Tithonia diversifolia disebut juga
sebagai tree marigold, bunga matahari Mexico atau kembang bulan. Awalnya T.
diversifolia dikenal sebagai tumbuhan liar yang sangat agresif membentuk koloni
sehingga menjadi gulma bagi tanaman budidaya (Chukwuka et al., 2007a) tetapi
kemudian diketahui bahwa T. diversifolia dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau
(Opala et al., 2009; Crespo et al., 2011). Daun T. diversifolia kering
mengandung 3.5-4.0% N, 0.35-0.38% P, 3.5-4.1% K, 0.59% Ca, dan 0.27% Mg
sehingga hijauan T. diversifolia berpotensi sebagai sumber hara N, P, K bagi
tanaman (Hartatik, 2007). Pemanfaatan T. diversifolia sebagai sumber hara
selain berupa pupukhijau segar atau pupuk hijau cair dapat pula berupa kompos
(Muhsanati et al., 2008; Hakim et al., 2012) dan mulsa (Liasu dan Achakzai,
2007; Adeniyan et al., 2008). T. diversifolia juga bermanfaat untuk
meningkatkan kesuburan tanah (Oelbermann et al., 2012; Ojeniyi et al., 2012),
sebagai pestisida nabati (Oyedokun et al., 2011; Akpheokhai et al., 2012) dan
farm asi (Chagas-Paula et al., 2012). Hasil analisis fitokimia biomassa T.
diversifolia menunjukkan bahwa tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai tanaman
obat, karena mengandung senyawa kimia saponin, alkaloid, tanin, flavonoid,
steroid dan glikosida yang berperan penting dalam pengobatan. Hal ini juga
membuktikan pemanfaatan daun T. diversifolia dalam pengobatan tradisional untuk
berbagai macam penyakit (Essiett dan Uriah, 2013) dan dalam pengobatan herbal
(Essiett dan Akpan, 2013).
Potensi T. diversifolia sebagai
pupuk hijau dan sebagai pestisida nabati menjadi pertimbangan untuk
membudidayakannya. Selama ini biomassa T. diversifolia diperoleh dari tanaman
yang tumbuh secara liar di tepi lahan pertanian, di lereng-lereng tebing dan di
tepi-tepi jalan raya. Jika T. diversifolia dibudidayakan pada lokasi yang
berdekatan dengan tempat budidaya tanaman lain, diharapkan bahwa tajuknya dapat
dipanen secara berkala sehingga dapat digunakan sebagai sumber hara jangka panjang
terutama dalam sistem pertanian organik.
Kelebihan lain dari biomassa T.
diversifolia adalah mempunyai kadar unsur K lebih tinggi daripada Centrosema
pubescens dan Calopogonium mucunoides. Percobaan yang dilakukan oleh Barus
(2005) menunjukkan bahwa daun C. mucunoides mengandung 2.47% N, 0.23% P, 0.75%
K sedangkan daun C. pubescens mengandung 3.49%, 0.36% P, 1.05% K. Hasil
percobaan Kurniansyah (2010) menunjukkan bahwa kandungan daun T. diversifolia
adalah 3.06% N, 0.25% P, dan 5.75% K dan menyebabkan intensitas serangan hama
dan pathogen yang lebih rendah serta produksi kedelai yang lebih tinggi pada
tanaman yang mendapat T. diversifolia dibandingkan yang mendapat C. pubescens.
Percobaan ini juga memperlihatkan bahwa, dengan jumlah yang sama, waktu yang
dibutuhkan untuk dekomposisi tajuk T. diversifolia lebih singkat daripada untuk
C. pubescens.
Berdasarkan manfaat T. diversifolia
sebagai sumber hara, maka perlu dilakukan kajian untuk budidaya tanaman ini.
Penanaman T. diversifolia pertama kali memerlukan input berupa pupuk organik
jika biomassa tanaman ini akan digunakan dalam sistem pertanian organik. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemberian bahan organik pada awal budidayanya karena
transfer unsur hara berkelanjutan dalam periode yang panjang tidak akan
tercukupi dari produksi biomassa T. diversifolia yang rendah (Jama et al.,
2000).
Pupuk kandang merupakan satu jenis
bahan organik yang umumnya digunakan dalam budidaya pertanian dengan tujuan
untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk kandang ayam
memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk kandang sapi dan pupuk kandang
kambing karena kandungan unsur haranya relatif lebih tinggi dan kadar air lebih
rendah sehingga aplikasi pupuk kandang ayam dalam unit yang sama dengan pupuk kandang
sapi atau pupuk kandang kambing akan menyumbangkan unsur hara yang lebih tinggi
(Hayati, 2013). Oleh karena itu penggunaan pupuk kandang ayam dalam budidaya
pertanian dapat meningkatkan hasil pertanian (Melati dan Andriyani, 2005;
Sistani et al., 2007; Melati et al., 2008; Laude dan Tambing, 2010).
Pengaturan jarak tanam dimaksudkan
untuk memberi ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman yang dibudidayakan sehingga
mengurangi persaingan antar tanaman. Perbedaan jarak tanam mampu meningkatkan
indeks pertumbuhan fisiologis tanaman (Farahani dan Valadabadi, 2009),
mempengaruhi pertumbuhan diameter batang dan tinggi tanaman (Badi et al.,
2004), meningkatkan evaporasi tanah dan transpirasi tanaman (Chen et al.,
2010). Penggunaan pupuk kandang ayam dan pengaturan jarak tanam merupakan unsur
budidaya yang dapat meningkatkan produksi tanaman kentang (Fatkur et al., 2010)
dan menekan pertumbuhan gulma (Mayadewi, 2007). T. diversifolia memiliki
pertumbuhan yang cepat dengan cabang yang banyak sehingga membutuhkan ruang
tumbuh yang cukup lebar, tetapi belum ditemukan jarak tanam optimum bagi
budidaya T. diversifolia selain dalam bentuk teknik budidaya lorong. Kombinasi
perlakuan pemberian pupuk kandang dan pengaturan jarak tanam diharapkan mampu
meningkatkan pertumbuhan T. diversifolia sehingga dapat dicapai produksi
optimum hijauannya.
KESIMPULAN
Belum diperoleh dosis pupuk kandang
optimum untuk produksi biomassa T. diversifolia. Produksi bobot kering biomassa
T. diversifolia tertinggi dicapai dengan pemberian pupuk kandang 10 ton ha-1
yaitu 1 129.1 kg ha- 1 dengan potensi sumbangan hara setara 123.27 kg urea,
15.36 kg SP-36 dan 106.93 kg KCl. Bobot kering biomassa T. diversifolia
terbanyak pada jarak tanam 50 cm x 50 cm sebesar 897 kg ha-1 dengan potensi
sumbangan hara setara 98.64 kg urea, 23.97 kg SP-36 dan 142.32 kg KCl.
Interaksi terjadi pada LAB tanaman umur 4-8 MST, LAB tertinggi pada perlakuan
dosis pupuk 10 ton ha-1 dan jarak tanam 75 cm x 75 cm yaitu 11.87 g cm-2
hari-1.
Kelapa sawit merupakan salah satu
tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor perkebunan.
Perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Luas perkebunan
kelapa sawit Indonesia pada tahun 2001 sebesar 4.16 juta ha dan pada tahun 2012
seluas 9.1 juta ha dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.98% per tahun.
Produksi CPO Indonesia sepanjang sepuluh tahun terakhir terus mengalami
peningkatan sebesar 1.84% per tahun. Produksi CPO di Indonesia pada tahun 2000
mencapai 7 juta ton dan pada tahun 2012 telah meningkat menjadi 23.5 juta ton
(Ditjenbun, 2013). Produktivitas minyak kelapa sawit yaitu CPO sebesar 4.08 ton
ha-1, sedangkan produktivitas minyak nabati dari kedelai, bunga matahari dan
rapeseed masing-masing sebesar 0.38, 0.60 dan 0.75 ton ha-1 (MPOB, 2011).
Peningkatan luas areal perkebunan
kelapa sawit menyebabkan diperlukannya ketersediaan bibit kelapa sawit dalam
jumlah besar. Bibit kelapa sawit yang baik diperoleh melalui pemeliharaan yang
intensif terutama pemupukan. Pemupukan merupakan faktor penentu utama,
khususnya keseimbangan dosis dan jenis pupuk yang digunakan dan bukan pada
tingkat dosis yang tinggi (Wachjar dan Kadarisman, 2007). Percobaan pemupukan
perlu dilakukan untuk memperoleh dosis pemupukan yang optimum karena biaya
pupuk dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara intensif sekitar 50-70%
dari biaya pemeliharaan dan 5% dari seluruh biaya produksi (Fairhurst et al.,
2006).
Kalsium dan magnesium merupakan
hara makro sekunder. Kalsium berperan sebagai nutrisi tanaman yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan khususnya akar dan tunas (Tuteja dan
Mahajan, 2007). Gejala tanaman yang kekurangan Ca yaitu terhambatnya pertumbuhan
pucuk (titik tumbuh), kemudian pertumbuhan tanaman kerdil dan mati (Baker dan
Pilbean, 2006). Magnesium dibutuhkan dalam aktivitas enzim-enzim dan sebagai
atom pusat dari molekul klorofil. Magnesium mengaktifkan enzim ribulose-
1,5-bisphosphate (RuBP) carboxylase yang penting dalam proses fotosintesis
(Cakmak dan Yazici, 2010; Gransee dan Fuhrs, 2012; Yang et al., 2012). Aplikasi
nitrogen (N) dan potasium (K) dalam tanah tanpa pemberian Mg dapat menyebabkan
defisiensi magnesium (khlorosis). Gejala kahat Mg pada tanaman kelapa sawit
disebut dengan istilah “orange frond” dan pada tingkat kekahatan berat
khlorosis diikuti oleh nekrosis (Oviasogie et al., 2011).
Hal ini berkaitan dengan fungsi
hara Mg sebagai pusat penyusun klorofil (Cakmak dan Kirkby, 2008), sehingga Mg
dikaitkan dengan perkembangan klorofil daun (Hermans et al., 2006). Penurunan
kadar klorofil akan berpengaruh pada kuantitas dan kualitas fotosintat yang
diproduksi oleh tanaman kelapa sawit (Otitoju dan Onwurah, 2010).
KESIMPULAN
Pemberian pupuk kalsium berpengaruh
pada kerapatan stomata. Pemberian pupuk magnesium berpengaruh nyata terhadap
peubah vegetatif dan fisiologi bibit kelapa sawit yaitu kerapatan stomata dan
kandungan klorofil. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pupuk kalsium dan
magnesium pada bibit kelapa sawit. Berdasarkan peubah tinggi tanaman dan
diameter batang maka dosis optimum pupuk magnesium bibit kelapa sawit selama 8
bulan di pembibitan utama adalah 58 g per tanaman. Dosis pupuk Mg tersebut
diaplikasikan setiap bulannya dalam jumlah yang berbeda pada umur 1-8 bulan,
berturut-turut adalah 2.0, 2.0, 8.0, 9.3, 8.8, 9.3, 9.4 dan 9.3 g MgSO4 per
tanaman. Dosis optimum pupuk kalsium tidak dapat ditentukan pada penelitian
ini.
Padi merupakan komponen utama dalam
sistem ketahanan pangan nasional. Sulawesi Selatan sebagai pemasok beras di
kawasan timur Indonesia dan salah satu lumbung pangan nasional, mempunyai lahan
sawah seluas 662,495 ha (Dinas Pertanian Sulsel, 2010). Petani di Sulawesi
Selatan mudah menerima inovasi baru. Berbagai varietas unggul baru (VUB), yaitu
varietas Cisadane, Way Apo Buru, IR42, Memberamo, Cisantana, Ciherang,
Cigeulis, Ciliwung, IR64, Sintanur, IR66, dan Selebes di Sulawesi Selatan
mempunyai penyebaran yang paling luas berkisar 2,825-196,591 ha dalam setiap
musim tanam. Produktivitas rata-rata varietas-varietas tersebut sekitar 4.43
ton ha-1 yang masih lebih rendah dibandingkan produktivitas padi, sebesar 5.25
ton ha-1, di Pulau Jawa. Terjadinya kesenjangan hasil tersebut antara lain
disebabkan tingginya serangan hama dan penyakit pada varietas yang ditanam
petani, akibat perubahan gen pada organisme pengganggu tanaman yang mengarah
pada peningkatan adaptabilitas pada varietas tersebut setelah beberapa kali
penanaman varietas yang sama (Fattah et al., 2010). Oleh karena itu, penggunaan
padi tipe baru (PTB) diharapkan akan berkontribusi dalam meningkatkan
produktivitas padi di Sulawesi Selatan, karena selain potensi daya hasilnya
dapat mencapai 10% lebih tinggi dibandingkan VUB, PTB juga memiliki ketahanan
yang lebih baik terhadap hama dan penyakit (Peng et al., 2008; Dewi dan
Purwoko, 2012).
Penggunaan varietas unggul berdaya
hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan salah
satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi (Abdullah, 2009; Utama et
al., 2009). Berdasarkan laporan penelitian tentang pemuliaan melalui mutasi
diketahui telah banyak diperoleh mutan-mutan yang berumur lebih pendek serta
lebih tahan terhadap kendala biotik-abiotik dibandingkan induk, tetapi masih
tetap dapat mempertahankan karakter unggul seperti daya hasil, rasa, dan
kualitas seperti tanaman induknya (Ahloowalia dan Maluszynski, 2001; Lestari et
al., 2006; Waugh et al., 2006). BATAN Jakarta telah berhasil melepas varietas
unggul padihasil iradiasi, antara lain varietas Atomita 1 tahun 1982, Atomita 2
tahun 1983, Atomita 3 tahun 1990, Atomita 4 tahun 1991, Situgintung tahun 1992,
Cilosari tahun 1996, Woyla dan Meraoke tahun 2001, Kahayan, Winongo, dan Diah
Suci (Soeranto, 2003).
Padi tipe baru adalah modifikasi
tipe tanaman padi yang memiliki kemampuan menghasilkan bahan kering tanaman dan
indeks panen yang tinggi (Peng et al., 2008). PTB tidak berbeda dengan varietas
inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi produksinya lebih
unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung
fotosintesis, pertumbuhan, dan produksi biji. Fatmawati adalah satu-satunya
varietas padi sawah unggul tipe baru yang telah dilepas akhir tahun 2003
(Abdullah et al., 2005). Varietas Fatmawati agak tahan terhadap wereng batang
coklat biotipe 2 dan 3, tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III,
dan agak tahan terhadap strain IV, namun tidak tahan terhadap penyakit blas
yang saat ini sudah mulai menyerang pertanaman padi sawah (Suprihatno et al.,
2011).
Penelitian induksi mutasi dengan
menggunakan sinar gamma pada kisaran 1,000-5,000 rad telah dilakukan pada
varietas Fatmawati untuk mendapatkan varietas PTB yang tetap berumur genjah
namun lebih tahan terhadap kendala biotik-abiotik. Galur-galur mutan
selanjutnya difiksasi melalui teknik kultur antera, sehingga diperoleh 119
galur mutan dihaploid (DH) atau galur murni yang bersifat homozygous. Galur-galur
mutan DH tersebut telah diseleksi berdasarkan karakter agronomi PTB seperti
yang dilakukan oleh Herawati et al. (2010) dan ketahanannya terhadap hama
penyakit (Lestari et al., 2010a). Berdasarkan observasi daya hasil, uji daya
hasil pendahuluan, dan uji daya hasil lanjutan telah diperoleh 7 galur harapan
mutan DH PTB, yaitu BIOMF115, BIO-MF116, BIO-MF125, BIO-MF130, BIOMF133,
BIO-MF151, dan BIO-MF153 yang
mempunyai ketahanan lebih baik terhadap penyakit blas dibandingkan Fatmawati
(Lestari et al., 2013). Galur-galur tersebut perlu diuji daya adaptasi dan
hasilnya di beberapa lokasi untuk mendukung produktivitas padi di Sulawesi
Selatan. Pengujian di berbagai lokasi penting dilakukan karena tanggap genotipe
tidak sama terhadap lingkungan tumbuhnya (Satoto et al., 2009; Aryana, 2009;
Lestari et al., 2010b). Kondisi tersebut menyebabkan perlu pengujian lebih
lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau
varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan tertentu atau ditanam pada
lingkungan yang lebih luas (Cooper et al., 1996; Blanche et al., 2009).
Analisis stabilitas Finlay dan
Wilkinson (1963) merupakan suatu metode pengukuran stabilitas yang didasarkan
pada koefisien regresi (nilai bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan
rata-rata umum semua genotipe yang diuji di semua lingkungan pengujian.
Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu
genotipe. Berdasarkan metode stabilitas Finlay dan Wilkinson, koefisien regresi
setara dengan satu (nilai bi = 1.0) ditetapkan sebagai stabilitas standar.
Peningkatan nilai koefisien regresi (nilai bi > 1) menunjukkan penurunan
dalam kemampuan adaptasi tanaman terhadap lingkungan, sedangkan penurunan
koefisien regresi (nilai bi < 1) menunjukkan peningkatan dalam kemampuan
adaptasi tanaman terhadap lingkungan.
Gabah merupakan komponen hasil yang
terpenting pada tanaman padi, karena itu jumlah gabah isi dan gabah hampa per
malai merupakan karakter agronomi yang pertama kali diseleksi (Dewi et al.,
2009).
Nilai koefisien regresi yang lebih
tinggi atau lebih rendah (bi>1 dan bi<1 1963="" adaptabilitas="" bi="" dan="" dapat="" dari="" dengan="" dibandingkan="" genotipe="" inlay="" lebih="" memiliki="" menunjukkan="" nilai="" pola="" stabil="" suatu="" tersebut="" tetap="" tetapi="" tidak="" tingkat="" wilkinson="" yang="">1 merupakan genotipe yang peka
terhadap perubahan lingkungan dan menurun adaptabilitasnya terhadap lingkungan
tertentu atau beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable)
saja.
Lahan rawa lebak memiliki potensi
besar untuk dikembangkan dalam usaha produksi tanaman pertanian, terutama
menyusutnya lahan subur di Pulau Jawa akibat meningkatnya jumlah penduduk dan
pesatnya pembangunan industri. Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan
seluas 13.3 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Penyebaran yang terluas terdapat di Provinsi Sumatera Selatan yakni mencapai
2.98 juta ha.Namun lahan rawa lebak yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman padi
di Sumsel baru seluas 3.9% dari luasan yang ada (Puslitbangtanak, 2002).
Kendala utama dalam budidaya
tanaman padi di lahan rawa lebak adalah tata air yang masih belum terkendali,
sehingga pada musim hujan seluruh areal tergenang cukup dalam dan dalam waktu
yang cukup lama. Hal ini menyebabkan petani sulit menduga masa tanam padi dan
budidaya tanaman menjadi sulit dikendalikan dengan baik. Genangan air yang
terlalu tinggi selama fase vegetatif akibat banjir dan hujan lebat yang terjadi
setelah bibit dipindahkan ke lapang menghambat pertumbuhan tanaman dan
menyebabkan turunnya produksi padi lebak (Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa, 2008).
Penundaan waktu tanam hingga bibit
berumur 50-90 hari dan pemindahan bibit lebih dari satu kali dapat
menghindarkan tanaman dari ancaman banjir, namun di sisi lain penanaman bibit
terlalu tua mengakibatkan jumlah anakan produktif yang dihasilkan semakin
sedikit (Atman, 2009). Transplanting lebih dari satu kali juga menyebabkan
tanaman membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi, sehingga produksi
menurun.
Penyebab lain rendahnya produksi
padi di lahan rawa lebak adalah petani umumnya menggunakan varietas unggul
nasional seperti IR64, Ciliwung, dan Ciherang meskipun diyakini memiliki
potensi hasil tinggi tetapi umumnya tidak toleran genangan. Penggunaan varietas
unggul secara terus menerus juga menyebabkan sejumlah varietas lokal ”hilang”,
padahal varietas lokal merupakan sumber daya hayati yang memiliki nilai penting
untuk perakitan varietas unggul. Varietas lokal banyak digunakan sebagai donor
gen sifat mutu baik (rasa nasi enak, aromatik), ketahanan terhadap hama dan
penyakit, dan toleran terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, lahan
salin, sulfat masam, dan genangan.
Agar petani bersedia mengadopsi
varietas unggulbaru yang dihasilkan, maka selain adaptif pada kondisi
lingkungan setempat juga harus memiliki karakteristik mutu produk sesuai dengan
preferensi konsumen setempat. Genotipe lokal Payak Selimbuk menjadi pilihan
dalam perakitan varietas ini karena relatif toleran terhadap cekaman rendaman
selama tujuh hari pada fase vegetatif dan fase bibit, sedangkan genotipe lokal
Pegagan, Siam, dan Pelita Rampak memiliki rasa nasi yang diinginkan petani
Sumatera Selatan (Gusmiatun, 2011). Varietas FR13A digunakan sebagai tetua
donor karena diketahui mengandung gen Sub1 yang toleran terhadap peredaman
selama 14 hari (Xu et al., 2006).
Hasil penelitian terhadap
varietas-varietas turunan FR13A menunjukkan bahwa toleransinya terhadap
rendaman masih di bawah FR13A karena lokus-lokus lain pengendali toleransi
terhadap rendaman belum terintrogresikan (Nandi et al., 1997). Dengan demikian,
masih ada peluang untuk memperbaiki toleransi terhadap rendaman menggunakan
sumber genetik ini. Dengan menggabungkan sifat unggul padi lokal dengan sifat
toleran rendaman ke dalam satu varietas, diharapkan dapat dihasilkan varietas
unggul yang toleran rendaman untuk daerah rawa serta disukai petani, sehingga
dapat digunakan untuk mengatasi cekaman terendam tanpa harus memindahkan bibit.
Faktor penting dalam toleransi terhadap perendaman pada padi adalah
kemampuannya memelihara cadangan karbohidrat yang tinggi, terutama setelah
terendam. Demikian juga dengan konsentrasi klorofil yang tinggi selama terendam
merupakan ciri genotipe toleran, karena tanaman dapat melakukan fotosintesis
relatif lebih baik selama terendam dan juga setelah air surut untuk melanjutkan
p rtumbuhan dan pemulihan yang lebih cepat (Das et al., 2005).
KESIMPULAN
Introgresi gen Sub1 ke dalam
genotipe lokal pada generasi BC1F1 (Payak Selimbuk-FR13A dan Pelita Rampak-
FR13A) dapat meningkatkan toleransinya terhadap cekaman rendaman. Meningkatnya
toleransi genotipe lokal terhadap cekaman rendaman selama 14 hari dicerminkan
dari meningkatnya persentase tanaman hidup, penurunan bobot kering yang lebih
rendah pada tanaman BC1F1 dibandingkan tetuanya.
Lahan rawa pasang surut sulfat
masam yang telah mengalami degradasi sering menjadi lahan bongkor. Lahan
terdegradasi tersebut bisa dihindari dengan tetap menjaga muka air tanah agar
kekeringan tidak melewati lapisan pirit dengan cara mengatur pasang dan surut
(Suriadikarta, 2005). Kondisi kekeringan tersebut menjadi awal dari kerusakan
lahan akibat terjadi oksidasi pirit (FeS2), oksidasi tersebut menyebabkan
meningkatnya konsentrasi racun besi (Fe2+) dan senyawa sulfat yang
mengakibatkan pemasaman tanah (Priatmadi, 2008; Alwi et al., 2010; Mawardi dan
Djatmokertonegoro, 2011). Menurut Priatmadi dan Haris (2008), oksidasi yang
terjadi dalam waktu yang lama akan meningkatkan kemasaman lahan. Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan goyahnya kisi-kisi mineral, sehingga melarutkan
logam berat seperti Al, Mn, Zn, dan Cu (Suriadikarta, 2005; Saad et al., 2008).
Lahan sulfat masam dengan kondisi
yang demikian bisa diperbaiki dengan perlakuan lindi, untuk mengurangi
konsentrasi senyawa meracun seperti Fe2+, SO4 2-, H+, dan kemasaman tanah (Noor
et al., 2008; Alwi et al., 2010). Senyawa Fe2+ dikenal sebagai racun besi yang
dapat menyebabkan turunnya hasil padi 30-100%, tergantung tingkat keracunan dan
kesuburan tanahnya (Majerus et al., 2007; Khairullah et al., 2011a).
Produksi padi pada lahan pasang
surut sulfat masam yang tidak terdegradasi yang diberi pupuk lengkap (90 kg N
ha-1+ 60 kg P2O5 ha-1+ 50 kg K2O ha-1) + 1 ton kapur ha-1, memberikan hasil
4.5-5.0 ton ha-1 (Khairullah et al., 2011b), sedangkan pada lahan yang terdegradasi
hasilnya 0.4-1 ton ha-1.
Pada tanaman padi, jumlah anakan
merupakan indikator keragaan tanaman (Herawati et al., 2009). Meningkatnya
jumlah anakan mengindikasikan kondisi lingkungan tumbuh yang baik (Buang, 2009;
Utama et al., 2009; Kairullah et al., 2011b).
KESIMPULAN
Hasil padi pada lahan sulfat masam
terdegradasi di lahan pasang surut dapat ditingkatkan melalui kombinasi
perlakuan lindi dengan olah tanah. Pengolahan tanah sedalam 15 cm, memberikan
pengaruh yang sama baiknya dengan kedalaman 30 cm. Pertumbuhan dan hasil padi
dapat meningkat, akibat menurunnya konsentrasi senyawa meracun dalam tanah,
terutama racun besi dan S-pirit melalui proses pelindian.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)
merupakan bahan pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Umbi
ubi kayu mengandung karbohidrat (termasuk pati) yang digunakan sebagai bahan
pangan, pakan serta bahan baku berbagai industri. Rawan pangan dan kebutuhan
industri berbahan baku pati menyebabkan kebutuhan terhadap ubi kayu
meningkat,karena pati ubi kayu dapat bersaing dengan pati lainnya untuk produksi beberapa industri. Selain itu, sejak
krisis energi tahun 1970, cadangan energi fosil dunia semakin langka yang
mendorong masyarakat dunia mencari pengganti bahan baku energi yang
terbaharukan seperti biofuel. Ubi kayu menjadi salah satu komoditas yang
diharapkan mampu menyediakan bahan baku biofuel tersebut, karena memiliki
kandungan pati yang cukup tinggi. Hasil penelitian Susilawati et al. (2008)
menunjukkan bahwa kadar pati varietas Kasetsart berumur panen 10 bulan di Desa
Gunung Agung Kecamatan Sekampung Udik Lampung mencapai 35.93%.
Upaya pengembangan industri
berbasis ubi kayu dan pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan menuntut
pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas unggul baru yang memiliki beberapa
keunggulan, termasuk berdaya hasil tinggi. Peningkatan potensi hasil dapat
dilakukan apabila tersedia sumber keragaman genetik yang cukup. Ubi kayu
merupakan tanaman yang membiak vegetatif dan hanya berbunga pada ketinggian di
atas 800 m dpl.
Hal ini menyebabkan ubi kayu
memiliki keragaman genetik yang rendah, sehingga perlu dilakukan peningkatan
keragaman genetik. Keragaman genetik dapat diperoleh dari rekombinasi gen,
melalui hibridisasi, rekayasa genetik, atau induksi mutasi.
Induksi mutasi dapat dilakukan
dengan menggunakan mutagen kimia (EMS (ethylene methane sulfonate), NMU
(nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), dan lainlain) atau mutagen fisik
(sinar gamma, sinar X, sinar neutron dan lain-lain). Mutasi dengan iradiasi
pada bagian vegetatif tanaman memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
perlakuan dengan mutagen kimia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya daya serap
jaringan vegetatif tanaman terhadap cairan kimia. Sinar gamma mempunyai energi
iradiasi tinggi, yaitu di atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang
kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang
dilewatinya (Crowder, 2006).
Radiosensitivitas tanaman terhadap
iradiasi sinar gamma dapat diketahui melalui respon fisiologis bahan tanaman
yang diiradiasi, termasuk penentuan dosis yang menyebabkan kematian pada
tanaman yang diiradiasi sebesar 20-50% atau lethal dose (LD20-LD50).
Mutan-mutan yang diinginkan umumnya berada pada selang LD20 dan LD50.
Radiosensitivitas bervariasi tergantung pada spesies dan kultivar tanaman,
kondisi fisiologis dan organ tanaman (Herison et al., 2008, Aisyah et al.,
2009). Dosis optimum iradiasi sinar gamma pada ubi kayu secara in vitro
berkisar antara 12-25 Gy (Owoseni et al., 2006). Dosis iradiasi sinar gamma
yang optimum bervariasi tergantung genotipe tanaman dan organ tanaman yang
diiradiasi. Dosis iradiasi optimum dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman
umumnya berkisar antara LD20 dan LD50 (Indriyati et al., 2011).
Iradiasi sinar gamma yang menembus
inti sel dapat menyebabkan terjadinya mutasi, tetapi tidak bisa diarahkan pada
target tertentu (bersifat acak). Pengaruh mutasi yang bersifat acak terlihat
dari populasi mutan yang tidak memberikan pola perubahan teratur. Keseluruhan
perubahan pada galur mutan diduga terjadi akibat mutasi yang menyebabkan proses
fisiologis yang dikendalikan secara genetik dalam tanaman menjadi tidak normal dan
menimbulkan variasi genetik baru. Tofino et al. (2011) melaporkan bahwa ubi
kayu hasil iradiasi sinar gamma 200 Gy menghasilkan bunga dengan penebalan pada
ovarium tanpa terjadi antesis, menghasilkan bunga hermaprodit, perubahan warna
kulit pada batang, dan luas daun menjadi lebih kecil pada generasi M1.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
disimpulkan bahwa nilai LD20 dan LD50 bervariasi antar genotipe tanaman. Nilai
LD20-LD50genotipe Jame-jame, Ratim, UJ-5, Malang-4, dan Adira-4 berturut-turut
24.94-33.24 Gy, 24.06-29.53 Gy, 18.80-29.50 Gy, 7.53-18.47 Gy, dan 21.81-30.71
Gy. Dosis iradiasi 15 dan 30 Gy, serta posisi setek bagian tengah dapat
meningkatkan keragaman fenotipe karakter bobot umbi ubi kayu. Berdasarkan hasil
iradiasi diperoleh 32 mutan putatif potensial ubi kayu yang memiliki bobot umbi
di atas rataan genotipe asal.
Cabai (Capsicum spp.) diperkenalkan
di Asia dan Afrika pada abad ke-16 oleh pedagang Portugis dan Spanyol melalui
jalur perdagangan dari Amerika Selatan (Djarwaningsih, 2005). Lebih dari 100
spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima diantaranya telah dibudidayakan,
yaitu C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C. baccatum, dan C. pubescens.
Klasifikasi spesies-spesies ini didasarkan pada 1) karakter morfologi, terutama
morfologi bunga, 2) persilangan dapat dilakukan antar spesies, dan 3) biji
hibrida antar spesies fertil. Spesies C. baccatum dan C. pubescens mudah
diidentifikasi dan dibedakan satu dengan yang lainnya, karena terdapat
perbedaan sifat yang jelas pada kedua spesies tersebut; C. baccatum mempunyai
bercak kuning pada petal yang berwarna putih, dan C. pubescens mempunyai petal
ungu dan biji hitam. Spesies C. annuum, C. chinensis dan C. frutescens
mempunyai banyak sifat yang sama, sehingga untuk membedakannya dapat dilakukan
dengan mengamati bunga dan buah dari masing-masing spesies (Pickersgill, 1989).
Rodrigues dan Tam (2010) membedakan spesies C. annuum dan C. frutescens dengan
marker molekuler. Sanatombi dan Sharma (2007) menyatakan bahwa perbanyakan C.
frutescens juga bisa dilakukan melalui stek tunas.
Capsicum annuum L. adalah tumbuhan
berupa terna, biasanya berumur hanya semusim, berbunga tunggal dan mahkota
berwarna putih dan ada yang ungu, bunga dan buah muncul di setiap percabangan,
warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan,
posisi buah menggantung. C. frutescens L. adalah tumbuhan berupa terna, hidup
mencapai 2 atau 3 tahun. Bunga muncul berpasangan di bagian ujung ranting dalam
posisi tegak, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan atau hijau keputihan
dengan bentuk seperti bintang. Buah muncul berpasangan pada setiap ruas, rasa
cenderung sangat pedas, bentuk buah bervariasi mulai dari bulat memanjang atau
setengah kerucut, warna buah setelah masak biasanya merah dengan posisi buah
tegak. Spesies ini kadang-kadang disebut cabai burung (Greenleaf, 1986;
Pickersgill, 1989; Djarwaningsih, 2005).
Capsicum pubescens R.&P. adalah
tumbuhan berupa terna, berbulu lebat, bunga dan buah tunggal atau bergerombol
berjumlah 2-3 bunga pada tiap ruas dengan posisi tegak, mahkota bunga berwarna
ungu dan berbulu. Buah memiliki rasa pedas, berbentuk bulat telur, warna
setelah masak bervariasi dari merah, jingga atau cokelat, posisi buah
menggantung, biji berwarna hitam. C. baccatum L. adalah tumbuhan berupa terna,
memiliki bunga tunggal yang muncul di bagian ujung ranting, posisi bunga tegak
atau menggantung, mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada
tabung mahkota, berbentuk seperti bintang dengan kelopak bunga berbentuk
lonceng. Buah tanaman ini bersifat tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat
memanjang, warna buah intermediet dan buah masak bervariasi yaitu merah,
jingga, kuning, hijau atau cokelat. Buah tumbuh dengan posisi buah tegak atau
menggantung. C. chinense Jacq. ialah tumbuhan berupa terna, bunga menggerombol
berjumlah 3-5 bunga pada tiap ruas, dengan posisi tegak atau merunduk, mahkota
bunga berwarna kuning kehijauan dan berbentuk seperti bintang. Buah muncul
bergerombol mencapai 3-5 buah pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12
cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat
dengan ujung berpapila, kulit buah keriput atau licin dan warna buah masak
bervariasi mulai dari merah, merah jambu, jingga, kuning atau coklat
(Greenleaf, 1986; Pickersgill, 1989; Djarwaningsih, 2005).
Sebagian besar spesies Capsicum
bersifat menyerbuk sendiri (self pollination) tetapi penyerbukan silang (cross
pollination) secara alami dapat pula terjadi dengan bantuan lebah dengan
persentase persilangan berkisar 7.6-36.8% (Greenleaf, 1986). Kim et al. (2009)
melaporkan bahwa penyerbukan silang alami pada tanaman cabai dapat terjadi
dalam jarak 18 m.
Umumnya persilangan antar spesies
cabai bisa dilakukan, karena antar spesies cabai tersebut mempunyai kesamaan
genom yaitu diploid (2n=2x=24) (Wang dan Bosland, 2006). Namun persilangan
tersebut ada yang relatif mudah misalkan antara C. annuum x C. chinense dan C.
frutescens x C. pendulum, dan ada yang sangat sulit untuk persilangan C. annuum
x C. frutescens, C. annuum x C. pubescens dan C. pendulum x C. pubescens
(Greenleaf, 1986).
Hasil penelitian Setiamihardja
(1993), menyatakan bahwa cabai rawit spesies C. frutescens hanya dapat
dijadikan sebagai tetua betina ketika disilangkan dengan C. annuum dalam
kegiatan persilangan buatan dan akan menghasilkan tanaman yang fertil. Nowaczyk
et al. (2006) melakukan persilangan interspesifik (C. frutescens x C. annuum)
dan berhasil dengan tujuan untuk meningkatkan kadar kepedasan (capsaicin),
namun tidak dilakukan pada persilangan resiproknya (C. annuum x C.frutescens).
Dari dua hasil penelitian yang sudah dilakukan tersebut, terlihat bahwa
persilangan interspesifik antara C. frutescens dengan C. annuum akan berhasil
jika C. frutescens hanya dijadikan sebagai tetua betina. Berbeda halnya dengan
hasil penelitian Kumar et al. (2010), yang menyatakan bahwa pada persilangan
interspesifik C. annuum dengan C. chacoense akan mendapatkan benih jika C.
annuum dijadikan sebagai tetua betina. ersilangan antar spesies (interspesifik)
memerlukan waktu yang relatif lama karena sulit dilakukan dan keberhasilanny a
relatif kecil akibat adanya sifat inkompatibiltas dan kegagalan persilangan
yang cukup tinggi serta hasil persilangan antar spesies juga sering menunjukkan
sterilitas yang tinggi (Greenleaf, 1986). Persilangan antar spesies telah
banyak dimanfaatkan baik pada tanaman cabai maupun tanaman lain. Kirana (2006)
melakukan persilangan antar varietas lokal cabai dapat memperbaiki daya hasil
cabai. Anandhi dan Khader (2011) memanfaatkan persilangan antar spesies cabai
untuk melihat ketahanan terhadap virus keriting pada daun cabai. Pada tanaman
selain cabai, seperti pada tanaman lada (Pipper spp.) (Wahyuno et al., 2010),
untuk mendapatkan ketahanan terhadap busuk pangkal batang dengan memanfaatkan
lada liar. Malek (2007) menyilangkan Brasica rapa x B. nigra. Fu et al. (2009)
menyilangkan Oryza sativa dan O. meyeriana. Ackermann et al. (2008)
memanfaatkan persilangan antar spesies pada tanaman Caiophora. Miyashita et al.
(2012) menyilangkan antara Vaccinium corymbosum dan V. virgatum. Persilangan
antar spesies pada tanaman gandum (gandum budidaya x gandum liar) memiliki
keberhasilan yang rendah sekitar 9.1% (Mishina et al., 2009) demikian halnya
pada tanaman sambiloto 13.33% (Valdiani et al.,2012).
KESIMPULAN
Cabai rawit C. frutescens memiliki
kemampuan bersilang yang rendah dan menghasilkan benih F1 yang steril jika
berposisi sebagai tetua jantan. Sebaliknya jika C. frutescens berposisi sebagai
tetua betina memiliki kemampuan bersilang tinggi dan menghasilkan benih F1 yang
fertil. Analisis komponen utama dan analisis gerombol berdasarkan karakter
morfologi menghasilkan dua kelompok cabai rawit. Kelompok I teridentifikasi
sebagai spesies C. frutescens (IPBC288, IPBC295, IPBC163, IPBC289, IPBC294,
IPBC61, IPBC139, IPBC63 dan IPBC285) dan kelompok II sebagai C. annuum
(IPBC287, IPBC293, IPBC145, IPBC160, IPBC292, IPBC133, IPBC284, IPBC8, IPBC291,
IPBC10, IPBC126 dan IPBC174). Berdasarkan hasil analisis daya silang atau
crossability (karakter biologi), analisis komponen utama dan analisis gerombol
(karakter morfologi) didapatkan dua kelompok cabai rawit yaitu spesies C.
annuum dan C. frutescens. Kedua kelompok tersebut secara morfologi mempunyai
perbedaan karakter yaitu warna mahkota (corolla), warna anter, warna bua h
muda, tangkai buah, dan bentuk daun.
Jeruk keprok garut adalah salah
satu jenis jeruk unggulan nasional. SK Menteri Pertanian No. 760 tahun 1999
menetapkan jeruk keprok garut sebagai varietas unggul (Balitbangtan, 1999).
Keprok garut mempunyai rasa asam manis, kulitnya mudah dikupas, warna kulit
hijau kekuningan dan mempunyai biji sekitar 12-15 butir per buah. Saat ini
kriteria buah jeruk yang digemari oleh konsumen dan pasar global adalah buah
jeruk yang mempunyai biji sedikit atau tanpa biji (seedless), mudah dikupas dan
memiliki warna yang menarik. Beberapa kriteria tersebut belum dimiliki oleh
keprok garut sehingga kalah bersaing di pasar global.
Peningkatan kualitas buah jeruk
keprok garut yang telah memiliki karakter unggul dapat dilakukan dengan teknik
pemuliaan mutasi. Aplikasi pemuliaan mutasi dapat dilakukan secara in vitro,
adanya keragaman yang ditimbulkan dan diregenerasi melalui kultur in vitro maka
terbuka peluang untuk mendapatkan genotipe baru yang unggul (Hutami et al.,
2006). Teknologi kultur jaringan yang dapat dikombinasikan untuk mengoptimalkan
hasil yaitu metode embryogenesis somatik. Proses embrio somatik dimulai dengan
terbentuknya sel-sel embriogenik berukuran kecil dengan isi sitoplasma yang
penuh, nukleus yang membesar, vakuola yang kecil dan kaya akan butir-butir pati
yang padat, kemudian sel-sel tersebut berubah menjadi preembrio yang berkembang
menjadi fase globular, jantung dan kotiledon, dan ciri struktur bipolar yaitu
memiliki dua calon meristem (akar dan tunas) (Husni et al., 2010).
Aplikasi induksi mutasi dengan
menggunakan iradiasi sinar Gamma telah banyak dilakukan seperti pada tanaman
anggrek Spathoglottis plicata Blume (Romeida et al., 2012) dan bunga anyelir
(Aisyah, 2009) yang berhasil menginduksi perubahan pada warna bunga. Aplikasi
iradiasi sinar gamma pada Jeruk Mandarin Kinnow varietas lokal di Pakistan
menghasilkan jeruk tanpa biji (Altaf et al., 2004).
Peningkatan kualitas dapat
dilakukan melalui kombinasi pemuliaan mutasi dan teknik kultur jaringan yaitu
eksplan diberikan perlakuan mutasi fisik berupa iradiasi sinar gamma dan
diregenerasi menjadi tanaman baru dengan bantuan teknologi kultur jaringan.
Regenerasi kalus hasil iradiasi
sinar gamma dalam media pendewasaan merupakan tahap yang paling sulit.
Dibutuhkan media yang tepat dan optimal untuk meregenerasikan kalus embriogenik
menjadi tanaman. Kalus hasil iradiasi diregenerasikan dalam media
pendewasaan.Kalus embriogenik yang terdiri dari 100 proembrio per clumps ditanam dalam media pendewasaan dan
mulai mengalami perubahan pada minggu ke-3 setelah tanam. Perubahan awal yang
terjadi adalah membesarnya sel-sel proembrio membentuk globular yang
selanjutnya berubah menjadi seperti jantung, torpedo dan kotiledon. Perubahan
ini terjadi secara bertahap.
Berdasarkan beberapa penelitian
pada jeruk keprok batu (Merigo, 2011), jeruk siam (Husni et al., 2010), nenas
simadu (Purnamaningsih et al., 2009), kelapa sawit (Sumaryono et al., 2008),
ABA banyak berperan untuk mematangkan embrio dalam meningkatkan perkembangan
embrio sehingga mampu berdiferensiasi menjadi embrio dewasa.
KESIMPULAN
Lethal dose (LD50) kalus
embriogenik jeruk keprok garut adalah 75.31 Gy. Tahap regenerasi kalus
menghasilkan 887 embrio somatik dengan 31.76% mampu berkecambah dan 5.19% mampu
beregenerasi menjadi 46 planlet. Iradiasi gamma pada dosis 70 Gy menghasilkan
populasi planlet dengan keragaman yang luas. Pengamatan kualitatif secara visual
pada populasi planlet yang dihasilkan terpilih 9 planlet dengan karakter
beragam dan diperoleh keragaman planlet berdasarkan penanda morfologi sebesar
0-58%.
Karakterisasi Anggrek Alam secara Morfologi dalam Rangka Pelestarian
Plasma Nutfah
Famili Orchidaceae adalah salah
satu famili tanaman berbunga yang memiliki keragaman spesies yang tinggi dan
telah menghasilkan berbagai pola diferensiasi genetik antara populasi (Niknejad
et al., 2009). Indonesia memiliki kekayaan ragam spesies anggrek yang sangat
penting untuk dilestarikan karena spesies-spesies tersebut semakin mendekati
kepunahan. Berbagai spesies perlu diteliti kekerabatannya dalam rangka
mendukung program pemuliaan tanaman. Keunggulan tanaman anggrek ditentukan oleh
warna, ukuran, bentuk, susunan, jumlah kuntum bunga per tangkai, panjang
tangkai dan daya tahan kesegaran bunga (Widiastoety et al., 2010).
Areal hutan di Jawa sudah banyak
yang terkonversi menjadi pemukiman atau perkebunan sehingga populasi anggrek di
alam mulai terancam. Selain itu para pedagang anggrek alam yang secara ilegal
memanen di alam tanpa ada usaha untuk membudidayakannya, turut memacu penurunan
jumlah populasi anggrek alam (Puspitaningtyas, 2005).
Program pemuliaan tanaman
memerlukan informasi tentang keragaman dan klasifikasi yang dapat menunjukkan
tingkat dan hubungan antara kultivar sebagai dasar untuk seleksi (Nandariyah,
2010). Xue et al. (2010); Yulia dan Russeani (2008) menyatakan bahwa semakin
jauh hubungan kekerabatan suatu spesies tanaman, maka semakin sulit untuk
disilangkan. Penentuan hubungan kekerabatan dapat dilakukan secara fenotipik
dan genotipik. Hubungan kekerabatan secara fenotipik dilakukan berdasarkan
pengamatan morfologi.
Karakterisasi morfologi anggrek
alam diperlukan untuk pelestarian plasma nutfah anggrek di Indonesia serta
menyeleksi ragam plasma nutfah anggrek alam yang memiliki sifat-sifat unggul
untuk dijadikan tetua dalam hibidisasi/persilangan. Identifikasi morfologi
adalah proses yang digunakan untuk mengetahui karakter fenotip dari suatu
tanaman. Menurut Susantidiana et al. (2009), identifikasi morfologi suatu
tanaman dilakukan dengan mengamati daun, batang, bunga, buah, akar dan lain
sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman. Purwantoro et al. (2005)
menyatakan bahwa identifikasi morfologi juga merupakan salah satu cara untuk
mengetahui hubungan kekerabatan suatu spesies.
Anggrek alam asal Jawa jumlahnya
masih terbatas dan belum banyak teridentifikasi, sehingga perlu dilakukan
penelitian pada beberapa spesies dari genus Paphiopedilum, Coelogyne,
Dendrobium, Bulbophyllum. Kedekatan hubungan kekerabatan genetik antar tetua
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan persilangan.
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tetua yang
mempunyai kedekatan genetik dengan melakukan karakterisasi anggrek secara
morfologi.
Bermawie (2005) menyatakan bahwa
karakterisasi merupakan suatu kegiatan dalam konservasi plasma nutfah untuk
mengetahui sifat morfologi yang dapat dimanfaatkan dalam membedakan antar
aksesi, menilai besarnya keragaman genetik, mengindentifikasi varietas menilai
jumlah aksesi dan sebagainya.
KESIMPULAN
Hasil dendrogram berdasarkan matrik
kemiripan 52% diperoleh dua kelompok besar, masing-masing dalam satu kelompok
maupun sub kelompok yang dapat dijadikan tetua sebagai bahan persilangan yaitu
kelompok I : Paphiopedilum glaucophylum, P. javanicum, P. purpurascens,
Coelogyne spesiosa, C. flexuosa, Dendrobium mutabile, Bulbophyllum blumei dan
B. biflorum. Yang terbagi sub kelompok I: Paphiopedilum glaucophylum, P.
javanicum, P. purpurascens, sub kelompok II : C. spesiosa, C. flexuosa, sub
kelompok III Dendrobium mutabile, sub kelompok IV Bulbophyllum blumei dan B.
biflorum. Kelompok II: C. tomentosa, C. trinervis, Bulbophyllum flavescens, dan
Dendrobium crumenatum. Yang terbagi menjadi dua subkelompok yaitu sub kelompok
I : Coelogyne tomentosa, dan C.trinervis sub kelompok II Bulbophyllum
flavescens, dan Dendrobium crumenatum.
Indonesia merupakan produsen kelapa
sawit terbesar di dunia dengan total produksi 24 juta ton minyak sawit mentah
pada tahun 2011 yang setara dengan 52% dari total produksi dunia. Total area
untuk pertanaman kelapa sawit di Indonesia mencapai 9.1 juta hektar dengan
nilai ekspor sebesar 19.6 juta ton minyak mentah (Indonesian Sustainable Palm
Oil Commission, 2012) atau setara USD 16.1 juta. Minyak kelapa sawit terutama
digunakan untuk minyak sayur pada industri pangan yang diantaranya sebagai
minyak goreng, margarin, mentega, dan sebagian kecil untuk industri non pangan
(Pande et al., 2012).
Usaha perbaikan karakter penting
tanaman kelapa sawit terus dilakukan salah satunya melalui program pemuliaan
dengan metode Reciprocal Recurrent Selection (RRS) (Bakoume et al., 2010) atau
program seleksi berulang. Akan tetapi pada kenyataannya program seleksi setiap
generasi ini mengakibatkan penurunan dasar genetik pada populasi kelapa sawit
sehingga menyisakan sumber gen yang memiliki kekerabatan yang semakin dekat.
Konsorsium perusahaan kelapa sawit nasional telah melakukan eksplorasi kelapa
sawit ke negara Kamerun dan Angola, Afrika. Hal ini disebabkan adanya keperluan
mendesak untuk memperluas dasar genetik kelapa sawit untuk mendapatkan
karakter-karakter penting seperti kemampuan adaptasi pada lingkungan khusus,
pertumbuhan vegetatif yang lambat, tangkai buah yang panjang, betakaroten
tinggi, nilai iodine dan ketahanan terhadap penyakit seperti Ganoderma (Tasma
et al., 2013; Ajambang et al., 2012). Angola adalah salah satu negara asal
kelapa sawit di Afrika diantara beberapa negara di sepanjang Laut Atlantik
Selatan (Corley dan Tinker, 2003). Oleh karena itu, Angola digunakan sebagai
salah satu tujuan eksplorasi.
Keberlanjutan produksi dan suplai
produk kelapa sawit dunia perlu dipertahankan dengan pemuliaan yang lebih
intensif melalui studi keragaman genetik untuk menjamin bahwa bahan tanam
dengan produktivitas tinggi tersedia untuk dibudidayakan. Pemahaman mengenai keragaman
genetik dan hubungan dengan materi plasma nutfah kelapa sawit sangat penting
dalam menyeleksi materi bahan tanam unggul. Plasma nutfah merupakan sumber gen
baru yang harus dialokasikan sebagai materi pemuliaan yang sangat menjanjikan.
Ketersediaan keragaman genetik dalam plasma nutfah sangat membantu meningkatkan
efisiensi kegiatan pemuliaan yang mampu menghasilkan capaian seleksi yang
diharapkan.
Keragaman genetik berbasis
informasi agromorfologis untuk mengevaluasi keragaman genotipik, saat ini dirasakan
sudah tidak memadai lagi. Oleh sebab itu aplikasi marka molekuler sudah menjadi
satu keharusan untuk meningkatkan efisiensi dalam menganalisis kekerabatan,
pemetaan gen, dan marker-assisted selection (MAS) pada tanaman-tanaman pangan
seperti padi (Susanto et al., 2008), jagung (Vigouroux et al., 2005), tanaman
perkebunan seperti kelapa sawit (Billotte et al., 2005; Billotte et al., 2010;
Marhalil et al., 2013;), serta tanaman kehutanan dan hortikultura (Benor et
al., 2008; Fofana et al., 2009).
Simple Sequence Repeat (SSR)
populer digunakan sebagai marka molekuler karena bersifat kodominan. Lokus
mikrosatelit juga bersifat spesifik (satu lokus setiap pasangan primer) dengan
kandungan informasi polimorfik yang cukup tinggi (Li et al., 2002). Analisis
keragaman genetik pada aksesi plasma nutfah kelapa sawit telah dilakukan
menggunakan marka SSR (Singh et al., 2008; Zaki et al., 2010; Zaki et al.,
2012; Arias et al., 2012; Tasma dan Arumsari, 2013).
KESIMPULAN
Penelitian ini berhasil
mengidentifikasi tingginya tingkat keragaman genetik individu-individu plasma
nutfah kelapa sawit asal Angola. Persentase lokus polimorfik sebesar 100% dan
nilai PIC sebesar 0.55 pada 136 individu plasma nutfah kelapa sawit asal
Angola. Keragaman genetik berdasarkan lokus yang dianalisis menunjukkan
individu cenderung tersebar pada analisis klaster. Pengelompokan individu tidak
berdasarkan pada daerah distribusi spasial. Penyebaran individu tersebut
menunjukkan terdapatnya satu struktur populasi yang tidak dibatasi oleh daerah
dimana aksesi dikoleksi dan mengindikasikan tingginya pertukaran genetik antar
individu pada saat persilangan dan juga dapat didukung oleh migrasi materi
genetik melalui persebaran biji.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) adalah salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam
perekonomian Indonesia terutama sebagai penghasil devisa negara. Kelapa sawit
tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga bahan baku industri,
farmasi dan bahan bakar nabati atau biodiesel (Palupi dan Dediwiryanto, 2008;
Zulkifli et al., 2010; Murphy, 2014). Produktivitas buah kelapa sawit
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti iklim, tanah, curah hujan, potensi
genetik tanaman dan pemeliharaan tanaman (Adam et al., 2005; Wigena et al.,
2009; Zuraidah et al., 2012). Salah satu faktor yang berperan penting yaitu
pemeliharaan tanaman dalam hal ini pemupukan. Biaya pemupukan berkisar antara
40-60% dari biaya pemeliharan tanaman atau sekitar 30% dari total biaya
produksi (Goh dan Hardter, 2003). Tujuan pemupukan adalah menyediakan hara yang
cukup bagi tanaman (Tarmizi dan Tayeb, 2006; Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanaman kelapa sawit membutuhkan
unsur hara esensial untuk pertumbuhan dan perkembangannya, baik unsur hara
makro maupun mikro. Unsur hara makro utama untuk pertumbuhan dan perkembangan
kelapa sawit adalah nitrogen, fosfor dan kalium (Tarmizi dan Tayeb, 2006).
Unsurunsur hara tersebut dapat diperoleh dari pupuk anorganik yang bersumber
dari Urea, SP-36 dan KCl. Nitrogen berperan dalam memacu pertumbuhan vegetatif
tanaman, penyusun dari banyak senyawa seperti klorofil, asam-asam amino,
protein, asam nukleat dan asam-asam organik serta meningkatkan kualitas daun
(Rubio et al., 2009). Fosfor berperan dalam pembelahan sel, pembentukan buah,
bunga, dan biji, kematangan tanaman, merangsang perkembangan rambut akar,
kualitas hasil tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Goh dan Hardter, 2003;
Boroomand dan Grouh, 2012). Kalium berperan dalam proses fisiologis tanaman
diantaranya sebagai aktivator enzim, pengaturan turgor sel, transpor hara dan
air, meningkatkan daya tahan tanaman, sintesis minyak, jumlah dan ukuran tandan
(Goh dan Hardter, 2003).
Ruhnayat (2007) menyatakan bahwa
pemupukan yang efektif dan efisien dipengaruhi oleh jenis dan dosis pupuk.
Informasi mengenai dosis pupuk tunggal N, P, dan K yang tepat untuk tanaman
kelapa sawit belum menghasilkan umur satu tahun akan bermanfaat untuk
meningkatkan efisiensi dan keefektifan pemupukan perkebunan kelapa sawit di
suatu daerah (Tarmizi dan Tayeb, 2006; Webb, 2009).
Dasar teori dalam penetapan dosis
optimum adalah dengan turunan pertama fungsi kuadratik, fungsi tersebut dapat
mewakili keadaan hara dalam kondisi kahat, cukup dan berlebihan (Webb, 2009;
Amisnaipa et al., 2009). Namun jumlah pelepah daun tidak dapat dipakai sebagai
acuan penentuan dosis optimum karena lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
genetik dibandingkan faktor lingkungan (Adam et al., 2011), sehingga pada
penelitian ini dosis optimum paket pupuk tunggal belum bisa ditentukan.
Corley dan Mook (1972) menyatakan
bahwa aplikasi pupuk N, P dan K mampu meningkatkan berat kering tanaman kelapa
sawit melalui peningkatan luas daun dan laju asimilasi bersih tanaman. Luz et
al. (2006) melaporkan bahwa pemberian pupuk nitrogen meningkatkan dan
mempercepat pertumbuhan bibit tanaman “lady palm” (Rhapis excels). Hasil
penelitian lain menyatakan bahwa pemberian pupuk N, P dan K mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman kelapa sawit baik di pembibitan utama maupun di lapang
(Kasno et al., 2010; Jannah et al., 2012; Uwumarongie et al., 2012; Poleuleng
et al., 2013).
Pemberian pupuk urea meningkatkan
ketersediaan hara N yang menjadi faktor penting dalam pembentukan klorofil.
Korelasi antara kadar klorofil dan kadar N daun nyata positif (0.582) (Tabel
2), yang menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kadar N daun maka kadar klorofil
meningkat yang juga akan meningkatkan fotosintesis. Jumlah klorofil yang tinggi
menandakan bahwa proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik sehingga
tanaman mendapatkan energi untuk pertumbuhannya (Suharno et al., 2007;
Boussadia, 2010; Ai dan Banyo, 2011).
Goh dan Hardter (2003) menyatakan
bahwa fosfor berperan dalam merangsang perkembangan perakaran tanaman kelapa sawit
sehingga mampu meningkatkan penggunaan dan pengangkutan hara tanaman.
KESIMPULAN
Secara umum pemberian paket pupuk
tunggal meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit secara linier pada peubah
tinggi tanaman, lingkar batang, luas daun, kadar klorofil dan kadar P daun; dan
secara kuadratik pada jumlah pelepah daun pada akhir pengamatan. Dosis optimum
paket pemupukan tunggal untuk tanaman kelapa sawit umur satu tahun belum dapat
ditentukan pada rentang dosis paket pupuk tunggal yang digunakan pada penelitian
ini, karena belum tercapainya keseimbangan hara didalam tanaman terutama untuk
hara K sehingga respons pertumbuhan tanaman secara umum masih berpola linier.
Penggunaan varietas unggul baru
(VUB) yang responsif terhadap pemupukan mendorong petani untuk mengaplikasikan
pupuk anorganik dosis tinggi serta tidak mengaplikasikan bahan organik ke dalam
tanah. Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik tanah menurun sehingga
terjadi degradasi kesuburan lahan yang menjadi salah satu faktor pembatas untuk
memperoleh hasil yang tinggi. Pelandaian produktivitas padi di Indonesia diduga
karena menurunnya kesuburan tanah akibat tidak tepatnya penerapan pupuk. Oleh
karena itu, diperlukan teknologi yang dapat membenahi tanah yang telah
mengalami kemunduran, meningkatkan kemampuan tanah menjerap unsur hara agar
pemupukan menjadi lebih efisien, mampu menyimpan air lebih banyak, serta
memperbaiki kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pengembalian bahan organik ke lahan
sawah dan aplikasi pupuk hayati merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga dosis pupuk NPK diharapkan dapat
dikurangi dan gangguan kesehatan tanah dapat diatasi. Pupuk organik merupakan
sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK)
sehingga daya jerap kation tanah meningkat dan pupuk anorganik yang diberikan
ke tanah menjadi lebih efisien dibandingkan dengan yang hanya diaplikasikan pupuk
anorganik saja, meningkatkan daya pegang air (water holding capacity), dan
dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti
Al, Fe, dan Mn (Balai Penelitian Tanah, 2009). Pupuk organik dapat berbentuk
padat atau cair dan merupakan sumber energi dan makanan bagi mikroba dan
mesofauna tanah (Hasanuzzaman et al., 2010). Menurut Ali et al. (2012) jika
bahan organik cukup tersedia, aktivitas organisme tanah dapat memperbaiki
ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentukan pori mikro dan makro tanah.
Jerami merupakan bahan organik utama yang paling potensial ketersediaannya di
lahan sawah. Pupuk organik cair (POC) umumnya diaplikasikan secara foliar spray
(melalui tajuk tanaman). Pemberian pupuk organik secara foliar spray diduga
dapat menyediakan hara makro dan mikro lebih cepat dibandingkan aplikasi
melalui tanah yang harus melalui mekanisme jerapan dan proses mineralisasi
(Wijaya, 2013). Pupuk hayati mengandung mikroba yang mampu memacu pertumbuhan
tanaman, menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan sebagai agen hayati
(bio-control) untuk menghambat serta mengendalikan penyakit tanaman (Yasari et
al., 2008). Pembenaman jerami, aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga dosis pupuk
anorganik dapat dikurangi dan kesehatan tanah dapat ditingkatkan. Penggunaan
VUB terus dikembangkan untuk meningkatkan hasil tanaman padi. Akan tetapi, saat
ini potensi genetik daya hasil VUB telah mendekati titik maksimum sehingga
sulit ditingkatkan (Sugiyanta et al, 2008).
Beberapa pemulia tanaman padi mulai
mengembangkan varietas padi tipe baru (PTB) atau padi tipe ideal yang
diharapkan dapat meningkatkan daya hasil padi sawah. Padi tipe baru merupakan
padi unggul yang arsitektur tanamannya dimodifikasi (Susilawati et al., 2010).
Selain VUB dan PTB di beberapa daerah terdapat varietas lainnya, yaitu varietas
unggul lokal (VUL). Menurut Wahyuti et al. (2013) varietas unggul lokal dengan
produktivitas yang rendah tetap berkembang karena memiliki sifat aromatik,
nilai ekonomi tinggi, dan toleran terhadap berbagai cekaman. Hasil penelitian
Sugiyanta et al. (2008) menunjukkan bahwa setelah 3 musim tanam (MT) aplikasi
50% dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1, 50 kg SP-36 ha-1, dan 50 kg KCl
ha-1) dengan pembenaman jerami menghasilkan hasil gabah yang sama dengan
perlakuan 100% dosis pupuk anorganik. Hasil penelitian Xu et al. (2009) yang
dilakukan pada tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa pembenaman jerami sekitar 7.2
ton ha-1 pada MT 1 dan 6.4 ton ha-1 pada MT 2 dapat mengurangi penggunaan dosis
pupuk N hingga 32% dibandingkan dengan perlakuan tanpa pembenaman jerami.
Hasil penelitian selama 6 musim
tanam (2010-2013) pada lahan yang digunakan untuk penelitian menunjukkan bahwa
pengurangan 50% dosis NPK dengan pembenaman jerami, penambahan pupuk hayati,
dan pupuk organik menghasilkan pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil
tanaman padi varietas Ciherang yang tidak berbeda dengan 100% dosis NPK.
Varietas VUB, PTB dan VUL memiliki karakter morfologi, agronomi, maupun
fisiologi yang berbeda satu dengan yang lainnya, dengan perbedaan kondisi hara
tanah sawah yang diberi perlakuan organik dan anorganik menimbulkan dugaan
bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil ketiga varietas padi tersebut.
Kanokkanjana dan Garivait (2013)
menyatakan bahwa aplikasi jerami dan pupuk organik menyediakan hara yang lebih
seimbang untuk tanaman, terutama mengandung unsur hara mikro yang meskipun
diperlukan dalam jumlah sedikit tetapi berperan dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
Menurut Yoshida (1981) arsitektur
kanopi adalah faktor yang menyebabkan perbedaan LTR yang nyata di antara
genotipe tanaman padi. Lu et al. (2010) menambahkan bahwa pengaruh tipe tanaman
terhadap hasil sangat tergantung pada struktur kanopi tanaman. LTR yang tinggi
pada tahap awal pertumbuhan akan meningkatkan kapasitas source yang dapat
memenuhi kebutuhan kapasitas sink, sehingga akan mempengaruhi hasil gabah.
Dekomposisi bahan organik dengan
peran mikroorganisme tanah akan melepas unsur N, P, K, Mg, S dan Si (Sidhu dan
Beri, 2008). Menurut Balai Penelitian Tanah (2009) pembenaman jerami 5 ton ha-1
musim-1 selama 4 musim tanam dapat menyumbang 170 kg K ha-1, 160 kg Mg ha-1,
200 kg Si ha-1, serta 1.7 ton C-organik ha-1. Saha et al. (2013) menambahkan
bahwa aplikasi pupuk organik dengan pupuk anorganik selain dapat menghemat
penggunaan pupuk anorganik, mencegah ketidakseimbangan hara, juga dapat
mengurangi risiko pencemaran lingkungan, meningkatkan kesuburan tanah, serta
meningkatkan hasil padi. Pupuk hayati mengandung mikroorganisme penambat N dan
pelarut P yang dapat meningkatkan ketersediaan N dan P yang dibutuhkan tanaman
untuk tumbuh dan berproduksi. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2013)
menunjukkan bahwa penggunaan mikrob pelarut P (bakteri dan fungsi pelarut P)
dapat mengurangi penggunaan P anorganik hingga 50% serta dapat meningkatkan
hasil gabah dan serapan P pada jerami dan gabah. Menurut Widiyawati et al.
(2014) penggunaan pupuk hayati yang mengandung konsorsium bakteri
Azotobacter-like dan Azospirillum-like dapat mengurangi 25% penggunaan pupuk
nitrogen anorganik dari dosis rekomendasi (100 kg ha-1) tanpa menurunkan hasil.
KESIMPULAN
Pertumbuhan ketiga varietas tidak
berbeda, demikian juga dengan hasil tanaman padi sawah pada perlakuan
pengurangan 50% dosis NPK dengan pembenaman jerami, aplikasi pupuk organik, dan
hayati. Penambahan pupuk organik padat, pupuk organik cair, dan pupuk hayati
pada perlakuan pembenaman jerami+50% dosis NPK tidak diperlukan lagi karena
tidak meningkatkan hasil secara nyata.
Cekaman lingkungan merupakan
tantangan utama dalam memproduksi tanaman secara berkelanjutan. Salah satunya
adalah cekaman kekeringan yang dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Tanaman memberikan respon secara anatomi dan fisiologi, ketika menghadapi
kondisi tercekam sebagai usaha untuk menerima, menghindari dan menetralisir
pengaruh dari cekaman. Respon anatomi dan fisiologi tanaman dalam menghadapi
cekaman kekeringan berbeda-beda tergantung pada genotipe tanaman (Kalefetoglu
dan Ekmekci, 2005).
Akar merupakan organ penting pada
tanaman terutama untuk menyerap air dan unsur hara pada media tanam. Pada saat
kekeringan dapat terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada tanaman terutama
pada akar (Fenta et al., 2014). Tanaman lebih banyak mengembangkan sistem
perakaran dalam menanggapi kekurangan unsur hara dan kekeringan (Lynch dan
Brown, 2012). Kemampuan tanaman untuk mengangkut air ke daun berhubungan dengan
kelangsungan hidup tanaman. Penyediaan air ke daun tergantung pada keberadaan
kolom air pada xilem dari akar ke pucuk (Prihastanti, 2010). Sel-sel akar
mengalami perubahanantara lain dengan meningkatkan atau mengurangi jumlahmaupun
ukuran dalam menghadapi cekaman kekeringan. Akar tanaman kedelai mengalami
pengurangan ukuran diameter stele dan xilem sebagai mekanisme toleransi tanaman
dalam menghadapi cekaman kekeringan (Makbul et al., 2011).
Cekaman kekeringan dapat
menyebabkan terjadinya embolisme pada xilem. Embolisme adalah peristiwa
terbentuknya gelembung-gelembung gas berupa uap air dan kemudian menjadi
gelembung udara yang terperangkap dalam xilem (Sperry dan Tyree, 1988), dan hal
ini akan membatasi aliran air yang melewatinya sehingga dapat menurunkan
kapasitas tanaman untuk mengangkut air menuju kanopi. Embolisme terjadi saat
tegangan air xilem naik pada saat terjadi transpirasi yang tinggi atau kondisi
tanah yang kering. Embolisme dapat menghambat aliran air dalam kolom yang dapat
menyebabkan kematian tajuk, cabang bahkan seluruh tanaman (Tyree et al., 1999).
Cekaman kekeringan juga dapat
menginduksi cekaman oksidatif yang disebabkan oleh adanya aktivitas ROS.
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas yang sangat berbahaya.
Peningkatan ROS menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein dan DNA
(Carvalho, 2008; Sharma et al., 2012). Cekaman oksidatif merupakan suatu
kondisi saat lingkungan seluler mengalami peningkatan produksi Reactive Oxygen
Species akibat overreduksi dari sistem cahaya fotosintesis karena senyawa
reduktan yang tidak termanfaatkan akibat terhambatnya CO2 selama cekaman
kekeringan, cekaman suhu, intensitas cahaya yang tinggi dan polusi (Borsani et
al., 2001). Salah satu komponen seluler utama yang rentan terhadap ROS adalah
lipid. Peroksida lipid merupakan peristiwa auto oksidasi dimana lipid membran
mengalami kelebihan oksigen radikal bebas (superoksida). Peroksidasi lipid
merupakan gejala yang paling jelas dari cekaman oksidatif pada sel dan jaringan
tanaman (El-Beltagi dan Mohamed, 2013).
Malondialdehyde (MDA) merupakan
produk akhir dari peroksida lipid dan keberadaannya bisa menunjukkan tingkat
cekaman oksidatif yang terjadi pada tanaman. Tingkat kerusakan sel akar akibat
peroksida lipid berbeda untuk tiap spesies, bahkan tiap varietas dalam satu
spesies. Varietas jagung yang peka terhadap cekaman kekeringan mengalami
peroksidasi lipid lebih tinggi daripada varietas yang toleran (Valentovic et
al., 2006). Penggunaan PEG (poly-ethylene glycol) untuk simulasi lingkungan
cekaman kekeringan telah banyak dilakukan terutama pada kedelai (Husni et al., 2006;
Widoretno et al., 2002). PEG merupakan bahan yang terbaik untuk mengontrol
potensial air dan tidak dapat diserap tanaman sehingga tidak menyebabkan
keracunan pada tanaman (Verslues et al., 2006). Aplikasi PEG 6000 pada berbagai
percobaan terbukti menyebabkan terjadinya peroksida lipid pada jagung
(Mohammadkhani dan Heidari, 2007), kacang karas atau kekara (Murthy et al.,
2012) dan mentimun (Huai- Fu et al., 2014).
Peningkatan ketebalan korteks yang
terjadi pada SC 39-1 merupakan mekanisme genotipe untuk memperbanyak sel-sel
dalam korteks sebagai upaya untuk menyimpan lebih banyak air. Hal ini terjadi
juga pada genotipe kedelai yang peka terhadap cekaman kekeringan (Makbul et
al., 2011), kopi (Melo et al., 2014) dan jagung (Fraser et al., 1990) yang mengalami
kekeringan. Ketebalan korteks berhubungan dengan kapasitas penyimpanan air pada
akar. Peningkatan jumlah sel yang terdapat dalam korteks meningkatkan toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan (Melo et al., 2014).
Penurunan diameter xilem akar
sebagai respon terhadap kekeringan merupakan mekanisme untuk menghindari
pengaruh embolisme pada xilem (Comas et al., 2013) sebagaimana terjadi pada
padi (Henry et al., 2012), kacang buncis (Pena-Valdivia, 2010), kopi
(Prihastanti, 2010) dan anggur (Lovisolo dan Schubert, 1998). Respon anatomi
akar dalam menghadapi cekaman kekeringan berbeda-beda pada masing-masing
genotipe. Perubahan anatomis akar tanaman kedelai (Makbul et al., 2011) dan
kacang buncis (Pena-Valdivia et al., 2010) terutama xilem, dapat dijadikan
sebagai variabel yang penting untuk menduga toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan.
Respon tanaman terhadap cekaman
oksidatif, tergantung pada jenis dan tingkat cekaman serta genotipe tanaman.
Penelitian lain pada akar genotipe kacang karas atau kekara (Bhardwaj dan
Yadav, 2012), gandum (Shahbazi et al., 2012) dan tebu (Abbas et al., 2014)
menunjukkan bahwa tingkat cekaman kekeringan dan genotipe yang berbeda memiliki
mekanisme fisiologis yang berbeda pula untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
cekaman kekeringan, termasuk terjadinya peroksida lipid. Tanaman yang peka
terhadap cekaman kekeringan mengalami peroksidasi lipid yang lebih berat. Hal
ini bisa terjadi karena cekaman oksidatif yang terjadi melebihi tingkat
kapasitas antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif (Niki et al.,
2005). Pada tanaman bentgrass cekaman kekeringan menyebabkan terjadinya
peningkatan peroksida lipid karena menurunnya aktivitas antioksidan (Costa dan
Huang, 2007). Genotipe yang toleran memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi (Shahbazi et al., 2012). Antioksidan dapat membatasi tingkat kerusak n
seluler yang disebabkan oleh ROS pada saat terjadi cekaman kekeringan (Sofo et
al., 2005). Berbagai macam antioksidan dengan fungsi yang berbeda menghambat
peroksidasi lipid dan efek buruk yang disebabkan oleh produk peroksidasi lipid
(El-Beltagi dan Mohamed, 2013). Pembentukan peroksida lipid sebagai respon
fisiologi akar pada masing-masing genotipe berbeda.
KESIMPULAN
Perlakuan cekaman kekeringan dengan
simulasi PEG menyebabkan terjadinya perubahan tebal korteks, diameter stele dan
diameter xilem. Dalam kondisi cekaman kekeringan, PG 57-1 dan Wilis mengurangi
tebal korteks, diameter stele dan diameter xilem untuk mengurangi pengaruh
cekaman kekeringan. Sebaliknya pada genotipe SC 39-1 terjadi peningkatan tebal
korteks, diameter stele dan diameter xilem. Peroksida lipid pada genotipe SC
39- 1 lebih besar dibandingkan dengan Wilis dan PG 57-1. Genotipe Wilis dan PG
57-1 toleran terhadap kekeringan sedangkan SC 39-1 tidak toleran terhadap
kekeringan.
Kacang bogor [Vigna subterranea
(L.) Verdcourt] adalah tanaman yang berasal dari Afrika Barat. Tanaman kacang
bogor merupakan salah satu pangan yang menjanjikan, hal ini terlihat dari
banyaknya perhatian di daerah asalnya yang ditunjukkan dengan banyaknya
penelitian tentang tanaman ini. Beberapa penelitian tentang kacang bogor yang
sudah dilakukan diantaranya mengenai proses adaptasinya (Onwubiko et al.,
2011), respon fisiologi terhadap
kekeringan (Vurayai et al., 2011), dan kandungan nutrisinya (Amarteifio et al.,
2006; Makanda et al., 2008; Akande et al., 2009). Kacang bogor baik untuk
dikonsumsi dan kandungan gizinya cukup tinggi yaitu protein 20.75%, karbohidrat
59.93%, lemak 5.88%, air 10.43%, dan abu 3.03% (Hidayah, 2005; Suwanprasert et
al., 2006). Kacang bogor dapat dibuat menjadi produk olahan seperti kacang
goreng, kacang rebus, dan susu (Massawe et al., 2005).
Masalah utama dalam peningkatan
hasil tanaman kacang bogor adalah masih rendahnya produktivitas. Produksi
rata-rata kacang bogor yang ditanam petani di Indonesia masih tergolong sangat
rendah, di bawah 4 ton ha-1 biji kering (Redjeki, 2007). Salah satu upaya yang
dapat dilakukan agar tanaman kacang bogor dapat berproduksi secara maksimal
adalah dengan pemupukan yang tepat. Penyusunan rekomendasi pemupukan memerlukan
uji korelasi dan uji kalibrasi, namun pengujian ini membutuhkan waktu lama dan
biaya yang tidak sedikit.
Menurut Waugh et al. (1973) untuk
mendapatkan data awal rekomendasi pemupukan dapat dilakukan jalan pintas
melalui pendekatan multi nutrient response. Percobaan dilakukan dengan cara
menanam pada tiga percobaan paralel perlakuan pemupukan N, P, dan K.
Masing-masing pupuk menggunakan dosis bertingkat, sehingga didapat kebutuhan
masing-masing hara pada kondisi threshold yield (ambang batas) dan juga kondisi
maksimum. Threshold yield mengacu pada titik awal respon hasil akibat tanpa
pemberian tambahan hara. Pendekatan multi nutrient response akan menghasilkan
empat pilihan rekomendasi, yaitu berdasarkan pemupukan maksimum serta ambang
batas pemakaian pupuk N, P, dan K. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
dosis optimum pemupukan N, P, dan K agar pertumbuhan dan produksi tanaman
kacang bogor maksimum sebagai upaya untuk mendapatkan data awal rekomendasi
pemupukan. Pendekatan multi nutrient response digunakan sebagai metode untuk
menentukan rekomendasi tersebut.
Data yang diperoleh dianalisis
dengan sidik ragam (uji F), apabila hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan
yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut kontras polinomial ortogonal.
Penentuan dosis optimum N, P, dan K dilakukan berdasarkan tahapan sebagai
berikut: 1. Menghitung nilai relatif (Relative = % R) yaitu (Yi/Ymaks) x 100%
Yi = nilai pada perlakuan dosis N, P, K ke-i Ymaks = nilai maksimum pada
perlakuan dosis N, P, K 2. Nilai relatif sebagai dependent variable (Y)
dihubungkan dengan nilai dosis N, P, dan K sebagai independent variable (X)
untuk dianalisis dengan model regresi linier dan kuadratik. 3. Penentuan
pilihan rekomendasi
Penentuan pilihan rekomendasi
dievaluasi pada akhir penelitian menggunakan pendekatan multi nutrient response
(Rohmawati, 2013). Pendekatan ini digunakan untuk menentukan rekomendasi
pemupukan menggunakan model kuadratik dari beberapa percobaan pemupukan.
Terdapat empat pilihan rekomendasi, yaitu berdasarkan pemupukan maksimum serta
ambang batas pemakaian pupuk N, P, dan K. Dosis pemupukan maksimum tersebut
dapat diketahui dengan menggunakan model regresi kuadratik (Susila et al.,
2010): R = a + bX - cX2; dengan R = nilai relatif tanaman; X = konsentrasi
pupuk; a,b,c = konstanta. Penentuan dosis pupuk maksimum dilakukan dengan
menggunakan rumus turunan dari persamaan regresinya: dY/dX = b - 2cX = 0; X =
b/2c.
Jumlah daun selalu bertambah
walaupun sudah melewati masa vegetatif karena tanaman kacang bogor mempunyai
pola pertumbuhan indeterminate yaitu pertumbuhan vegetatif tetap berlangsung
setelah pembungaan dan selama pembentukan polong.
Unsur K sangat dibutuhkan dan
mungkin merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan vegetatif tanaman yang
salah satunya dapat menyebabkan jumlah daun tanaman kacang bogor menjadi lebih
sedikit. Peranan K yang paling penting adalah aktivator enzim yang berperan
dalam fotosintesis, regulator membuka dan menutupnya stomata, serta untuk
transport asimilat (Maschner, 2011). Berbagai hasil penelitian pada komoditas
lain menunjukkan bahwa K menjadi pembatas pertumbuhan tanaman kacang tanah
(Silahooy, 2008), bawang (El-Bassiony, 2006; Ali et al., 2007), tomat
(Amisnaipa et al., 2009), nenas (Safuan et al., 2011), kolesom (Mualim et al.,
2009), dan katuk (Rohmawati, 2013). Kekurangan unsur K menyebabkan pertumbuhan
dan jumlah akar tanaman berkurang, sehingga pengambilan unsur hara dan air
menjadi terbatas (Rohmawati, 2013).
Pendekatan multi nutrient response
adalah suatu metode yang dikembangkan untuk menentukan rekomendasi pemupukan
menggunakan model kuadratik dari beberapa percobaan.
KESIMPULAN
Penelitian ini belum mendapatkan
dosis optimum pemupukan N dan P karena hanya pemupukan K yang memberikan pola
respon kuadratik. Rekomendasi pupuk K berdasarkan dosis optimum adalah berkisar
antara 86.4-118.95 kg KCl ha-1.
Cabai merupakan salah satu
komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman
cabai dikembangkan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut Badan
Pusat Statistik (2014), produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2013
adalah 8.16 ton ha-1. Angka tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan
dengan potensi produktivitasnya. Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa
produktivitas cabai dapat mencapai 20 ton ha-1.
Salah satu penyebab rendahnya
produktivitas cabai adalah penyakit antraknosa. Antraknosa pada cabai
disebabkan oleh spesies Colletotrichum acutatum yang merupakan spesies paling
dominan menyerang tanaman cabai. Spesies ini dapat menyerang tanaman dan juga
buah, bahkan setelah buah dipanen. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang
paling merugikan dibanding penyakit cabai lainnya karena dapat menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 10-80% saat musim hujan dan 2-35% saat musim kemarau
(Widodo, 2007). Saat ini petani umumnya mengendalikan penyakit antraknosa
dengan menggunakan fungisida kontak dan fungisida sistemik secara intensif.
Namun, penggunaan pestisida secara berlebihan tidak hanya menyebabkan
peningkatan biaya produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan petani
dan konsumen, serta kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas
yang tahan merupakan salah satu cara yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi
masalah penyakit antraknosa (C. acutatum), sehingga penelitian ini perlu
dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik cabai yang memiliki daya hasil
tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa.
Induksi mutasi merupakan salah satu
cara yang sering digunakan para peneliti sebagai usaha untuk memperoleh tanaman
yang lebih tahan terhadap suatu penyakit. Fitri (2010), menyatakan bahwa uji
ketahanan cabai keriting pada generasi kedua hasil induksi mutasi terhadap
penyakit antraknosa adalah rentan sampai dengan sangat rentan. Hasil penelitian
tersebut masih belum dapat diaplikasikan secara langsung karena gen-gen yang
mengalami mutasi mungkin dapat kembali seperti normal, akibat adanya mutasi
balik. Oleh karena itu, untuk memperoleh mutan yang seragam secara genetik
perlu dilakukan seleksi sifat-sifat yang diinginkan diantara individu-individu
pada generasi kedua. Mutasi adalah perubahan materi genetik, yang merupakan
sumber pokok dari semua keragaman genetik dan merupakan bagian dari fenomena
alam. Dosis iradiasi yang digunakan untuk menginduksi keragaman sangat
menentukan keberhasilan terbentuknya tanaman mutan.
Kisaran dosis iradiasi yang efektif
pada benih umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian tanaman
lainnya. Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) dalam materi yang
diiradiasi, maka akan semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk,
sehingga tanaman menjadi lebih sensitif (Herison et al., 2008). Oleh karena itu
perlu diketahui dosis optimum yang efektif untuk menghasilkan tanaman mutan.
Mutan yang diperoleh pada umumnya terdapat pada atau sedikit dibawah nilai LD50
(Lethal Dose 50). LD50 adalah dosis yang menyebabkan 50% kematian dari populasi
yang diiradiasi.
Heritabilitas merupakan komponen
genetik yang menunjukkan seberapa besar suatu sifat diturunkan kepada
turunannya. Heritabilitas arti luas diduga dari perbandingan ragam genetik
dengan ragam fenotipe. Nilai heritabilitas rendah hingga medium menunjukkan
bahwa tingginya pengaruh faktor lingkungan jika dibandingkan dengan faktor
genetiknya, sedangkan nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa
pengaruh genetik lebih tinggi jika dibandingkan dengan faktor lingkungan.
Menurut Syukur et al. (2011) keragaman genetik dan heritabilitas sangat
bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi akan efektif jika populasi tersebut
mempunyai keragaman genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi. Karakter
yang memiliki heritabilitas rendah hingga medium sebaiknya dilakukan seleksi
pada generasi lanjut agar gen-gen aditifnya sudah terfiksasi.
Nilai duga heritabilitas suatu
karakter perlu diketahui untuk menduga kemajuan dari suatu seleksi, apakah
faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan
(Syukur et al., 2011). Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor
genetik lebih besar dibandingkan faktor lingkungan. Nilai heritabilitas sangat
bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi akan efektif jika populasi tersebut
mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi.
KESIMPULAN
Peningkatan dosis iradiasi dari 400
Gy sampai 1,000 Gy mempengaruhi daya tumbuh cabai. LD50 pada genotipe cabai IPB
C2, IPB C10, dan IPB C15 berturut-turut adalah 317.9 Gy, 591.4 Gy, dan 538.8
Gy. Pemberian iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda pada setiap
genotipe terhadap ketahanan penyakit antraknosa. Mutan genotipe IPBC2 cenderung
mengarah pada kriteria sangat rentan terhadap penyakit antraknosa, mutan
genotipe IPBC10 cenderung mengarah pada kriteria tahan, sedangkan mutan
genotipe IPBC15 cenderung mengarah pada kriteria sangat tahan. Genotipe IPBC2
memiliki heritabilitas tinggi untuk karakter bobot buah per tanaman, jumlah
buah per tanaman, tinggi tanaman, panjang buah, dan insidensi penyakit,
genotipe IPBC10 terdapat pada bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman,
tinggi tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, sedangkan genotipe
IPBC15 terdapat pada karakter bobot buah per tanaman, tinggi tanaman, panjang
buah, diameter buah, dan bobot per buah pada. Karakter ketahanan penyakit memiliki nilai heritabilitas medium
sampai dengan tinggi.
Menurut Syukur et al. (2010),
hingga saat ini produktivitas cabai besar di Indonesia masih rendah dibandingkan
dengan potensinya, yang dapat mencapai 22 ton ha-1. Produktivitas yang belum
optimal ini dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah ketersediaan benih
bermutu masih terbatas. Benih bermutu genetik, fisik, fisiologi dan patologi
tinggi merupakan modal utama bagi keberhasilan pertanaman cabai.
Bobot kering dan viabilitas benih
terus meningkat dari saat antesis hingga mencapai maksimum pada saat masak
fisiologi. Benih sebaiknya dipanen pada saat mencapai masak fisiologi, karena
bila benih tetap dibiarkan di lapang setelah mencapai masak fisiologi maka
viabilitas dan vigornya akan menurun.
Saat masak fisiologi benih dapat
diketahui melalui ciri-ciri buah dan benih. Buah cabai merupakan buah berdaging
tipe beri atau buni, saat benih cabai mencapai masak fisiologi dapat ditandai
dari perubahan warna daging buahnya. Warna daging buah cabai mengalami
perubahan dari warna hijau pada waktu masih muda menjadi hijau tua, coklat dan
merah pada waktu masak. Kortse dan Oladiran (2013) melaporkan bahwa masak
fisiologis benih melon tercapai bersamaan dengan kemasakan buah yang ditandai
dengan perubahan warna kulit buah, viabilitas dan vigor benih mencapai
maksimum.
Masak fisiologi pada masing-masing
genotipe cabai, diduga dicapai pada umur tanaman berbeda, karena masing masing
genotipe cabai mencapai fase vegetatif, umur berbunga, dan karakter kuantitatif
lainnya berbeda. Tingkatan cabang tanaman diduga memiliki pengaruh terhadap
lamanya waktu mencapai kemasakan buah dan benih. Penelitian Ibrahim dan
Oladiran (2011) pada tanaman cabai menunjukkan bahwa, benih-benih yang
diperoleh dari buah yang berada pada posisi cabang lebih tinggi berkualitas
rendah, demikian pula hasil penelitian Ritonga (2013) menunjukkan bahwa buah
cabai yang berada pada cabang yang lebih atas (cabang ke 13-17) memiliki ukuran
dan bobot buah yang rendah.
Penelitian terhadap mutu benih
cabai pada tingkat kemasakan buah berbeda, tingkatan cabang tanaman berbeda,
serta menentukan waktu masak fisiologis benih cabai perlu dilakukan untuk
memperoleh benih cabai bermutu tinggi.
Menurut Amali et al. (2013) jumlah
benih bernas pada buah meningkat bersamaan dengan jumlah hari setelah antesis.
Marcelis dan Eijer (1997) menyatakan jumlah benih per buah meningkat bersamaan
dengan meningkatnya jumlah ovul yang terbuahi oleh polen, sehingga jumlah benih
cabai dibatasi oleh banyaknya jumlah ovul yang dapat terbuahi oleh polen.
Perbenihan dan Sarana Produksi
(2009) menyatakan bahwa daya berkecambah minimum untuk benih cabai adalah
sekitar 80%. Daya berkecambah merupakan peubah yang mengindikasikan kemampuan
benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum. Karakter
kuantitatif buah pada saat masak fisiologi dipengaruhi genotipe. Karakter buah
merupakan faktor penting untuk mengetahui saat panen yang tepat (Vidigal et
al., 2011).
Jumlah cabang pada tanaman sangat
berhubungan dengan umur tanaman. Cabang pada tanaman cabai terus bertambah
seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Pertambahan cabang ini diduga
memiliki pengaruh terhadap karakter kuantitatif pembungaan, buah, benih, dan
mutu fisiologis benih. Ibrahim dan Oladiran (2011) menyatakan bahwa buah
proksimal (bawah) dapat memperoleh asimilat dan hara lebih banyak dibandingkan
dengan buah distal (atas). Ketika perkembangan buah dan biji terjadi pada buah
proksimal, suplai asimilat melimpah karena pohon masih muda. Benih yang
diperoleh dari buah yang berada di posisi lebih tinggi berkembang pada saat
pohon sudah lebih tua, akumulasi hara dan fotosintat tidak sebanyak pada saat
pohon masih muda.
KESIMPULAN
Masak fisiologi enam genotipe cabai
(Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3 dan SSP) dicapai pada 38- 44
HSA. Pada saat masak fisiologi warna buah cabai Anies 1 coklat hingga merah,
sedangkan lima genotipe lainnya, hijau tua hingga merah. Karakter buah cabai
saat masak fisiologi: cabai keriting SSP mempunyai ukuran buah terpanjang (95.7
mm) diameter buah (9.9 mm) terkecil dibandingkan dengan lima genotipe cabai
besar. Panjang buah Anies 2, Anies 2 dan Seloka 3 sedang (± 87.0 mm), buah
Seloka 1 dan 2 terpendek (± 77.0 mm). Diameter buah Anies 1, Anies 2, Seloka 1,
Seloka 3 ± 15.0 mm, Seloka 2 ± 13.0 mm. Jumlah benih per buah tertinggi pada
Seloka 1, SSP jumlah benih terendah, sedang kan Anies 1, Anies 2, Seloka 2 dan
Seloka 3 jumlah benih sedang. Bobot kering benih tinggi adalah Anies 1, Anies 2
dan Seloka 1. Rendemen buah tertinggi pada SSP. Mutu fisiologi benih yang
dicapai enam genotipe cabai pada saat masak fisiologi: viabilitas benih
74.0-91.0% dan vigor benih 9.0-52.0%. Buah dari cabang bawah (pr ksimal)
mempunyai panjang buah, diameter buah, jumlah benih per buah, bobot kering
benih per buah lebih tinggi dibanding cabang atas (distal), meskipun rendemen
benih per buah, viabilitas, vigor benih tidak berbeda.
Volume Irigasi untuk Budidaya Hidroponik Melon dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan dan Produksi
Volume irigasi dari metode irigasi
langsung untuk sistem hidroponik besarnya sama dengan evapotranspirasi tanaman.
Evapotranspirasi tanaman dihitung berdasarkan koefsien tanaman dan
evapotranspirasi referens. Evapotranspirasi referens dihitung berdasarkan
parameterparameter iklim mikro seperti pada rumus Penman- Monteith.
Evapotranspirasi referens juga dapat dihitung berdasarkan koefisien panci dan
evaporasi panci, maka dari itu volume irigasi atau evapotranspirasi tanaman
dapat dihitung berdasarkan koefisien tanaman, koefisien panci dan evaporasi
panci. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan nilai gabungan antara
koefisien tanaman dan koefisien panci yang diperlukan untuk menghitung volume
irigasi hidroponik melon dengan media pasir.
Pertumbuhan dan produksi melon
dipengaruhi oleh volume irigasi. Irigasi dengan volume air sedang tidak
menurunkan produksi tetapi meningkatkan efisiensi penggunaan air. Jika volume
irigasi terlalu kecil, maka produksi melon turun sebesar 25% yang disebabkan
oleh penurunan bobot buah. Produksi relatif (produksi/produksi maksimum) lebih
besar dari 95% jika volume irigasi antara 87-136% evapotranspirasi tanaman
(Cabello et al., 2009).
Volume irigasi juga mempengaruhi
produksi tanaman selain melon. Produksi umbi wortel tertinggi dihasilkan dengan
irigasi sebesar 1.0. Evapotranpirasi, lebih disebabkan oleh peningkatan bobot
umbi dibandingkan dengan jumlah umbi (Badr et al., 2012). Produksi timun dapat ditingkatkan
dengan cara meningkatkan volume irigasi dari 0.6Ep (evaporasi panci) menjadi
0.8Ep dan 1.0Ep, sedangkan efisiensi pemakaian air irigasi diperoleh dengan
volume irigasi 0.8Ep. Peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan berat
per buah dan jumlah buah (Sun et al., 2012). Pertumbuhan, produksi dan kualitas
melon dipengaruhi oleh volume irigasi. Irigasi sampai 75% kapasitas lapang
merupakan volume irigasi yang optimum (Li et al., 2012).
Volume irigasi mempengaruhi
pertumbuhan tanaman melon seperti yang dilaporkan oleh Manh dan Wang (2014)
bahwa peningkatan ketersediaan air dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun
dan bobot biomasa tanaman melon. Irigasi minimum (50% evapotranspirasi)
meningkatkan pertumbuhan akar tetapi menurunkan pertumbuhan tajuk tanaman melon
(Sharma et al., 2014). Pada jenis buah yang lain juga menunjukkan bahwa volume
irigasi meningkatkan kualitas eksternal buah tomat seperti diameter dan berat
buah (Liu et al., 2013). Kekurangan air menurunkan ukuran buah peach lebih dari
49% (Avalos et al., 2013). Penelitian volume irigasi pada budidaya melon secara
hidroponik yang menggunakan media pasir belum pernah dilakukan. Media pasir
tidak dapat mengikat air dengan baik, maka penentuan volume irigasi yang tepat
dan mudah sangat diperlukan.
Pelaksanaan irigasi dengan volume
rendah disesuaikan dengan fase tumbuh tanaman (Geerts dan Raes, 2009). Selama
pertumbuhan tanaman, kebutuhan air terus meningkat. Air digunakan untuk
pertumbuhan titik tumbuh dan pembentukan daun tanaman yang lebih banyak.
kebutuhan air pada fase generatif lebih tinggi dibandingkan fase vegetatif.
Produksi yang tinggi berkaitan dengan ketersediaan air atau volume air irigasi
yang diberikan, walaupun jumlah daun tidak berbeda. Jumlah daun yang sama akan
mampu berfotosintesis lebih besar jika ketersediaan air lebih besar sebagai
bahan baku fotosintesis. Ukuran buah dipengaruhi oleh volume irigasi. Buah
dengan bobot yang berat juga mempunyai ukuran diameter vertikal dan horizontal
yang besar. Hasil yang sama dilaporkan oleh Li et al. (2012) bahwa pertumbuhan,
produksi dan kualitas melon dipengaruhi oleh volume irigasi. Volume irigasi
yang lebih banyak menyebabkan akar dapat mengabsorbsi air dan hara lebih
banyak, karena absorbsi hara terjadi bersama-sama dengan air. Karena fungsi air
sebagai bahan baku fotosintesis maka pertumbuhan dan produksi meningkat, juga
karena fungsi air untuk meningkatkan turgor sel maka ukuran buah meningkat
dengan semakin banyaknya absorbsi air oleh akar. Avalos et al. (2013)
melaporkan bahwa kekurangan air menurunkan ukuran buah peach lebih dari 49%.
KESIMPULAN
Secara umum perlakuan volume
irigasi berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun, serta produksi
buah melon. Volume irigasi untuk hidroponik melon dengan media pasir selama fase
pertumbuhan vegetatif adalah 1.0 kali evaporasi atau setara dengan 170 cm3 per
hari per tanaman, sedangkan selama fase generatif adalah 1.5 kali evaporasi
atau setara dengan 234 cm3 per hari per tanaman pada penelitian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar