd6vnKTCf4S_MAphiAdwI06sW0W41EWDbQwauOpCG2
 







Disusun oleh :

Chailendriani P. A.     (13390)
Anastyri Galuh K.      (13416)
Maryam Muharrron    (13442)
Irfanty Mufidah          (13444)
Roby Dosar S.            (13446)

Penanggungjawab       : Maryam Muharroron
Golongan/ Kelompok : C4/ 6
Asisten                        : Siti Nurwijayanti F.

LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN GENETIKA
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
LAMPIRAN