Evaporasi adalah komponen utama
penggerak siklus hidrologi, karena itu menduga laju evaporasi dengan akurat
sangat penting untuk pengelolaan sumber daya air dan peningkatan produksi
pertanian. Tetapi, laju evaporasi adalah unsur iklim yang sulit diukur secara
langsung karena beragamnya faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor yang
mempengaruhi ET adalah faktor cuaca seperti radiasi matahari, suhu udara,
kelembaban udara dan kecepatan angin; faktor tanaman seperti jenis tanaman,
fase tumbuh, keragaman dan kerapatan tanaman dan faktor pengelolaan dan kondisi
lingkungan tanaman seperti kondisi tanah, salinitas, kesuburan tanah, tingkat
serangan hama dan penyakit pada tanaman (Temesken, Davidovv dan Frame, 2005).
Evapotranspirasi standar
didefinisikan sebagai laju evapotranspirasi dari permukaan yang luas, rapat
ditumbuhi rumput hijau dengan ketinggian yang seragam antara 8 – 15 cm dan
dalam kondisi tidak kekurangan air (Allen, 1998).
CROPWAT adalah decision support
system yang dikembangkan oleh Divisi Land and Water Development FAO berdasarkan
metode Penman- Monteith, untuk merencanakan dan mengatur irigasi. CROPWAT
dimaksudkan sebagai alat yang praktis untuk menghitung laju evapotranspirasi
standar, kebutuhan air tanaman dan pengaturan irigasi tanaman (Marica, 2000).
Dari beberapa studi didapatkan
bahwa model Penmann-Monteith memberikan pendugaan yang akurat sehingga FAO
merekomendasikan penggunaannya untuk pendugaan laju evapotranspirasi standar
dalam menduga kebutuhan air bagi tanaman (Itenfisul.et.al., 2003; engena dan
Gavilan, 2005).
Pengukuran langsung laju
evapotranspirasi sebaiknya menggunakan lisimeter, tetapi hanya sedikit stasiun
iklim yang memiliki lisimeter, karena itu pengukuran dilakukan dengan panci
evaporasi yang disebut Panci Klas-A
dengan dilengkapi data-data iklim yang lain. Tetapi sebuah penelitian oleh
Fontenot (2004) menunjukkan bahwa laju evapotranspirasi standar yang diukur
dengan Panci Klas-A tidak cocok dengan hasil dari metode Penman-Monteith. Xing
et.al.(2008) mendapatkan laju evapotranspirasi dengan menggunakan data panci
lebih rendah daripada yang diduga dengan metode Penman-Monteith maupun
Priestley-Taylor. Untuk mendapatkan laju evapotranspirasi standar, hasil
pengukuran dengan panci harus dikonversikan dengan menggunakan koefisien panci
dan dengan metode Cuenca dan Snyder didapatkan koefisien panci untuk iklim
maritim Canada bervariasi antara 0.78 – 0.94.
Pertanaman padi gogo sebagai
tanaman tumpang sari perkebunan karet dapat diusahakan sampai tahun ke tiga dan
untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun ke empat. Bila siklus peremajaan
tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit dilakukan etiap 25 tahun sekali, maka
potensi pengusahaan padi gogo sebagai tanaman tumpangsari di kedua jenis
perkebunan tersebut dapat mencapai luasan 12% (Toha, 2005). Kendala utama di
lahan tersebut yaitu intensitas cahaya rendah (naungan) di bawah tegakan
perkebunan/hutan tanaman industri selain kemasaman tanah yang tinggi (Sopandie
dan Trikoesoemaningtyas, 2011 ; Barus, 2013) dan ancaman kekeringan (Sopandie
dan Trikoesoemaningtyas, 2011 ) sebagai dampak perubahan iklim yang menyebabkan
periode musim hujan dan musim kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara pasti
(Budiastuti, 2009). Kendala lain yaitu serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT) khususnya penyakit blas (Pyricularia grisea).
Menurut Sopandie et al. (2003a)
naungan akan menurunkan aktivitas fotosintesis yang akan mengakibatkan
penurunan fotosintat. Tanaman toleran mempunyai tingkat efisiensi penerimaan
cahaya yang lebih tinggi pada kondisi normal dan terutama saat ternaungi
dibanding tanaman yang peka. Karakter padi gogo toleran naungan mempunyai
kemampuan meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatkan tinggi
tanaman sehingga fotosintesis relatif optimum (Sasmita et al., 2006). Karakter
ini akan mempengaruhi mekanisme fisiologi di dalam jaringan seperti penurunan
nisbah klorofil a/b (Lautt et al., 2000).
Kesimpulan
Galur B13-2-e (4.64 ton ha-1) dan
WI-44 (4.05 ton ha-1) mempunyai bobot gabah kering giling tinggi dan sebanding
dengan varietas pembanding Way Rarem (4.95 ton ha-1). Galur B13-2-e (127.40 cm)
memiliki tinggi tanaman sebanding dengan varietas Batutegi (128.80 cm),
sebaliknya galur WI-44 (106.85 cm) memiliki tinggi tanaman lebih pendek
dibanding kedua varietas pembanding. Kedua galur memiliki jumlah anakan
produktif relatif sama (15-16 batang) dan lebih banyak dibanding dengan kedua
varietas pembanding (9-10 batang). Galur B13-2-e dan WI-44 termasuk kategori
toleran terhadap naungan. Galur toleran lainnya yaitu galur I5-10-1-1, O18-b-1,
dan IW-56. Galur B13-2-e dan WI-44 direkomendasi untuk dapat diverifikasi
lanjut, konsistensi hasil dan toleransinya pada kondisi naungan alami, antara
lain pada sistem tumpangsari.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk
organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk
memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah (Badan Litbang Pertanian, 2010).
Menurut Yang et al. (2004); Miyagawa (2005); Syukur (2005); Eugene et al.
(2010); Leszczynska dan Malina (2011) aplikasi bahan organik sebagai pupuk
organik dapat meningkatkan kadar hara, meningkatkan kemampuan kimiawi,
meningkatkan kemampuan fisik dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Kemudian
Rochmah (2009); Widowati (2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk organik dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan meningkatkan efisiensi pemupukan.
Hasil penelitian Sugiyanta et al.
(2008) menunjukkan bahwa penambahan ½ dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1,
50 kg SP-36 ha-1 dan 50 kg KCl ha-1) + aplikasi 7.5 ton jerami ha-1
menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan
pupuk anorganik dosis rekomendasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aplikasi
pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik sekitar 50%, walaupun
sebenarnya sumbangan hara N, P, dan K dari pupuk organik relatif kecil sekitar
0-10% tergantung dari tingkat mineralisasi dari pupuk organik tersebut. Hal ini
berarti 40% sampai 50% penyediaan hara N, P, dan K berasal dari perbaikan sifat
fisik dan biologi tanah.
Menurut Suriadikarta dan
Simanungkalit (2006) pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting yaitu
penyediaan unsur hara makro dan mikro tetapi dalam jumlah yang sedikit,
sehingga berbagai hasil penelitian pupuk organik menunjukkan pengaruh yang
tidak berbeda. Kemudian menurut Chairani (2006) selain karena rendahnya kadar
unsur hara dalam pupuk organik, unsur hara pada pupuk organik harus melalui
proses mineralisasi terlebih dahulu sehingga lambat tersedia bagi tanaman.
Unsur N merupakan unsur yang sangat
penting pada fase vegetatif tanaman, serta merupakan unsur hara yang paling
menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan hasil padi sawah. Bertambahnya luas
daun per rumpun pada tahap anakan aktif dan anakan maksimum diduga karena
meningkatnya jumlah anakan per rumpun. Menurut Rachman et al. (2008) dan Rubio
et al. (2009), N berperan dalam memacu pertumbuhan vegetatif tanaman dan
meningkatkan kualitas daun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Wahyuti (2011) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman dan
pembentukan anakan padi sawah varietas Ciherang, Maro, dan galur B11143
dipengaruhi oleh meningkatnya aplikasi dosis pupuk N.
Peningkatan aplikasi dosis sampai
400 kg pupuk anorganik ha-1 akan meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama
N, P, dan K tanah. Komponen hasil dan hasil gabah dipengaruhi oleh fotosintesis
tanaman, dimana proses ini dipengaruhi oleh unsur hara N, P, dan K. Unsur N
berfungsi meningkatkan kandungan klorofil daun tanaman sehingga proses
fotosisntesis tanaman meningkat. Jumlah klorofil yang tinggi menunjukkan proses
fotosintesis dapat berjalan dengan baik (Suharno et al., 2007; Ai dan Banyo,
2011).
Aplikasi dosis pupuk organik +
dosis pupuk anorganik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Hasil tersebut
dapat terlihat pada aplikasi dosis 500 kg pupuk organik ha-1 + 200 kg pupuk
anorganik ha-1 menghasilkan efisiensi pemupukan N tertinggi sampai 89.19%,
sedangkan aplikasi dosis 750 kg pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik
ha-1 menghasilkan efisiensi pemupukan P dan K tertinggi masing-masing yaitu
69.55% dan 92.52% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Peningkatan efisiensi
pemupukan ini dipengaruhi oleh peran pupuk organik dalam meningkatkan
ketersediaan hara bagi tanaman serta peningkatan aktivitas dan keanekaragaman
hayati biota tanah.
Pada kondisi jenuh air (anaerob)
tanah sulit mendapatkan O2 sehingga mengganggu aktivitas mikroba dalam tanah.
Azospirillum sp, Azotobacter, dan bakteri pelarut fosfat adalah mikroba yang
hidup di daerah rizosfer tanaman dan merupakan bakteri aerob obligatif atau
bakteri yang memerlukan oksigen bebas sehingga peran oksigen menjadi salah satu
faktor dalam perkembangan hidupnya. Metode SRI (System Rice of Intensification)
mengkondisikan lahan dalam keadaan yang tidak selalu tergenang (intermitten),
sehingga memungkinkan pada bagian rizosfer dalam keadaan oksidatif. Hal ini
mendorong Azospirillum sp, Azotobacter, dan mikroorganisme aerob lainnya dapat
berkembang dengan baik.
Revolusi hijau melahirkan varietas
unggul berdaya hasil tinggi (high yielding varieties) yang responsif terhadap
pemupukan. Pupuk anorganik menjadi komponen utama sarana produksi untuk
mencapai produktivitas yang tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik.
Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) dampak dari penggunaan pupuk
anorganik secara intensif terlihat pada penurunan bahan organik tanah.
Sugiyanta et al. (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk anorganik berdosis
tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik menyebabkan kadar bahan organik
tanah menjadi sangat rendah dan menjadi pembatas untuk mencapai hasil padi
sawah yang tinggi.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik
yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki
kondisi dan kesuburan tanah (Badan Litbang Pertanian, 2010). Menurut Yang et
al. (2004); Miyagawa (2005); Syukur (2005); Eugene et al. (2010); Leszczynska
dan Malina (2011) aplikasi bahan organik sebagai pupuk organik dapat
meningkatkan kadar hara, meningkatkan kemampuan kimiawi, meningkatkan kemampuan
fisik dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Kemudian Rochmah (2009);
Widowati (2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk organik dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia dan meningkatkan efisiensi pemupukan.
Aplikasi pupuk organik bukan
sebagai pengganti pupuk anorganik namun sebagai komplemen, sehingga dalam
budidaya konvensional pupuk organik sebaiknya digunakan secara terpadu dengan pupuk
anorganik untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman secara
berkelanjutan. Aplikasi pupuk organik ke dalam tanah selain ditujukan sebagai
sumber hara makro, mikro, dan asam asam organik, juga berperan sebagai bahan
pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi
tanah dalam jangka panjang.
Hasil penelitian Sugiyanta et al.
(2008) menunjukkan bahwa penambahan ½ dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1,
50 kg SP-36 ha-1 dan 50 kg KCl ha-1) + aplikasi 7.5 ton jerami ha-1
menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan
pupuk anorganik dosis rekomendasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aplikasi
pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik sekitar 50%, walaupun
sebenarnya sumbangan hara N, P, dan K dari pupuk organik relatif kecil sekitar
0-10% tergantung dari tingkat mineralisasi dari pupuk organik tersebut. Hal ini
berarti 40% sampai 50% penyediaan hara N, P, dan K berasal dari perbaikan sifat
fisik dan biologi tanah.
Aplikasi pupuk jerami dengan dosis
tinggi memiliki kendala yaitu ketersediaan dan kemudahan dalam aplikasi. Oleh
karena itu perlu dipelajari penggunaan pupuk organik sebagai komplementer
dengan dosis yang rendah. Informasi mengenai jenis dan dosis pupuk organik +
anorganik yang tepat akan bermanfaat dalam peningkatan efisiensi pemupukan N,
P, dan K anorganik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi sawah
dengan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi
dosis pupuk organik + anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah,
serta terhadap efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik.
Ada beberapa kelemahan pupuk
organik yaitu: (1) kandungan hara pupuk organik rendah sehingga tanpa pupuk
anorganik menyebabkan sumbangan hara sangat sedikit, (2) pupuk organik harus
melalui proses mineralisasi, dan (3) immobilisasi unsur hara sehingga unsur
hara lambat tersedia bagi tanaman. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit
(2006) pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting yaitu penyediaan unsur
hara makro dan mikro tetapi dalam jumlah yang sedikit, sehingga berbagai hasil
penelitian pupuk organik menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda. Kemudian
menurut Chairani (2006) selain karena rendahnya kadar unsur hara dalam pupuk
organik, unsur hara pada pupuk organik harus melalui proses mineralisasi
terlebih dahulu sehingga lambat tersedia bagi tanaman.
Peningkatan aplikasi dosis pupuk
anorganik menunjukkan peningkatan ketersediaan unsur hara terutama nitrogen (N)
dalam tanah. Unsur hara yang terkandung dalam pupuk anorganik lebih cepat
tersedia bagi tanaman. Unsur N merupakan unsur yang sangat penting pada fase
vegetatif tanaman, serta merupakan unsur hara yang paling menjadi faktor
penghambat pertumbuhan dan hasil padi sawah.
KESIMPULAN
Interaksi nyata antara pupuk organik dan anorganik tidak
berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Aplikasi pupuk organik
sampai dosis 1,000 kg ha-1 tidak meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi,
sebaliknya aplikasi pupuk anorganik sampai dosis 400 kg ha-1 meningkatkan
pertumbuhan dan hasil padi. Aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan anorganik. Efisiensi N tertinggi (89.19%) pada aplikasi dosis 500 kg
pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik ha-1, dan efisiensi P dan K
tertinggi (69.55% dan 92.52%) pada aplikasi dosis 750 kg pupuk organik ha-1 +
300 kg pupuk anorganik ha-1. Aplikasi pupuk anorganik pada padi sawah cukup 300
kg ha-1
Pemanasan global yang terjadi pada
beberapa tahun belakangan memicu peningkatan resiko banjir. Menurut Hirabayashi
et al. (2013) peningkatan frekuensi banjir tergantung pada peningkatan derajat
pemanasan global yang terjadi dan tertinggi adalah di Asia Tenggara, India,
Afrika Timur dan Utara Pegunungan Andes. Cekaman rendaman atau genangan dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan terjadinya penurunan
komponen hasil dan hasil tanaman. Kuswantoro (2011) menyatakan pada tanaman kedelai
bahwa cekaman rendaman menyebabkan penurunan jumlah cabang produktif, jumlah
polong isi dan hasil. Pada tanaman padi, telah banyak dilaporkan dampak cekaman
rendaman terhadap pertumbuhan dan hasil, namun lebih terbatas pada cekaman
rendaman keseluruhan yang sesaat seperti akibat terjadinya banjir rob. Para
peneliti dari IRRI juga sudah banyak mempublikasikan hasil penelitian terkait
cekaman rendaman keseluruhan, antara lain (1) Septiningsih et al. (2009) yang
mengungkapkan pembentukan tanaman padi toleran cekam rendaman keseluruhan melalui pendekatan
molekuler dengan penemuan gen Sub1 dan (2) Mackill et al. (2010) mempelajari
cekaman rendaman sebagai salah satu cara adaptasi untuk antisipasi perubahan
iklim global. Dengan semakin tingginya intensitas banjir dan cekaman rendaman,
Collard et al. (2013) menyatakan perlu upaya perakitan varietas toleran
rendaman untuk berbagai kondisi rendaman yang terjadi sekarang ini, seperti
rendaman stagnan, rendaman pada fase kecambah (anaerobic germination), serta gabungan
berbagai cekaman abiotik terkait cekaman rendaman, seperti salinitas dan
kekeringan.
Perakitan varietas padi yang
toleran terhadap rendaman keseluruhan dan sesaat (submergence/flash flooding)
telah berkembang baik dengan ditemukannya gen Sub1 yang dimasukkan ke beberapa
varietas berdaya hasil tinggi di Asia yang ditanam lebih dari satu juta hektar
antara lain IR64, Swarna, Samba Mahsuri BR11, TDK dan CR1009 (Septiningsih et
al., 2009). Metode pemuliaan yang digunakan adalah metode silang balik dengan
bantuan marka molekuler atau marker assisted backcrossing (MAB). Selain gen
Sub1, saat ini telah ditemukan gen Snorkel1 dan Snorkel2 yang mengendalikan
sifat kemampuan pemanjangan batang ketika tanaman padi tercekam rendaman. Gen
Snorkel sesuai untuk pertanaman padi yang mengalami cekaman rendaman stagnan
atau berada di daerah rawa dalam (deepwater). Tiga QTL (quantitative trait
locci) yang berperan dalam kemampuan pemanjangan batang terletak pada kromosom
1, 3 dan 12 (Hattori et al., 2008). Diantara ketiga lokus tersebut, gen
pengendali pada kromosom 12 adalah yang paling utama. Penemuan tersebut
memungkinkan untuk menggunakan pendekatan molekuler dalam perbaikan kemampuan
pemanjangan batang varietas padi untuk toleransi terhadap rendaman stagnan.
Sedangkan menurut Nugraha et al. (2013) bobot tajuk, bobot daun, luas indek
daun, diameter batang, tinggi tanaman dan jumlah anakan merupakan karakter yang
paling efektif digunakan sebagai kriteria untuk seleksi tandem terhadap hasil
gabah karena memiliki variabilitas genetik luas, heritabilitas tinggi dan
korelasi yang kuat den an hasil gabah. Karakterkarakter tersebut efektif
digunakan untuk seleksi hasil gabah padi yang toleran terhadap cekaman rendaman
stagnan.
Cekaman rendaman stagnan pada
pertanaman padi sering terjadi pada daerah rawa lebak. Penggunaan varietas
lokal di lahan rawa lebak masih memberikan produktivitas yang rendah, seperti
Pandak Putih dan Siam Kuning di lahan rawa lebak dalam Kalimantan Selatan hanya
sekitar 3.0 ton ha-1 dan Sei Putih di lebak pematang dan tengahan Sumatera
Selatan berkisar 2.0-2.5 ton ha-1 (Suwarno et al., 1996). Penggunaan varietas
unggul baru (VUB) berdampak terhadap peningkatan produktivitas, antara lain
varietas Cisanggarung pada musim kemarau di Kayu Agung, Sumatera Selatan dapat
menghasilkan 4.0-5.5 ton ha-1, varietas unggul padi seperti Barito, Mahakam,
Tapus, Alabio dan Nagara mampu menghasilkan gabah kering giling sebanyak
4.0-5.0 ton ha-1 di lahan lebak dangkal dan tengahan Kayuagung, Sumatera
Selatan (Suwarno et al., 1996). Terlihat bahwa jika budidaya padi lebak
dilakukan secara intensif, maka daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi
sebagai alternatif sentra produksi padi.
IRRI (International Rice Research
Institute) mulai melirik pengembangan area pertanaman padi ke lahanlahan yang
mengalami cekaman rendaman stagnan, yaitu terendam 25-50 cm dari permukaan
tanah selama hampir seluruh fase hidupnya. Belum ada varietas padi yang dilepas
untuk kondisi terendam seperti ini. Selain itu, perakitan varietas padi yang
memiliki kombinasi toleransi terhadap rendaman sesaat dan stagnan merupakan
prioritas utama program pemuliaan di IRRI. Beberapa galur harapan yang memiliki
toleransi terhadap kedua jenis rendaman tersebut telah diuji lapang di Asia dan
Afrika selama tahun 2011-2012 (Mackill et al., 2010).
Strategi adaptasi tanaman padi
terhadap cekaman rendaman stagnan adalah melakukan pemanjangan batang mengikuti
naiknya permukaan air, sehingga daun masih berada di atas permukaan air untuk
menghindari kondisi anaerob. Hattori et al. (2011) menyebutkan strategi ini
sebagai escape strategy. Menurut Hattori et al. (2009) pada bagian tanaman yang
terendam air, zat pengatur tumbuh (ZPT) etilen terakumulasi sehingga mengalami
peningkatan yang menginduksi ekspresi gen Snorkel1 (SK1) dan Snorkel2 (SK2)
yang berfungsi sebagai ERF-type transcription factors. Selain itu terjadi juga
peningkatan ZPT gibberellic acid (GA).
KESIMPULAN
Genotipe yang memiliki hasil tertinggi pada lingkungan
tercekam rendaman stagnan adalah IPB107-F-5-1-1 (G17) sebesar 5.47 ton ha-1 dan
IPB107-F-82-2-1 (G15) sebesar 5.80 ton ha-1 dengan penurunan hasil di bawah
20%. Respon genotipe padi terhadap cekaman rendaman stagnan adalah mengalami
pertambahan tinggi tanaman, umur berbunga 50%, umur panen, jumlah gabah hampa
per malai dan kemampuan pemanjangan batang, sedangkan jumlah anakan produktif
dan jumlah gabah isi per malai mengalami penurunan. Kemampuan pemanjangan
batang sebagai strategi adaptasi tanaman padi terhadap cekaman rendaman stagnan
ternyata tidak berkorelasi terhadap hasil.
Ratun (ratoon) atau singgang (Jawa)
atau turiang (Sunda) adalah tanaman padi yang telah dipanen yang tumbuh kembali
menghasilkan anakan baru dan selanjutnya dapat berproduksi kembali (Islam et
al., 2008). Keunggulan ratun, antara lain adalah waktu panen 40% lebih singkat,
penghematan air sebanyak 60%, penghematan input produksi sebanyak 38% (Oad dan
Cruz, 2002). Keunggulan lainnya adalah penghematan biaya, tenaga kerja, dan
waktu persiapan tanam (Santos et al., 2003). Namun demikian, dari banyak
keunggulan tersebut, produktivitas padi ratun cenderung masih rendah.
Upaya untuk meningkatkan
produktivitas padi ratun telah banyak dilakukan penelitian, antara lain tentang
penggunaan varietas dan galur tipe baru (Susilawati et al., 2010). Input
produksi pada padi utama juga dapat mempengaruhi kebugaran ratunnya (Islam et
al., 2008). Pemupukan N yang dikombinasikan dengan P atau K pada padi ratun
juga dapat meningkatkan produktivitas padi ratunnya (Susilawati et al., 2012a)
atau mengatur teknik budidaya, misalnya pengaturan tinggi pemotongan saat panen
tanaman utama (tinggi tunggul) (Susilawati et al., 2012b). Namun, belum banyak
penelitian yang melaporkan penggunaan bioinsektisida dengan bahan pembawa
ekstrak kompos untuk meningkatkan kebugaran padi ratun dan menurunkan populasi
dan serangan serangga hamanya. Ekstrak kompos yang merupakan pupuk hayati dapat
digunakan sebagai bahan pembawa bioinsektisida cair dengan bahan aktif konidia
jamur entomopatogen, seperti Beauveria bassiana (Herlinda et al., 2012). Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengkaji pengaruh aplikasi
bioinsektisida dan ekstrak kompos terhadap produksi padi ratun dan populasi
serangga hama yang menyerang padi ratun tersebut.
Bioinsektisida cair dibuat
berdasarkan metode Herlinda et al. (2012), yaitu menggunakan bahan aktif
konidia B. bassiana dengan kerapatan 109 konidia mL-1 dan bahan pembawanya
adalah larutan ektrak kompos yang telah disterilkan pada suhu 100 oC untuk
meniadakan bakteri perombak. Ekstrak kompos pada penelitian ini dibuat
mengikuti metode Suwandi (2004), yaitu dengan fermentasi tepung kulit udang.
Menurut Suwandi et al. (2012) setiap liter ekstrak kompos tersebut mengandung
komunitas bakteri berguna dalam keadaan populasi berimbang, yaitu bakteri
perombak kitin (kitinolitik), perombak selulosa (selulolitik) dan pelarut
fosfat masing-masing 4.9x108;7.1x108; dan 6.3x108 sel dalam keadaan dorman
(fase istirahat).
Rahimi et al. (2011) dan Liu et al.
(2012) menyatakan bahwa jumlah anakan padi ratun tidak hanya tergantung pada
hara mineral yang diaplikasikan pada ratun tetapi juga ditentukan oleh input N
pada padi utamanya. Suwandi et al. (2012) menambahkan, gejala ini terjadi
karena meningkatnya serapan N, P dan K oleh tanaman padi yang diaplikasi
ekstrak kompos.
Shrestha et al. (2012) menyatakan
cara kerja ekstrak kompos dalam meningkatkan produksi tanaman melalui
peningkatan mineralisasi atau melalui ameliorisasi tanah. Liu et al. (2012)
menyatakan N yang diserap padi ratun 57-76% akan digunakan untuk pembentukan
bunga dan dimanfaatkan untuk pembentukan bulir padi ratun. Susilawati et al.
(2012a) melaporkan bahwa unsur N mutlak diperlukan dalam menghasilkan ratun
yang berproduksi tinggi dan N dapat dikombinasikan dengan P atau K. Santoso
(2011) menyatakan unsur P dan K secara bersama-sama merangsang pengisian bulir
padi, meningkatkan ukuran dan bobot bulir, sehingga dapat meningkatkan hasil
gabah dan bulir yang bernas.
KESIMPULAN
Perlakuan ekstrak kompos dan
kombinasi bioinsektisida dan ekstrak kompos dapat meningkatkan tinggi anakan
padi ratun dibandingkan perlakuan bioinsektisida aja. Jumlah anakan produktif
per rumpun menunjukkan hasil paling tinggi pada petak yang diaplikasikan
ekstrak kompos yang berbeda nyata dengan jumlah anakan pada yang diberi
bioinsektisida dan kombinasi bioinsektisida dan ekstrak kompos. Produksi gabah
kering giling pada petak yang diaplikasikan ekstrak kompos paling tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Bioinsektisida yang
diaplikasikan pada padi ratun mampu menurunkan populasi serangga hama, C.
bipunctata, R. dorsalis, N. lugens, dan Nephotettix nigropictus. Data ini memberi
indikasi bahwa aplikasi ekstrak kompos meningkatkan pertumbuhan dan produksi
padi, sedangkan bioinsektisida menurunkan populasi serangga hama padi ratun.
Kedelai merupakan komoditi pangan
strategis di Indonesia yang kebutuhannya terus meningkat sejalan pertumbuhan
jumlah penduduk. Salah satu usaha untuk
meningkatkan produksi kedelai nasional adalah memperluas areal tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan
kering yang potensinya sangat besar. Menurut Mulyani et al. (2011), luas lahan
kering di Indonesia mencapai 148 juta hektar dan diperkirakan 102.8 juta hektar
di antaranya berupa tanah masam.
Kendala budidaya kedelai di tanah
masam adalah produktivitas yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah
yang rendah karena tanah masam ditandai oleh pH rendah dan kelarutan Aluminium
(Al) yang tinggi. Kelarutan Al yang tinggi menyebabkan Al menjadi racun bagi
tanaman serta pengikatan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti unsur
fosfor. Gejala keracunan yang dapat diamati pada tanaman adalah gangguan
pertumbuhan akar sehingga penyerapan air dan hara yang dibutuhkan tanaman ikut
terganggu (Caniato et al., 2007; Ojo dan Ayuba, 2012).
Pendekatan budidaya yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan produktivitas yang optimal di tanah masam adalah
dengan menanam varietas kedelai toleran terhadap cekaman Al. Deptan (2012)
telah melepas 74 varietas, beberapa di antaranya toleran terhadap tanah masam
seperti Sibayak, Ratai, Nanti, dan Tanggamus. Umumnya varietas toleran tanah
masam yang telah dilepas tersebut mempunyai biji ukuran kecil. Adie dan
Krisnawati (2007) melakukan pengelompokan biji kedelai berdasarkan ukuran biji,
diketahui bahwa varietas Sibayak, Ratai, Nanti, dan Tanggamus termasuk kelompok
berbiji kecil (< 10 g per 100 biji) .
Saat ini konsumen lebih suka
terhadap kedelai berbiji besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan
varietas kedelai berbiji besar untuk kesesuaian budidaya di tanah masam. Keragaman
genetik kedelai untuk sifat berbiji besar dan toleran aluminium masih relatif
rendah sehingga perlu dilakukan persilangan antara varietas toleran tanah masam
(Tanggamus) (Deptan, 2012) dengan varietas peka tanah masam berbiji besar (>
14 g per 100 biji) , yaitu Argomulyo (Deptan, 2012) untuk memperoleh galur yang
toleran tanah masam berbiji besar.
Keragaman genetik terdiri atas
ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis. Ragam genetik aditif adalah ragam
genetik yang menyebabkan terjadinya kesamaan sifat di antara tetua dan
turunannya. Fenotipe pada aksi gen aditif disebabkan penjumlahan dari
masing-masing alel tanpa interaksi dengan alel lain (interaksi alelik atau non
alelik), sedangkan pada aksi gen epistasis, fenotipe ditentukan oleh interaksi
alel-alel dari lokus yang berbeda (Roy, 2000) Toleransi kedelai terhadap tanah
masam dikendalikan oleh aksi gen aditif yang juga dipengaruhi aksi gen
epistasis. Kuswantoro et al. (2011) menyatakan bahwa pewarisan sifat jumlah
polong kedelai di tanah masam dikendalikan oleh aksi gen epistasis. Menurut
Phillips (2008) aksi gen epistasis berperan penting dalam adaptasi tanaman
terhadap cekaman abiotik seperti cekaman aluminium. Penelitian bertujuan untuk
menduga aksi gen dari karakter pertumbuhan kedelai pada cekaman aluminium di
kultur hara dan menduga apakah karakter pertumbuhan tersebut dikendalikan oleh
aksi gen aditif atau oleh aksi gen epistasis.
Analisis data dilakukan dengan
menghitung rata-rata dan dilakukan uji-t untuk setiap karakter yang diamati pada
masingmasing populasi, serta dilanjutkan dengan pendugaan aksi gen yang
mengendalikan karakter yang diamati. Penentuan aksi gen dan banyak gen
pengendali sifat dilakukan berdasarkan analisis sebaran F2 dengan melihat nilai
skewness dan kurtosis (Roy, 2000). Komponen ragam dan heritabilitas diestimasi
menggunakan persamaan sebagai berikut:
n
Ragam (V) = Σ
(xi-μ)2
i=1
n-1
Ragam fenotipe (VP) = VF2
Ragam lingkungan (VE) = (VP1 + VP2 + VF1)/3
Ragam genotipe (VG) = VF2 - VE
Heritabilitas arti luas (h2bs) = (VG/VP) X 100%.
Nilai heritabilitas dikategorikan
tinggi bila h2bs>50%, sedang bila h2 bs terletak antara 20-50% dan rendah
bila h2bs < 20% (Mangoendidjojo, 2003).
Menurut Roy (2000) dan
Jayaramachandran et al. (2010), penyebaran karakter kuantitatif pada tanaman
yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan,
interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan epistasis. Penyebaran
karakter panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot
basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang tidak membentuk
sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non aditif dalam
mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh lingkungan yang
besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang bersifat
komplementer
Menurut Bnejdi et al. (2011) aksi
gen yang mengendalikan suatu karakter pada generasi awal sulit dipisahkan dari
epistasis duplikat. Epistasis duplikat adalah interaksi epistasis antara gen
aditif x aditif, interaksi antar lokus ini dapat meningkatkan toleransi kedelai
terhadap Al pada kondisi tercekam.
Karakter panjang akar, panjang
tunas, dan ratio tunas per akar yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti
luas sedang, sedangkan karakter berat basah tunas dan akar serta berat kering
tunas dan akar mempunyai nilai heritabilitas arti luas tinggi. Hal ini berarti
bahwa karakter-karakter yang diamati tersebut lebih banyak dikendalikan faktor
genetik (aksi gen aditif epistasis) dibandingkan faktor lingkungan, dimana
ragam genetik terekspresi pada penampilan fenotipik tanaman (Karasu et al.,
2009; Bnejdi dan Gazzah, 2010).
Interaksi antar alel (epistasis)
yang lebih penting pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti kedelai adalah
interaksi aditif x aditif. Bentuk interaksi ini dapat terfiksasi pada generasi
lanjut (Barona et al., 2012). Hal ini berarti pada populasi F2 aksi gen yang
terjadi bersifat epistasis aditif x aditif yang masih belum terfiksasi tetapi diharapkan
interaksi gen epistasis pada populasi F2 ini dapat diwariskan ke generasi
selanjutnya. Bila seleksi dilakukan pada generasi lanjut (F5) diharapkan aksi
gen epistasis aditif x aditif dan aksi gen aditif telah terfiksasi, sehingga
pada generasi ini tingkat homozigositasnya telah tinggi (± 95%) (Riaz dan
Chowdhry, 2003; Santoso, 2007).
KESIMPULAN
Karakter panjang akar, panjang
tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot
kering akar dan bobot kering tajuk dari populasi F2 mempunyai nilai tengah yang
melebihi kedua tetuanya dengan nilai heritabilitas arti luas dari sedang hingga
tinggi. Aksi gen aditif epistasis duplikat hanya terjadi pada karakter panjang
akar sedangkan karakter panjang tajuk, panjang tajuk, nisbah panjang tajuk
akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering
tajuk diatur oleh aksi gen epistasis komplementer. Semua karakter yang diamati
memiliki pola sebaran yang bersifat kontinu dan menunjukkan bahwa semua
karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen.
Gandum (Triticum aestivum L.)
merupakan salah satu tanaman pangan utama yang ditanam hampir di seluruh dunia.
Luas penanaman gandum mencakup sekitar 30% area penanaman sereal di dunia,
dengan lebih dari 220 juta ha areal budidaya (Cossani dan Reynolds, 2012).
Kebutuhan gandum di Indonesia sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh tingginya
impor pada tahun 2012 mencapai 6,300,000 ton (BPS, 2013) setara dengan nilai
US$ 298,516,200 (Kemenperin, 2013). Berbagai persoalan dihadapi dalam
pengembangan gandum di Indonesia di antaranya, terbatasnya varietas yang
beradaptasi terhadap lingkungan tropis. Di daerah asalnya gandum dibudidayakan
pada suhu 8-10 oC dan menghendaki suhu 10-21 oC sebagai suhu optimal untuk
pertumbuhan (Fischer dan Maurer, 1978), persaingan lahan penanaman gandum di
dataran tinggi dengan tanaman hortikultura, selain itu terjadinya perubahan
iklim global yang sangat berpengaruh pada berbagai aspek pertanian dan
lingkungan seperti peningkatan polusi udara, meningkatnya tingkat radiasi UV,
perubaha curah hujan, ketidakteraturan
musim, kehilangan air dan pemanasan global yang menyebabkan peningkatan suhu
juga menghambat pengembangan gandum di
Indonesia. Peningkatkan suhu sekitar 1.8 sampai 5.8 oC diprediksi akan terjadi
diakhir abad ini (IPCC, 2007).
Berbagai upaya pemuliaan harus
dilakukan untuk meningkatkan toleransi tanaman gandum terhadap cekaman
lingkungan abiotik seperti peningkatan suhu melalui perbaikan genetik.
Eksploitasi keragaman genetik melalui induksi mutasi adalah salah satu cara yang
dibutuhkan pada program pemuliaan tanaman dalam mengembangkan varietas tanaman
yang memiliki keunggulan karakter tertentu. Tujuan dari induksi mutasi adalah
untuk meningkatkan laju frekuensi mutasi sehingga diperoleh varian dengan
tingkat keragaman yang tinggi yang akan diseleksi sesuai dengan karakter yang
diinginkan. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia dan
fisik. Iradiasi sinar gamma merupakan salah satu jenis mutagen fisik yang biasa
digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik pada berbagai tanaman. Perlakuan
mutagen akan merusak DNA dan selama proses perbaikan DNA akan terjadi mutasi
baru yang diinduksi secara acak. Perubahan dapat terjadi pada organel di
sitoplasma maupun mutasi kromosom inti (Jain, 2010).
Tingkat sensitivitas terhadap
radiasi dapat diukur berdasarkan nilai LD50 (lethal dose 50) yaitu dosis yang
menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman yang diradiasi. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan
terbanyak umumnya diperoleh di sekitar LD50 (Shu et al., 2012). Nilai LD50
sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas, kandungan air dan oksigen.
Penelitian yang dilakukan oleh Puchooa (2005) mengenai iradiasi sinar gamma
pada kalus tanaman Anthurium menyatakan LD50 diperoleh pada dosis iradiasi 15
Gy. Ling et al. (2008) menyatakan LD50 pada kalus jeruk sekitar 27 Gy sedangkan
hasil penelitian Mahadevamma et al. (2012) menunjukkan pada kalus pepaya
sekitar 30 Gy.
Induksi mutasi mampu menghasilkan
mutan dengan tingkat keragaman pada banyak karakter yang bisa diseleksi,
sementara dengan pendekatan transgenik hanya satu karakter yang bisa
diintegrasikan kedalam genom tanaman. Pendekatan transgenik juga memiliki
kekurangan dalam hal regulasi dan penerimaan tanaman hasil rekayasa genetika.
Keuntungan spesifik dari mutasi induksi adalah untuk mengembangkan galur mutan
yang kemudian diidentifikasi karakter gen spesifiknya dalam rangka membangun
database gen, untuk studi molekular yang berkaitan dengan fungsi genomik,
pengembangan bioinformatika dan untuk pengembangan varietas yang dapat tumbuh
pada lahan pertanian di bawah kondisi perubahan iklim (Jain, 2010).
Iradiasi sinar gamma telah banyak
digunakan pada berbagai tanaman dalam rangka peningkatan keragaman genetik
untuk toleransi cekaman abiotik dan biotik serta peningkatan kuantitas dan
kualitas hasil, diantaranya: tomat (Ishfaq et al., 2012), wortel (Nagananda et
al., 2013), kentang (Ahmad et al., 2010), kedelai (Alify et al., 2013), padi
(Shanthi et al., 2010), sorghum (Soeranto dan Sihono, 2010), dan gandum (Singh
dan Balyan, 2009; Borzouei et al., 2010; Plamenov et al., 2013). Tujuan
penelitian ini adalah mendapatkan nilai radiosensitivitas sebagai dasar untuk
melakukan induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma untuk memperoleh
mutan putatif gandum yang memiliki toleransi terhadap suhu tinggi.
Salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat radiosensitivitas suatu tanaman terhadap
iradiasi sinar gamma adalah dengan mengetahui Lethal Doses (LD20 dan LD50) dari
tanaman tersebut (Rakotoarisoa et al., 2008). Perubahan warna, penambahan bobot
dan diameter kalus dapat digunakan untuk menduga nilai radiosensitivitas pada
kalus embriogenik gandum.
Peningkatan dosis iradiasi dan suhu
menyebabkan perubahan warna dan penghambatan pertumbuhan kalus embriogenik.
Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya kematian sel-sel di sekitarnya melalui
programmed cell death (PCD). Menurut van Doorn et al. (2011), PCD merupakan
bagian integral dari perkembangan tanaman selama morfogenesis jaringan, organ,
atau embrio yang disebabkan oleh rusaknya vakuola atau sebagai respon terhadap
stres biotik dan abiotik yang menyebabkan terjadinya nekrosis.
KESIMPULAN
Nilai radiosensitivitas kalus
embriogenik antar varietas gandum sangat bervariasi, LD20: 7.79 to 18.96 Gy dan
LD50: 24.29-33.63 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma menyebabkan
diameter dan bobot kalus embriogenik semakin rendah, warna kalus menjadi
kecoklatan hingga menghitam; hal ini diduga terjadi akibat adanya kerusakan sel
pada kalus. Secara umum suhu tinggi dan iradiasi sinar gamma menurunkan daya
hidup kalus, menghambat munculnya embrio somatik serta menurunkan daya
berkecambah embrio somatik menjadi planlet. Percobaan yang dilakukan mampu
menghasilkan 19 planlet mutan putatif dari varietas Dewata yang diduga memiliki
toleransi terhadap suhu tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk aklimatisasi dan evaluasi planlet mutan putatif toleran suhu
tinggi yang telah dihasilkan.
Peranan gandum sebagai pendukung
ketahanan pangan dunia secara global mengakibatkan tanaman gandum telah menjadi
salah satu komoditi pangan yang penting. Saat ini Indonesia telah menjadi
negara pengimpor gandum terbesar sehingga mengakibatkan peningkatan pengeluaran
devisa negara. Oleh karena itu, usaha untuk memproduksi gandum sangat perlu
dilakukan untuk mengurangi volume impor gandum. Usaha memproduksi gandum perlu
didukung oleh ketersediaan varietas yang sesuai dengan kondisi agroklimat di
Indonesia (Budiarti, 2005; Setyowati et al., 2009).
Gandum dapat tumbuh baik pada
kondisi curah hujan sekitar 40-60 cm per tahun. Berdasarkan musim produksi
tanaman gandum terdiri dari 2 jenis, yaitu gandum musim dingin (winter wheat)
dan gandum musim semi (spring wheat) (Acquaah, 2007). Gandum musim dingin
adalah gandum yang mampu bertahan pada suhu dingin di bawah 40 oC jika
dilindungi salju, pertumbuhannya berhenti dan mengalami dormansi selama musim
dingin, kemudian melanjutkan pertumbuhan di musim semi untuk panen di musim
panas. Gandum musim semi merupakan tanaman berhari panjang dan kurang toleran
pada suhu rendah dan mengalami kerusakan pada suhu sekitar 2-1 oC (Acquaah,
2007).
Gandum merupakan salah satu tanaman
serealia yang berasal dari daerah subtropis. Pengembangan gandum di Indonesia
berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gandum dapat ditanam daerah
dataran tinggi dengan ketinggian tempat mencapai >1,000 m dpl yang memiliki
iklim hampir sama dengan lingkungan subtropik (Nuret al., 2012). Penanaman
gandum di daerah tropik perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang adaptif.
Saat ini baru beberapa varietas gandum yang sudah dilepas untuk kondisi tropik
sehingga pengembangan varietas gandum yang sesuai untuk kondisi tropik masih
perlu dilakukan. Sebagai upaya untuk mengembangkan varietas gandum, maka telah
diperoleh sejumlah individu generasi F2 yang diseleksi dengan metode pedigree
(Natawijaya, 2012). Individu-individu terseleksi dari generasi F2 merupakansegregan
yang kemudian ditanam menjadi famili-famili F3.
Peranan gandum sebagai pendukung
ketahanan pangan dunia secara global mengakibatkan tanaman gandum telah menjadi
salah satu komoditi pangan yang penting. Saat ini Indonesia telah menjadi
negara pengimpor gandum terbesar sehingga mengakibatkan peningkatan pengeluaran
devisa negara. Oleh karena itu, usaha untuk memproduksi gandum sangat perlu
dilakukan untuk mengurangi volume impor gandum. Usaha memproduksi gandum perlu
didukung oleh ketersediaan varietas yang sesuai dengan kondisi agroklimat di
Indonesia (Budiarti, 2005; Setyowati et al., 2009).
Gandum dapat tumbuh baik pada
kondisi curah hujan sekitar 40-60 cm per tahun. Berdasarkan musim produksi
tanaman gandum terdiri dari 2 jenis, yaitu gandum musim dingin (winter wheat)
dan gandum musim semi (spring wheat) (Acquaah, 2007). Gandum musim dingin
adalah gandum yang mampu bertahan pada suhu dingin di bawah 40 oC jika
dilindungi salju, pertumbuhannya berhenti dan mengalami dormansi selama musim
dingin, kemudian melanjutkan pertumbuhan di musim semi untuk panen di musim
panas. Gandum musim semi merupakan tanaman berhari panjang dan kurang toleran
pada suhu rendah dan mengalami kerusakan pada suhu sekitar 2-1 oC (Acquaah,
2007).
Gandum merupakan salah satu tanaman
serealia yang berasal dari daerah subtropis. Pengembangan gandum di Indonesia
berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa gandum dapat ditanam daerah
dataran tinggi dengan ketinggian tempat mencapai >1,000 m dpl yang memiliki
iklim hampir sama dengan lingkungan subtropik (Nur et al., 2012). Penanaman
gandum di daerah tropik perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang adaptif.
Saat ini baru beberapa varietas gandum yang sudah dilepas untuk kondisi tropik
sehingga pengembangan varietas gandum yang sesuai untuk kondisi tropik masih
perlu dilakukan.
Sebagai upaya untuk mengembangkan
varietas gandum, maka telah diperoleh sejumlah individu generasi F2 yang
diseleksi dengan metode pedigree (Natawijaya, 2012). Individu-individu
terseleksi dari generasi F2 merupakan segregan yang kemudian ditanam menjadi
famili-famili F3.
Analisis ragam (ANOVA) dilakukan
menggunakan software SAS 9.1.3. Pendugaan ragam antar check menggunakan uji F
pada taraf 5%, dan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dilakukan
bila terdapat pengaruh yang nyata. Pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2
bs) dilakukan berdasarkan pemisahan nilai kuadrat tengah harapan famili (σ2 g)
terhadap keragaman fenotipe (σ2 p) dengan kriteria : h2 bs>50% (tinggi),
20%
Penerapan metode seleksi
berdasarkan nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan
metode seleksi pedigree. Seleksi dilakukan pada generasi awal dengan
menggunakan karakter-karakter terpilih berdasarkan nilai heritabilitas tinggi.
Jika dalam populasi F3 memiliki nilai heritabilitas rendah, maka metode seleksi
yang sesuai digunakan adalah metode seleksi bulk (Syukur et al., 2012).
Nilai heritabilitas merupakan salah
satu parameter genetik yang dipertimbangkan untuk memilih karakter seleksi
(Wirnas et al., 2006; Suharsono dan Jusuf, 2009; Sungkono et al., 2009; Syukur
et al., 2010; Yunianti et al., 2010; Barmawi et al., 2013).
Tujuan seleksi sebagai dasar untuk
memperbaiki tanaman dalam memperoleh varietas unggul baru. Peranan keragaman
genetik pada perakitan varietas unggul sangat penting karena tingginya
keragaman genetik memberikan peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter
yang akan diperbaiki (Martono, 2009).
KESIMPULAN
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa famili berbeda nyata pada karakter umur berbunga, umur panen, persentase
floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai, jumlah biji per
tanaman, dan bobot biji per tanaman. Karakter tinggi tanaman dan umur berbunga
merupakan karakter berbeda nyata di antara varietas pembanding. Karakter yang
memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu karakter umur berbunga, umur panen,
persentase floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai, jumlah
biji per tanaman, dan bobot biji per tanaman. Berdasarkan bobot biji per
tanaman dan seleksi multikarakter (jumlah anakan produktif, persentase floret hampa,
dan bobot biji per tanaman) pada lingkungan optimum, terpilih 80 individu
terbaik (masing-masing 5 individu dari 20 famili).
Gandum (Triticum aestivum L.)
merupakan tanaman alloheksaploid yang berasal dari daerah subtropis. Menurut
Nur (2013) pengembangan gandum di Indonesia selama ini diarahkan pada dataran
tinggi dengan ketinggian > 800 m di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu
sekitar 22-24 oC. Apabila gandum dibudidayakan di dataran tinggi maka akan
bersaing dengan komoditas sayuran dan tanaman hortikultura.
Terbatasnya jumlah varietas gandum
yang mampu beradaptasi dengan baik di dataran tinggi Indonesia juga merupakan
kendala dalam usaha produksi gandum sehingga upaya untuk menghasilkan varietas
gandum masih diperlukan. Sejauh ini, Indonesia telah memiliki tiga varietas
gandum yang mampu beradaptasi baik di dataran tinggi wilayah tropis yaitu Nias,
Dewata dan Selayar serta baru dirilis tiga varietas yaitu Guri-1, Guri-2 dan
Ganosha.
Perbaikan sifat agronomi gandum
dapat dilakukan dengan berbagai metode pemuliaan tanaman seperti induksi
mutasi, persilangan dan rekayasa genetik. Metode mutasi induksi dapat
menggunakan mutagen fisika seperti radiasi sinar gamma, fast neutron dan ion
beam, atau mutagen kimia antara lain dengan ethyl methane sulfonate (EMS).
Penelitian pemuliaan mutasi pada tanaman pertanian umumnya menggunakan iradiasi
sinar gamma karena iradiasi sinar gamma memiliki daya tembus yang lebih dalam
pada target sel dari material tanaman yang diinduksi (IAEA, 2003). Menurut
Syukur et al. (2010), perbaikan karakter melalui program pemuliaan tanaman
membutuhkan banyak informasi antara lain tentang keragaman genetik dan
heritabilitas.
Nilai duga heritabilitas suatu
karakter perlu diketahui untuk menentukan apakah karakter tersebut lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan (Yunianti et al., 2010). Nilai
heritabilitas yang tinggi berarti faktor keragaman genetik berperan penting
dalam penampilan fenotipe pada tanaman (Ishak, 2012). Menurut Sabu et al.
(2009) nilai heritabilitas yang tinggi ini memberikan arti bahwa faktor genetik
memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya.
Mohibullah et al. (2011) melaporkan
bahwa pada 100 aksesi gandum yang mereka teliti terdapat keragaman pada
karakter jumlah spikelet per malai, bobot biji per tanaman dan produksi per
hektar. Baloch et al. (2013) dan Kumar et al. (2014) juga melaporkan bahwa
terdapat keragaman untuk karakter umur panen, umur berbunga, panjang daun
bendera, jumlah anakan, tinggi tanaman, panjang malai, bobot biji per tanaman
dan indeks panen.
Menurut Zecevic et al. (2010) bobot
biji per malai merupakan karakter komponen hasil yang sangat penting karena
memiliki pengaruh langsung terhadap indeks panen dan hasil. Nur et al. (2012)
menambahkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen,
panjang malai, jumlah spikelet, luas daun, kerapatan stomata, klorofil a dan
ketebalan daun lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor
lingkungan.
Hasil penelitian gandum telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain Baloch et al. (2013) menunjukkan
nilai heritabilitas tertinggi pada kerakter tinggi tanaman, jumlah anakan,
panjang malai, jumlah spikelet per malai, jumlah biji per malai dan bobot biji
per tanaman. Laghari et al. (2010) melaporkan heritabilitas tinggi terdapat
pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, jumlah biji per malai dan bobot
biji per malai. Khan dan Naqvi (2011) melaporkan heritabilitas tertinggi pada
kondisi irigasi kontrol terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet,
panjang malai dan jumlah biji.
Menurut Bahar dan Zen (1993),
karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, ragam genetik tinggi, pada
umumnya akan memiliki nilai KKG tinggi untuk masing-masing karakter. KKG
digunakan untuk mengukur keragaman genetik suatu sifat tertentu dan untuk
membandingkan keragaman genetik berbagai sifat tanaman. Tinggi nilai KKG
menunjukkan peluang terhadap usahausaha perbaikan yang efektif melalui seleksi.
Berdasarkan pada nilai parameter genetik tersebut dapat dilakukan seleksi
terhadap karakter kuantitatif tanpa mengabaikan nilai tengah populasi yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Galur mutan putatif gandum
mempunyai keragaan yang berbeda dalam hal karakter tinggi tanaman, umur
berbunga, persentase floret hampa, jumlah biji per malai, bobot biji per malai
dan bobot biji per tanaman. Karakterkarakter pada populasi galur mutan putatif
gandum generasi M5 memiliki kisaran yang beragam dan cukup tinggi. Nilai
heritabilitas tinggi terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur
berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret hampa,
jumlah biji per malai, bobot biji per malai dan bobot biji per tanaman.
Berdasarkan bobot biji per tanaman dan persentase floret hampa diperoleh 30
galur mutan putatif potensial dengan kisaran potensi hasil 17.11-33.15 g per
tanaman dan persentase floret hampa 1.38-16.38 %.
Tomat (Solanum lycopersicum L.)
merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia. Tomat dapat
dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun olahan, contohnya sebagai pewarna makanan,
bahan kosmetika dan obat-obatan. Budidaya tanaman tomat umumnya adaptif pada
dataran tinggi, namun belakangan ini areal penanaman tomat dataran tinggi
terbatas karena terjadi persaingan penanaman komoditas pertanian lain dan
banyaknya daerah konservasi yang terletak di dataran tinggi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan perluasan areal tanam tomat ke daerah dataran menengah dan
rendah (Purwati, 2007).
Perluasan areal tanam ke dataran
rendah menyebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan sehingga varietas yang
dikembangkan tidak berproduksi optimum. Purwati (2007) menyatakan dataran
tinggi mampu menghasilkan produksi tomat sebesar 26.60 ton ha-1, sedangkan
potensi produksi tomat dataran rendah masih sangat rendah yaitu 0.25 kg
tanaman-1 atau setara dengan 6 ton ha-1. Hasil tomat hibrida adaptif dataran
rendah hingga tinggi yang ditanam di dataran medium (550 m dpl) menurut Purwati
(2009) hanya menghasilkan 1.95 kg tanaman-1 dari potensi hasil 3 kg tanaman-1,
dengan kata lain telah terjadi penurunan hasil sebesar 35%. Surmaini et al.
(2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya
produksi di dataran rendah adalah suhu. Perbedaan suhu dapat mengakibatkan
perbedaan respons tanaman, dimana peningkatan suhu menyebabkan peningkatan transpirasi
tanaman sehingga terjadi penurunan produktivitas tanaman, peningkatan konsumsi
air, waktu pematangan buah atau biji yang singkat, penurunan mutu hasil, dan
pendorong berkembangnya hama penyakit tanaman. Oleh karena itu, usaha pemuliaan
tomat unggul dataran rendah perlu dilakukan.
Salah satu tahapan yang harus
dilakukan untuk mengembangkan tomat dataran rendah adalah menguji genotipe
unggul dataran rendah di beberapa lokasi. Pengujian di beberapa lokasi perlu
dilakukan untuk mengetahui respons genotipe pada lingkungan dengan tipe tanah,
ketinggian, suhu, lintang, iklim dan musim yang berbeda. Dari hasil pengujian
stabilitas hasil dapat ditentukan genotipe tertentu pada kondisi lingkungan
yang berbeda dapat beradaptasi secara luas atau spesifik lokasi (Suryati et
al., 2008). Pengembangan genotipe unggul spesifik lokasi dapat diarahkan untuk
mendapatkan varietas spesifik lingkungan, sementara varietas yang unggul di
semua lingkungan dapat dilepas menjadi varietas yang mampu beradaptasi luas
(Nusifera dan Agung, 2008; Ganefianti et al., 2009).
Analisis ragam gabungan di beberapa
lokasi akan menunjukkan informasi ada atau tidaknya interaksi yang terjadi
antara genotipe dengan lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan (GxE)
diperlukan pemulia untuk membantu proses identifikasi genotipe unggul. Analisis
stabilitas dapat dilakukan apabila terdapat interaksi GxE untuk menunjukkan
kestabilan suatu genotipe apabila ditanam pada lingkungan yang berubah atau
berbeda (Syukur et al., 2012).
Analisis stabilitas dapat dilakukan
menggunakan metode AMMI (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). AMMI sangat efektif
menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan dengan keakuratan dugaan
respons interaksi genotipe x lingkungan yang tinggi. Analisis AMMI melalui
visualisasi biplot mampu menginterpretasikan data uji multilokasi dengan
menunjukkan interaksi galur dengan lokasi sehingga terbentuk pola sebaran
titiktitik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lokasi dimana hasil
penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan
komponen lokasi secara simultan (Sujiprihati et al., 2006). Biplot AMMI
kemudian meringkas pola hubungan antara galur, antara lingkungan, dan antara
keduanya sehingga dihasilkan nilai AMMI1 dan rataan. Biplot antara nilai AMMI2
dan nilai AMMI1 bisa ditambahkan jika AMMI2 nyata. Dalam visualisasi biplot,
genotipe dapat dikatakan stabil apabila berada dekat dengan sumbu dan genotipe
yang berada jauh dari sumbu namun dekat dengan garis lokasi digolongkan
genotipe yang spesifik lokasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2000; Ganefianti et
al., 2009). AMMI juga telah digunakan untuk melihat kestabilan beberapa
komoditas lain seperti cabai (Ganefianti et al., 2009), jagung (Sujiprihati et
al., 2006) dan bengkuang (Nusifera dan Agung, 2008). Penelitian ini bertujuan
untuk menduga pengaruh genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lingkungan
terhadap komponen hasil dan hasil buah per tanaman serta untuk melihat
kestabilan hasil dari 14 genotipe tomat pada empat lokasi dataran rendah
menggunakan analisis AMMI.
Interakasi genotipe x lokasi juga
menunjukkan pengaruh yang sangat nyata untuk semua karakter sehingga analisis
AMMI dapat dilakukan (Sujiprihati et al., 2006). Adanya interaksi GxE pada
bobot buah per tanaman menunjukkan genotipe dengan potensi hasil yang tinggi
pada lokasi tertentu belum tentu hasilnya akan tetap tinggi pada lokasi lainnya
dengan kata lain keragaan suatu genotipe secara nyata dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan yang beragam (Ambarwati dan Yudono, 2003; Lestari et al., 2010;
Kusmana, 2005; Sujiprihati et al., 2006; Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
Stabilitas suatu genotipe merupakan kemampuan genotipe tersebut untuk hidup
pada berbagai lingkungan yang berbeda dan fenotipenya tidak mengalami banyak
perubahan di tiap-tiap lokasi percobaan (Syukur et al. 2012).
KESIMPULAN
Karakter bobot per buah, diameter
buah, jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman memiliki interaksi
genotipe x lingkungan yang sangat nyata. Keragaman karena pengaruh interaksi
berdasarkan model AMMI2 sebesar 88.50%. Genotipe IPBT3, IPBT33, IPBT34, IPBT60
dan Intan dikatagorikan stabil pada empat lingkungan.
Jeruk merupakan komoditas buah yang
paling banyak diimpor di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal
Hortikultura (2013) nilai impor jeruk Indonesia mencapai US $ 227,300,473.
Jeruk impor lebih diminati konsumen karena memiliki kriteria yaitu warna yang
menarik, kulitnya mudah dikupas, rasanya segar dan hampir tidak mempunyai biji
(seedless). Jeruk Siam Simadu merupakan jeruk Siam lokal yang hampir mendekati
kategori tipe jeruk yang sesuai dengan kriteria konsumen dan pasar dunia untuk
dikonsumsi dalam keadaan segar tetapi mempunyai biji yang relatif banyak yaitu
lebih dari 15 biji per buah sehingga kalah bersaing dengan jeruk impor (Husni
et al., 2010).
Perbaikan kualitas jeruk lokal yang
sudah memiliki rasa dan warna yang sesuai dengan kriteria konsumen dan pasar
dapat dilakukan dengan merakit tanaman jeruk lokal tersebut memiliki buah jeruk
seedless. Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour) termasuk dalam kelompok jeruk dengan
jumlah kromosom 2n=2x=18. Menurut Wu dan Mooney (2002), metode yang paling
efektif untuk mendapatkan tanaman jeruk tanpa biji atau triploid (2n=3x=27)
yaitu dengan cara menyilangkan tanaman jeruk tetraploid (2n=4x=36) dengan
tanaman jeruk diploid (2n=2x=18).
Tanaman jeruk tetraploid dapat
dihasilkan dengan perlakuan kolkisin. Menurut Takahira et al. (2011), kolkisin
dapat digunakan untuk menggandakan jumlah kromosom. Ascough et al. (2008)
mengemukakan bahwa kolkisin dapat menghambat pembentukan dan aktivitas
benang-benang spindle pada saat pembelahan sel mitosis serta mencegah inti dan
sel membelah sehingga jumlah kromosom sel mengganda. Menurut Dhooghe et al.
(2011), penggandaan jumlah kromosom menggunakan kolkisin sangat tergantung pada
konsentrasi kolkisin yang diberikan.
Gmitter dan Ling (1991) berhasil
mendapatkan tanaman jeruk tetraploid Orlando Tangelo dengan menggunakan perlakuan
kolkisin 0.1%. Berdasarkan penelitian Zeng et al. (2006), perlakuan kolkisin
0.1% dapat menghasilkan tanaman jeruk tetraploid Frost (Citrus sinensis
Osbeck). Aleza et al. (2009) dapat memperoleh tanaman jeruk tetraploid varietas
Clemenules dengan pemberian kolkisin 0.1%.
Damayanti dan Mariska (2003)
menyatakan bahwa pemberian kolkisin dapat mengakibatkan penundaan pertumbuhan
akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu lama untuk tumbuh. Menurut
Suryo (2007) pembelahan sel menjadi lambat disebabkan jumlah kromosom yang
mengganda.
Identifikasi tingkat ploidi dapat
dilakukan dengan analisis stomata. Teknik ini cepat, murah, tidak merusak,
tidak memerlukan peralatan yang canggih, dan memiliki akurasi yang cukup
tinggihingga 90% (Cohen dan Yao, 1996). Menurut Rego et al. (2011), metode
penghitungan jumlah kloroplas dalam sel penjaga adalah cara yang efektif dan
cepat untuk menentukan tingkat ploidi. Jumlah kloroplas dalam sel penjaga dapat
mengidentifikasi tanaman diploid dan tetraploid. Gu et al. (2005) dan Yu et al.
(2009) juga telah meneliti tingkat ploidi berdasarkan jumlah kloroplas.
Lozykowska (2003) menyatakan bahwa
ukuran panjang stomata berhubungan dengan jumlah kloroplas pada sel penjaga.
Peningkatan jumlah kloroplas pada sel penjaga mengakibatkan ukuran stomata
menjadi lebih besar. Hasil penelitian Tang et al. (2011), tanaman diploid
memiliki ukuran stomata yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tetraploid
turunannya.
KESIMPULAN
Nilai LD50 diperoleh pada
konsentrasi kolkisin sebesar 0.2%. Induksi tetraploid menggunakan kolkisin
dapat menurunkan pertumbuhan tunas jeruk Siam Simadu, tunas yang diberi
perlakuan kolkisin menghasilkan pertambahan tinggi, jumlah daun, jumlah buku,
jumlah akar, dan panjang akar yang lebih rendah dibandingkan dengan tunas
kontrol (kolkisin 0%). Daun tunas pucuk yang diberikan perlakuan kolkisin lebih
tebal dibandingkan dengan daun tunas pucuk kontrol. Tunas yang diberikan
perlakuan kolkisin 0.1% memiliki jumlah
kloroplas dua kali lebih banyak daripada jumlah kloroplas tunas kontrol, ukuran
stomata yang lebih besar dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan
dengan tunas kontrol.