Senin, 19 Februari 2018

PERAKITAN VARIETAS TANAMAN JAGUNG TAHAN BULAI DAN TAHAN KEKERINGAN


PERAKITAN VARIETAS TANAMAN JAGUNG TAHAN BULAI DAN TAHAN KEKERINGAN

PENDAHULUAN

Jagung manis (Zea mays var. saccharata) merupakan jenis jagung yang termasuk tanaman hortikultura, sangat populer di negara-negara maju seperti Amerika, Brasil, Prancis, dan negara-negara berkembang. Jagung ini dikonsumsi dalam bentuk jagung muda yang direbus, untuk sayuran dan lauk pauk, serta sebagai bahan baku pembuatan permen karena mempunyai rasa manis dan enak. Sementara itu limbah jagung segar setelah panen sangat bermanfaat bagi petani sebagai tambahan hijauan pakan ternak.
Jagung manis adalah hasil mutasi resesif yang terjadi secara alami dalam gen yang mengontrol konversi gula menjadi pati dalam endosperm biji jagung. Saat ini telah ditemukan 13 gen mutan yang dapat memperbaiki tingkatan gula pada jagung manis. Akan tetapi gen yang utama memengaruhi kemanisan jagung ada tiga, yaitu (1) gen sugary gen (su), (2) gen sugary enhancer (se), dan (3) gen shrunken (sh2). Ketiga gen tersebut merupakan gen resesif sehingga harus ditanam terpisah dari varietas jagung field corn.Jagung manis yang dikontrol oleh gen su biasa disebut jagung manis normal karena kandungan gulanya 9-16% dan setelah dipanen muda terjadi konversi gula menjadi pati sesudah 24 jam. Jagung manis yang dikontrol oleh gen se mempunyai kandungan gula 14-22%, sedangkan jagung manis yang dikontrol oleh gen sh2 mengandung gula sekitar 28-44%. Jagung manis yang dikontrol oleh gen sh2, dapat disimpan sekitar 2-3 hari setelah panen muda (Tracy, 1994 cit. Lertrat and Pulam, 2007).
Gen su2 dan sh2 sudah umum digunakan dalam pembuatan hibrida varietas jagung manis. Gen sh2 menyebabkan rasa manis yang dapat bertahan lebih lama karena setelah panen kandungan gulanya tidak langsung dikonversi menjadi pati sehingga disebut supersweet.  Apabila kedua gen berada dalam satu genotipe maka disebut sugary supersweet. Menurut Alexander dan Creech (1977), kandungan gula pada biji yang masak berbeda pada setiap kultivar jagung manis, bergantung pada derajat kerutannya. Benih jagung manis dapat dikenali dari bentuk bijinya yang berkerut, tetapi dari kerutan biji tidak bisa diketahui gen-gen mana yang mengontrol rasa manis pada biji jagung.
Salah satu penyakit yang banyak menurunkan hasil tanaman jagung adalah penyakit bulai atau downy mildew. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis yang menyerang daun jagung, dan dapatmenimbulkan kehilangan hasil sampai 100% (Shurtleff 1980 cit. Subandi et al. 1996). Epidemi penyakit bulai yang disebabkan oleh P.maydisdi daerah Lampung pertama kali terjadi tahun 1973, mengakibatkanpenurunan hasil jagung cukup drastis pada tahun-tahun berikutnya. Dari tahun 1973 sampai 1979 terjadi penurunan produksi berturut-turut sebesar 115, 92, 19, 44, 62, 55, dan 70 ribu ton (Sudjadi 1992).
Upaya pengendalian penyakit pada dasarnya adalah melalui pengendalian perkembangan patogen, memanfaatkan inang dan lingkungan untuk memperkecil akibat yangditimbulkan patogen sehingga mencapai suatu titik di bawah ambang ekonomi dengan kerugian yang dapat diabaikan(Sudjadi, 1992). Beberapa cara pengendalian penyakit bulai adalah penanaman kultivar tahan, pengaturan waktu tanam, sanitasi, dan perlakuan benih dengan metalaksil.
Kultivar unggul dapat diperoleh melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Salah satu langkah dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah perluasan keragaman genetik melalui hibridisasi atau persilangan. Persilangan merupakan salah satu upaya untuk menambah variabilitas genetik dan memperoleh genotype baru yang lebih unggul. Salah satu tipe persilangan yang sering dilakukan adalah persilangan dialel (diallel cross). Persilangan dialel adalah persilangan yang dilakukan diantara semua pasangan tetua sehingga dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (daya gabung umum dan daya gabung khusus), dan dugaan besarnya ragam genetik dari suatu karakter.
Suatu galur sebelum dijadikan tetua dalam persilangan untuk menghasilkan varietas, perlu diketahui daya gabungnya. Salah satu cara untuk mengetahui daya gabung galur adalah melalui persilangan dialel. Daya gabung merupakan suatu ukuran kemampuan genotipe tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman unggul. Menurut Rifin (1983) yang melakukan evaluasi daya gabung umum terhadap empat galur tahan melalui persilangan puncak dengan menggunakan tiga galur rentan sebagai tester, menyimpulkan bahwa galur yang memiliki efek daya gabung umum negatif dan nilai heterosis tinggi diharapkan tahan terhadap penyakit bulai. Menurut Iriany et al. (2003) yang melakukan evaluasi daya gabung umum terhadap empat galur tahan dan empat galur rentan melalui persilangan dialel, menyimpulkan bahwa galur yang bernilai daya gabung umum tinggi (negatif) memiliki kemampuan untuk menghasilkan genotipe tahan bulai. Dengan demikian keturunan silang tunggal yang mempunyai daya gabung umum negatif dan nilai heterosis tinggi diharapkan tahan terhadap penyakit bulai.
Hasil evalusi daya gabung dilanjutkan dengan uji daya hasil pendahuluan dan uji multilokasi. Pada akhirnya calon varietas yang unggul berdasarkan uji pendahuluan dan uji multilokasi dapat dilepas menjadi varietas baru
Perubahan iklim global adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia khususnya sektor pertanian. Laporan Intergovenrmental Panel on Climate Change IPCC menyatakan bahwa selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi mengalami peningkatan sebesar 0,05oC/dekade. Selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0,18oC/dekade (Las et al. 2009). Peningkatan suhu secara global dikarenakan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi.
Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: 1) perubahan pola hujan, 2) meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti banjir (La Nina) dan kekeringan (El Nino), dan 3) peningkatansuhu udara dan permukaan air laut (Salinger, 2005). Salah satu sektor yang paling terpengaruh dengan perubahan iklim adalah sektor pertanian, terutama subsector tanaman pangan. Hal ini karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama kelebihan dan kekurangan air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las et al. 2009).
Dampak perubahan iklim terhadap produktivitas (hasil panen) tanaman ternyata sangat bervariasi antar daerah. Hal ini terjadi karena produktivitas tidak saja dipengaruhi oleh perubahan iklim tersebut, tetapi juga oleh faktor lain seperti ketersediaan pupuk dan pestisida tepat waktu, atau sarana irigasi yang mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal (Handoko et al. 2008).
Kekeringan pada tanaman jagung menyebabkan penutupan stomata, penggulungan, senenscence daun, dan degradasi klorofil. Penggulungan daun disebabkan oleh rendahnya turgiditas sel daun dengan potensial air daun tanaman mencapai -1.5 MPa. Kekeringan juga dapat menyebabkan pertumbuhan luas daun, tinggi dan batang menjadi menurun serta organ reproduktif yang terbentuk lebih kecil dari ukuran normal. Kekeringan yang terjadi pada masa generatif akan mempercepat waktu panen dan kualitas biji menjadi rendah (Bänzinger et al. 2000).
Seleksi kekeringan jagung berdasarkan prosedur CIMMYT dengan perlakuan cekaman kekeringan saat fase pembungaan atau fase pengisian biji, hasilnya menurun sekitar 30 - 60% dari hasil pada kondisi optimum. Jika tanaman mengalami kekeringan pada fase pembungaan sampai masak fisiologis, hasilnya 15 - 30% dari hasil pada kondisi optimum, sedangkan kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung terhadap hasil (Bänzinger et al. 2000).
Sebagian besar wilayah Asia Tenggara mengalami perubahan pola hujan yang tidak teratur karena efek pemanasan bumi (Zaidi et al. 2004). Di Indonesia budidayasebagian besar dilakukan setelah tanam padi pada akhir musim hujan (April-Juni) sehingga masih mendapatkan curah hujan yang cukup untuk pertumbuhan awal, namun pergeseran iklim yang menyebabkan curah hujan tinggi meningkatkan resiko tergenangnya pertanaman jagung pada fase vegetatif, sehingga dapat mengakibatkan penurunan produksi.
























METODE

Metode perakitan untuk menyilangkan tanaman jagung varietas toleran kekeringan dan genangan dengan jagung varietas berdaya hasil tinggi dan tahan penyakit bulai digunakan metode ear to row.
Pelaksanaan seleksi massa secara visual yaitu dengan memilih fenotipe yang baik dalam memberikan hasil memuaskan tanpa berpedoman pada nilai parameter genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter yang mempunyai heritabilitas tinggi dan variasi genetik tinggi pada umumnya akan mempunyai kegunaan tinggi untuk masing-masing karakter tertentu. Pada seleksi massa variabilitas genetik dan heritabilitas merupakan parameter genetik dalam program seleksi yang sangat menetunkan keberhasilan program pemuliaan. Dalam program seleksi untuk memperbesar  peluang mendapatkan genotipe unggul perlu diuji galur sebanyak mungkin.
Seleksi ear to row merupakan modifikasi dari seleksi massa. Pada seleksi massa tanaman yang terpilih (tongkol) langsung dicampur dan digunakan untuk pertanaman seleksi musim berikutnya. Padahal tongkol terpilih tersebut merupakan hasil persilangan secara acak sehingga sulit diduga susunan genotipenya. Untuk memperbaiki kelemahan ini tongkol – tongkol tersebut diuji terlebih dahulu sebelum diuji. Cara pengujian tersebut disebut pengujian keturunan (progeny test). Pada perakitan ini digunakan seleksi ear to row dengan seleksi saudara kandung. Material yang digunakan pada seleksi saudara kandung dilakukan dengan persilangan secara sepasang–sepasang sehingga diperoleh meterial seleksi berupa tongkol – tongkol satu ayah dan satu ibu.


DAFTAR PUSTAKA

Alexander DE, Creech C.  1977. Breeding special nutritional and industrial types. Corn and Corn Improvement. The American Society of Agronomy Inc.

Bänzinger M., Edmeades G.O., Beck D., Bellon M. (2000) Breeding for Drought and Nitrogen Stress Tolerance in Maize: From Theory to Practice, CIMMYT., Mexico, D.F. pp. 68.

Handoko I., Sugiarto Y., Syaukat Y. (2008) Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis :Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. , SEAMEO BIOTROP for Kemitraan partnership.

Iriany RN, Makkulawu AT, Isnaini M, Dahlan MM, Subandi. 2003. Evaluasi daya gabung karakter ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit bulai melalui persilangan dialel. Jurnal Penelitian Pertanian. 22: 14-25.

Las I., Surmaini E., Ruskandar A. (2009) Antisipasi Perubahan Iklim: Inovasi Teknologi dan Arah Penelitian Padi di Indonesia., Prosiding Seminar Nasional Padi 2008., BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi, Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. pp.55-72.
Lertrat K, Pulam T. 2007. Breeding for increased sweetness in sweet corn. Int J Plant  Breed. 1(1): 27-30.

Rifin A, Setiyono R, Nuraefendi A, Hadian D. 1984. Heterosis and combining ability in corn. Penelitian Pertanian. 4(3): 81-83.

Salinger M.J. (2005) Climate variability and change: past, present, and future over view. Cl i mate Change 70:9−29.

Shurtleff MC.  1980. Compendium of Corn Disease. The American Phytophathological Society.

Subandi MS, Sudjadi, Pasaribu D. 1996. Laporan hasil pemantauan penyakit bulai dan benih palsu pada pertanaman jagung hibrida di Lampung. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanaman Pangan.

Sudjadi MS. 1992. Pengaruh masa tanam, faktor cuaca dan penyakit utama terhadap hasil jagung di lahan tadah hujan Lampung Tengah. Penelitian Pertanian. 12: 104-110.

Tracy W.F. 1994. Sweet Corn Dalam:  Specialty Corn. Ames (US): Department of Agronomy, Iowa State University

Zaidi P.H., Yadav M., Singh D.K., Singh R.P. (2008) Relationship between drought and excess moisture tolerance in tropical maize (Zea mays L.). Australian Journal of Crop Science 1(3):78-96.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar