Pola tanam berganda merupakan sistem pengelolaan lahan pertanian dengan mengkombinasikan intensifikasi dan diversifikasi tanaman (Francis,1989). Pola pertanaman ganda yang biasa dilakukan petani adalah sistem tumpangsari (Intercropping) yaitu penanaman lebih dari satu jenis tanaman berumur genjah dalam barisan tanam yang teratur dan saat penanamannya bersamaan dilakukan pada sebidang lahan (Francis, 1986).
Penanaman dengan sistem tumpangsari di negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih terus dikembangkan, karena melalui sistem tersebut akan terjaga keseimbangan biologis, penganekaragaman hasil tanaman, mengurangi resiko kegagalan panen, membantu meningkatkan keuntungan dan stabilitas pendapatan petani per satuan luas tiap satuan waktu. Disamping itu sistem ini lebih aman dari sistem tunggal (monokultur) dalam situasi pertanian marginal, kesuburan tanah rendah, persediaan air yang tidak menentu dan tingkat input yang rendah (Van Hoof, 1987). Tanaman ganda juga berperan untuk mencegah erosi karena kemampuan vegetasi untuk menutup tanah (Gomez dan Gomez, 1983), menghemat air tanah lebih besar dibanding dengan sistem pertanaman tunggal (Arifin, 1988), dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan waktu pada musim tanam berbeda (Kadekoh, 2003).
Moynihan et al., (1996) menyebutkan bahwa tumpangsari kacang-kacangan dengan tanaman biji-bijian merupakan strategi budidaya yang dianjurkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap tanah, dengan cara mengurangi kompetisi terhadap gulma, menekan erosi pada tanah, menyediakan N terhadap tanaman yang akan ditanam selanjutnya, dengan begitu, penggunaan pupuk N anorganik dan herbisida dapat dikurangi.
Pilbeam et al., (1995) menemukan bahwa jika kacang-kacangan ditanam dan berinteraksi dengan tanaman lain seperti tanaman serelia umumnya, hara nitrogen dari tanaman yang diasosiasikan akan meningkat, salah satunya dengan transfer langsung N dari kacang-kacangan ke serelia, atau oleh penguraian secara sederhana mineral yang tersedia di dalam tanah. Oleh karena itu produktifitas berpotensi ditingkatkan oleh kacang-kacangan pada sistem tumpangsari.
Berbagai pola tumpangsari antara legum dan non-legum merupakan keistimewaan dari sistem pertanian di daerah-daerah tropis (Willey, 1979; CIAT, 1986). Mengadopsi sistem tumpangsari umumnya dianggap lebih baik dalam pemanfaatan sumberdaya lingkungan dibanding dengan pola tanam monokultur (Fukai dan Trenbath, 1993). Sebagai tambahan pola tumpangsari juga diindikasikan sebagai alternatif selain herbisida untuk mengurangi atau menekan pertumbuhan gulma (Liebman dan Davis, 2000). Pengurangan penggunaan herbisida adalah merupakan salah satu yang menjadi perhatian utama dalam pertanian modern (Ngouajio et al., 1999) dan dari beberapa alternatif lainnya yang diteliti, pola tumpangsari adalah salah satu termasuk di dalamnya (Carruthers et al., 1998).
Pada umumnya sistem tumpangsari lebih menguntungkan dibandingkan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih tinggi, jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat dalam pemakaian sarana produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil (Beets, 1982). Di samping keuntungan di atas, sistem tumpangsari juga dapat memperkecil erosi, bahkan cara ini berhasil mempertahankan kesuburan tanah (Ginting dan Yusuf, 1982).
Keuntungan secara agronomis dari pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan cara menghitung Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai ini menggambarkan efisiensi lahan, yaitu jika nilainya > 1 berarti menguntungkan. (Beets, 1982). Sistem tumpangsari dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian jika jenis-jenis tanaman yang dikombinasikan dalam sistem ini membentuk interaksi saling menguntungkan (Vandermeer, 1989).
Kacang tanah merupakan komoditas yang diperdagangkan (cash crop), demikian pula tanaman jagung karena mempunyai keunggulan komparatif untuk keperluan substitusi impor dan untuk diperdagangkan antar daerah. Di samping itu, legum yang ditanam diantara tanaman utama dapat berperan sebagai tanaman penutup tanah (cover crops) untuk meningkatkan siklus unsur hara, menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma, atau meningkatkan keragaman sistem pola tanam. (Sarrantonio, 1994; Oswald et al., 2002; Smeltekop et al., 2002; Mutch et al., 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar