Rabu, 14 Maret 2018



Tithonia diversifolia disebut juga sebagai tree marigold, bunga matahari Mexico atau kembang bulan. Awalnya T. diversifolia dikenal sebagai tumbuhan liar yang sangat agresif membentuk koloni sehingga menjadi gulma bagi tanaman budidaya (Chukwuka et al., 2007a) tetapi kemudian diketahui bahwa T. diversifolia dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau (Opala et al., 2009; Crespo et al., 2011). Daun T. diversifolia kering mengandung 3.5-4.0% N, 0.35-0.38% P, 3.5-4.1% K, 0.59% Ca, dan 0.27% Mg sehingga hijauan T. diversifolia berpotensi sebagai sumber hara N, P, K bagi tanaman (Hartatik, 2007). Pemanfaatan T. diversifolia sebagai sumber hara selain berupa pupukhijau segar atau pupuk hijau cair dapat pula berupa kompos (Muhsanati et al., 2008; Hakim et al., 2012) dan mulsa (Liasu dan Achakzai, 2007; Adeniyan et al., 2008). T. diversifolia juga bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah (Oelbermann et al., 2012; Ojeniyi et al., 2012), sebagai pestisida nabati (Oyedokun et al., 2011; Akpheokhai et al., 2012) dan farm asi (Chagas-Paula et al., 2012). Hasil analisis fitokimia biomassa T. diversifolia menunjukkan bahwa tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat, karena mengandung senyawa kimia saponin, alkaloid, tanin, flavonoid, steroid dan glikosida yang berperan penting dalam pengobatan. Hal ini juga membuktikan pemanfaatan daun T. diversifolia dalam pengobatan tradisional untuk berbagai macam penyakit (Essiett dan Uriah, 2013) dan dalam pengobatan herbal (Essiett dan Akpan, 2013).
Potensi T. diversifolia sebagai pupuk hijau dan sebagai pestisida nabati menjadi pertimbangan untuk membudidayakannya. Selama ini biomassa T. diversifolia diperoleh dari tanaman yang tumbuh secara liar di tepi lahan pertanian, di lereng-lereng tebing dan di tepi-tepi jalan raya. Jika T. diversifolia dibudidayakan pada lokasi yang berdekatan dengan tempat budidaya tanaman lain, diharapkan bahwa tajuknya dapat dipanen secara berkala sehingga dapat digunakan sebagai sumber hara jangka panjang terutama dalam sistem pertanian organik.
Kelebihan lain dari biomassa T. diversifolia adalah mempunyai kadar unsur K lebih tinggi daripada Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides. Percobaan yang dilakukan oleh Barus (2005) menunjukkan bahwa daun C. mucunoides mengandung 2.47% N, 0.23% P, 0.75% K sedangkan daun C. pubescens mengandung 3.49%, 0.36% P, 1.05% K. Hasil percobaan Kurniansyah (2010) menunjukkan bahwa kandungan daun T. diversifolia adalah 3.06% N, 0.25% P, dan 5.75% K dan menyebabkan intensitas serangan hama dan pathogen yang lebih rendah serta produksi kedelai yang lebih tinggi pada tanaman yang mendapat T. diversifolia dibandingkan yang mendapat C. pubescens. Percobaan ini juga memperlihatkan bahwa, dengan jumlah yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk dekomposisi tajuk T. diversifolia lebih singkat daripada untuk C. pubescens.
Berdasarkan manfaat T. diversifolia sebagai sumber hara, maka perlu dilakukan kajian untuk budidaya tanaman ini. Penanaman T. diversifolia pertama kali memerlukan input berupa pupuk organik jika biomassa tanaman ini akan digunakan dalam sistem pertanian organik. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberian bahan organik pada awal budidayanya karena transfer unsur hara berkelanjutan dalam periode yang panjang tidak akan tercukupi dari produksi biomassa T. diversifolia yang rendah (Jama et al., 2000).
Pupuk kandang merupakan satu jenis bahan organik yang umumnya digunakan dalam budidaya pertanian dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk kandang ayam memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk kandang sapi dan pupuk kandang kambing karena kandungan unsur haranya relatif lebih tinggi dan kadar air lebih rendah sehingga aplikasi pupuk kandang ayam dalam unit yang sama dengan pupuk kandang sapi atau pupuk kandang kambing akan menyumbangkan unsur hara yang lebih tinggi (Hayati, 2013). Oleh karena itu penggunaan pupuk kandang ayam dalam budidaya pertanian dapat meningkatkan hasil pertanian (Melati dan Andriyani, 2005; Sistani et al., 2007; Melati et al., 2008; Laude dan Tambing, 2010).
Pengaturan jarak tanam dimaksudkan untuk memberi ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman yang dibudidayakan sehingga mengurangi persaingan antar tanaman. Perbedaan jarak tanam mampu meningkatkan indeks pertumbuhan fisiologis tanaman (Farahani dan Valadabadi, 2009), mempengaruhi pertumbuhan diameter batang dan tinggi tanaman (Badi et al., 2004), meningkatkan evaporasi tanah dan transpirasi tanaman (Chen et al., 2010). Penggunaan pupuk kandang ayam dan pengaturan jarak tanam merupakan unsur budidaya yang dapat meningkatkan produksi tanaman kentang (Fatkur et al., 2010) dan menekan pertumbuhan gulma (Mayadewi, 2007). T. diversifolia memiliki pertumbuhan yang cepat dengan cabang yang banyak sehingga membutuhkan ruang tumbuh yang cukup lebar, tetapi belum ditemukan jarak tanam optimum bagi budidaya T. diversifolia selain dalam bentuk teknik budidaya lorong. Kombinasi perlakuan pemberian pupuk kandang dan pengaturan jarak tanam diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan T. diversifolia sehingga dapat dicapai produksi optimum hijauannya.

KESIMPULAN
Belum diperoleh dosis pupuk kandang optimum untuk produksi biomassa T. diversifolia. Produksi bobot kering biomassa T. diversifolia tertinggi dicapai dengan pemberian pupuk kandang 10 ton ha-1 yaitu 1 129.1 kg ha- 1 dengan potensi sumbangan hara setara 123.27 kg urea, 15.36 kg SP-36 dan 106.93 kg KCl. Bobot kering biomassa T. diversifolia terbanyak pada jarak tanam 50 cm x 50 cm sebesar 897 kg ha-1 dengan potensi sumbangan hara setara 98.64 kg urea, 23.97 kg SP-36 dan 142.32 kg KCl. Interaksi terjadi pada LAB tanaman umur 4-8 MST, LAB tertinggi pada perlakuan dosis pupuk 10 ton ha-1 dan jarak tanam 75 cm x 75 cm yaitu 11.87 g cm-2 hari-1.


Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor perkebunan. Perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2001 sebesar 4.16 juta ha dan pada tahun 2012 seluas 9.1 juta ha dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.98% per tahun. Produksi CPO Indonesia sepanjang sepuluh tahun terakhir terus mengalami peningkatan sebesar 1.84% per tahun. Produksi CPO di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 7 juta ton dan pada tahun 2012 telah meningkat menjadi 23.5 juta ton (Ditjenbun, 2013). Produktivitas minyak kelapa sawit yaitu CPO sebesar 4.08 ton ha-1, sedangkan produktivitas minyak nabati dari kedelai, bunga matahari dan rapeseed masing-masing sebesar 0.38, 0.60 dan 0.75 ton ha-1 (MPOB, 2011).
Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit menyebabkan diperlukannya ketersediaan bibit kelapa sawit dalam jumlah besar. Bibit kelapa sawit yang baik diperoleh melalui pemeliharaan yang intensif terutama pemupukan. Pemupukan merupakan faktor penentu utama, khususnya keseimbangan dosis dan jenis pupuk yang digunakan dan bukan pada tingkat dosis yang tinggi (Wachjar dan Kadarisman, 2007). Percobaan pemupukan perlu dilakukan untuk memperoleh dosis pemupukan yang optimum karena biaya pupuk dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara intensif sekitar 50-70% dari biaya pemeliharaan dan 5% dari seluruh biaya produksi (Fairhurst et al., 2006).
Kalsium dan magnesium merupakan hara makro sekunder. Kalsium berperan sebagai nutrisi tanaman yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan khususnya akar dan tunas (Tuteja dan Mahajan, 2007). Gejala tanaman yang kekurangan Ca yaitu terhambatnya pertumbuhan pucuk (titik tumbuh), kemudian pertumbuhan tanaman kerdil dan mati (Baker dan Pilbean, 2006). Magnesium dibutuhkan dalam aktivitas enzim-enzim dan sebagai atom pusat dari molekul klorofil. Magnesium mengaktifkan enzim ribulose- 1,5-bisphosphate (RuBP) carboxylase yang penting dalam proses fotosintesis (Cakmak dan Yazici, 2010; Gransee dan Fuhrs, 2012; Yang et al., 2012). Aplikasi nitrogen (N) dan potasium (K) dalam tanah tanpa pemberian Mg dapat menyebabkan defisiensi magnesium (khlorosis). Gejala kahat Mg pada tanaman kelapa sawit disebut dengan istilah “orange frond” dan pada tingkat kekahatan berat khlorosis diikuti oleh nekrosis (Oviasogie et al., 2011). 
Hal ini berkaitan dengan fungsi hara Mg sebagai pusat penyusun klorofil (Cakmak dan Kirkby, 2008), sehingga Mg dikaitkan dengan perkembangan klorofil daun (Hermans et al., 2006). Penurunan kadar klorofil akan berpengaruh pada kuantitas dan kualitas fotosintat yang diproduksi oleh tanaman kelapa sawit (Otitoju dan Onwurah, 2010).

KESIMPULAN
Pemberian pupuk kalsium berpengaruh pada kerapatan stomata. Pemberian pupuk magnesium berpengaruh nyata terhadap peubah vegetatif dan fisiologi bibit kelapa sawit yaitu kerapatan stomata dan kandungan klorofil. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pupuk kalsium dan magnesium pada bibit kelapa sawit. Berdasarkan peubah tinggi tanaman dan diameter batang maka dosis optimum pupuk magnesium bibit kelapa sawit selama 8 bulan di pembibitan utama adalah 58 g per tanaman. Dosis pupuk Mg tersebut diaplikasikan setiap bulannya dalam jumlah yang berbeda pada umur 1-8 bulan, berturut-turut adalah 2.0, 2.0, 8.0, 9.3, 8.8, 9.3, 9.4 dan 9.3 g MgSO4 per tanaman. Dosis optimum pupuk kalsium tidak dapat ditentukan pada penelitian ini.


Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional. Sulawesi Selatan sebagai pemasok beras di kawasan timur Indonesia dan salah satu lumbung pangan nasional, mempunyai lahan sawah seluas 662,495 ha (Dinas Pertanian Sulsel, 2010). Petani di Sulawesi Selatan mudah menerima inovasi baru. Berbagai varietas unggul baru (VUB), yaitu varietas Cisadane, Way Apo Buru, IR42, Memberamo, Cisantana, Ciherang, Cigeulis, Ciliwung, IR64, Sintanur, IR66, dan Selebes di Sulawesi Selatan mempunyai penyebaran yang paling luas berkisar 2,825-196,591 ha dalam setiap musim tanam. Produktivitas rata-rata varietas-varietas tersebut sekitar 4.43 ton ha-1 yang masih lebih rendah dibandingkan produktivitas padi, sebesar 5.25 ton ha-1, di Pulau Jawa. Terjadinya kesenjangan hasil tersebut antara lain disebabkan tingginya serangan hama dan penyakit pada varietas yang ditanam petani, akibat perubahan gen pada organisme pengganggu tanaman yang mengarah pada peningkatan adaptabilitas pada varietas tersebut setelah beberapa kali penanaman varietas yang sama (Fattah et al., 2010). Oleh karena itu, penggunaan padi tipe baru (PTB) diharapkan akan berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas padi di Sulawesi Selatan, karena selain potensi daya hasilnya dapat mencapai 10% lebih tinggi dibandingkan VUB, PTB juga memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap hama dan penyakit (Peng et al., 2008; Dewi dan Purwoko, 2012).
Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi (Abdullah, 2009; Utama et al., 2009). Berdasarkan laporan penelitian tentang pemuliaan melalui mutasi diketahui telah banyak diperoleh mutan-mutan yang berumur lebih pendek serta lebih tahan terhadap kendala biotik-abiotik dibandingkan induk, tetapi masih tetap dapat mempertahankan karakter unggul seperti daya hasil, rasa, dan kualitas seperti tanaman induknya (Ahloowalia dan Maluszynski, 2001; Lestari et al., 2006; Waugh et al., 2006). BATAN Jakarta telah berhasil melepas varietas unggul padihasil iradiasi, antara lain varietas Atomita 1 tahun 1982, Atomita 2 tahun 1983, Atomita 3 tahun 1990, Atomita 4 tahun 1991, Situgintung tahun 1992, Cilosari tahun 1996, Woyla dan Meraoke tahun 2001, Kahayan, Winongo, dan Diah Suci (Soeranto, 2003).
Padi tipe baru adalah modifikasi tipe tanaman padi yang memiliki kemampuan menghasilkan bahan kering tanaman dan indeks panen yang tinggi (Peng et al., 2008). PTB tidak berbeda dengan varietas inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan, dan produksi biji. Fatmawati adalah satu-satunya varietas padi sawah unggul tipe baru yang telah dilepas akhir tahun 2003 (Abdullah et al., 2005). Varietas Fatmawati agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 2 dan 3, tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, dan agak tahan terhadap strain IV, namun tidak tahan terhadap penyakit blas yang saat ini sudah mulai menyerang pertanaman padi sawah (Suprihatno et al., 2011).
Penelitian induksi mutasi dengan menggunakan sinar gamma pada kisaran 1,000-5,000 rad telah dilakukan pada varietas Fatmawati untuk mendapatkan varietas PTB yang tetap berumur genjah namun lebih tahan terhadap kendala biotik-abiotik. Galur-galur mutan selanjutnya difiksasi melalui teknik kultur antera, sehingga diperoleh 119 galur mutan dihaploid (DH) atau galur murni yang bersifat homozygous. Galur-galur mutan DH tersebut telah diseleksi berdasarkan karakter agronomi PTB seperti yang dilakukan oleh Herawati et al. (2010) dan ketahanannya terhadap hama penyakit (Lestari et al., 2010a). Berdasarkan observasi daya hasil, uji daya hasil pendahuluan, dan uji daya hasil lanjutan telah diperoleh 7 galur harapan mutan DH PTB, yaitu BIOMF115, BIO-MF116, BIO-MF125, BIO-MF130, BIOMF133,
BIO-MF151, dan BIO-MF153 yang mempunyai ketahanan lebih baik terhadap penyakit blas dibandingkan Fatmawati (Lestari et al., 2013). Galur-galur tersebut perlu diuji daya adaptasi dan hasilnya di beberapa lokasi untuk mendukung produktivitas padi di Sulawesi Selatan. Pengujian di berbagai lokasi penting dilakukan karena tanggap genotipe tidak sama terhadap lingkungan tumbuhnya (Satoto et al., 2009; Aryana, 2009; Lestari et al., 2010b). Kondisi tersebut menyebabkan perlu pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan tertentu atau ditanam pada lingkungan yang lebih luas (Cooper et al., 1996; Blanche et al., 2009).
Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) merupakan suatu metode pengukuran stabilitas yang didasarkan pada koefisien regresi (nilai bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji di semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Berdasarkan metode stabilitas Finlay dan Wilkinson, koefisien regresi setara dengan satu (nilai bi = 1.0) ditetapkan sebagai stabilitas standar. Peningkatan nilai koefisien regresi (nilai bi > 1) menunjukkan penurunan dalam kemampuan adaptasi tanaman terhadap lingkungan, sedangkan penurunan koefisien regresi (nilai bi < 1) menunjukkan peningkatan dalam kemampuan adaptasi tanaman terhadap lingkungan.
Gabah merupakan komponen hasil yang terpenting pada tanaman padi, karena itu jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai merupakan karakter agronomi yang pertama kali diseleksi (Dewi et al., 2009).
Nilai koefisien regresi yang lebih tinggi atau lebih rendah (bi>1 dan bi<1 1963="" adaptabilitas="" bi="" dan="" dapat="" dari="" dengan="" dibandingkan="" genotipe="" inlay="" lebih="" memiliki="" menunjukkan="" nilai="" pola="" stabil="" suatu="" tersebut="" tetap="" tetapi="" tidak="" tingkat="" wilkinson="" yang="">1 merupakan genotipe yang peka terhadap perubahan lingkungan dan menurun adaptabilitasnya terhadap lingkungan tertentu atau beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable) saja.


Lahan rawa lebak memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam usaha produksi tanaman pertanian, terutama menyusutnya lahan subur di Pulau Jawa akibat meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan industri. Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan seluas 13.3 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Penyebaran yang terluas terdapat di Provinsi Sumatera Selatan yakni mencapai 2.98 juta ha.Namun lahan rawa lebak yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman padi di Sumsel baru seluas 3.9% dari luasan yang ada (Puslitbangtanak, 2002).
Kendala utama dalam budidaya tanaman padi di lahan rawa lebak adalah tata air yang masih belum terkendali, sehingga pada musim hujan seluruh areal tergenang cukup dalam dan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan petani sulit menduga masa tanam padi dan budidaya tanaman menjadi sulit dikendalikan dengan baik. Genangan air yang terlalu tinggi selama fase vegetatif akibat banjir dan hujan lebat yang terjadi setelah bibit dipindahkan ke lapang menghambat pertumbuhan tanaman dan menyebabkan turunnya produksi padi lebak (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, 2008).
Penundaan waktu tanam hingga bibit berumur 50-90 hari dan pemindahan bibit lebih dari satu kali dapat menghindarkan tanaman dari ancaman banjir, namun di sisi lain penanaman bibit terlalu tua mengakibatkan jumlah anakan produktif yang dihasilkan semakin sedikit (Atman, 2009). Transplanting lebih dari satu kali juga menyebabkan tanaman membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi, sehingga produksi menurun.
Penyebab lain rendahnya produksi padi di lahan rawa lebak adalah petani umumnya menggunakan varietas unggul nasional seperti IR64, Ciliwung, dan Ciherang meskipun diyakini memiliki potensi hasil tinggi tetapi umumnya tidak toleran genangan. Penggunaan varietas unggul secara terus menerus juga menyebabkan sejumlah varietas lokal ”hilang”, padahal varietas lokal merupakan sumber daya hayati yang memiliki nilai penting untuk perakitan varietas unggul. Varietas lokal banyak digunakan sebagai donor gen sifat mutu baik (rasa nasi enak, aromatik), ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan toleran terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, lahan salin, sulfat masam, dan genangan. 
Agar petani bersedia mengadopsi varietas unggulbaru yang dihasilkan, maka selain adaptif pada kondisi lingkungan setempat juga harus memiliki karakteristik mutu produk sesuai dengan preferensi konsumen setempat. Genotipe lokal Payak Selimbuk menjadi pilihan dalam perakitan varietas ini karena relatif toleran terhadap cekaman rendaman selama tujuh hari pada fase vegetatif dan fase bibit, sedangkan genotipe lokal Pegagan, Siam, dan Pelita Rampak memiliki rasa nasi yang diinginkan petani Sumatera Selatan (Gusmiatun, 2011). Varietas FR13A digunakan sebagai tetua donor karena diketahui mengandung gen Sub1 yang toleran terhadap peredaman selama 14 hari (Xu et al., 2006).  
Hasil penelitian terhadap varietas-varietas turunan FR13A menunjukkan bahwa toleransinya terhadap rendaman masih di bawah FR13A karena lokus-lokus lain pengendali toleransi terhadap rendaman belum terintrogresikan (Nandi et al., 1997). Dengan demikian, masih ada peluang untuk memperbaiki toleransi terhadap rendaman menggunakan sumber genetik ini. Dengan menggabungkan sifat unggul padi lokal dengan sifat toleran rendaman ke dalam satu varietas, diharapkan dapat dihasilkan varietas unggul yang toleran rendaman untuk daerah rawa serta disukai petani, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi cekaman terendam tanpa harus memindahkan bibit. Faktor penting dalam toleransi terhadap perendaman pada padi adalah kemampuannya memelihara cadangan karbohidrat yang tinggi, terutama setelah terendam. Demikian juga dengan konsentrasi klorofil yang tinggi selama terendam merupakan ciri genotipe toleran, karena tanaman dapat melakukan fotosintesis relatif lebih baik selama terendam dan juga setelah air surut untuk melanjutkan p rtumbuhan dan pemulihan yang lebih cepat (Das et al., 2005).

KESIMPULAN
Introgresi gen Sub1 ke dalam genotipe lokal pada generasi BC1F1 (Payak Selimbuk-FR13A dan Pelita Rampak- FR13A) dapat meningkatkan toleransinya terhadap cekaman rendaman. Meningkatnya toleransi genotipe lokal terhadap cekaman rendaman selama 14 hari dicerminkan dari meningkatnya persentase tanaman hidup, penurunan bobot kering yang lebih rendah pada tanaman BC1F1 dibandingkan tetuanya.


Lahan rawa pasang surut sulfat masam yang telah mengalami degradasi sering menjadi lahan bongkor. Lahan terdegradasi tersebut bisa dihindari dengan tetap menjaga muka air tanah agar kekeringan tidak melewati lapisan pirit dengan cara mengatur pasang dan surut (Suriadikarta, 2005). Kondisi kekeringan tersebut menjadi awal dari kerusakan lahan akibat terjadi oksidasi pirit (FeS2), oksidasi tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi racun besi (Fe2+) dan senyawa sulfat yang mengakibatkan pemasaman tanah (Priatmadi, 2008; Alwi et al., 2010; Mawardi dan Djatmokertonegoro, 2011). Menurut Priatmadi dan Haris (2008), oksidasi yang terjadi dalam waktu yang lama akan meningkatkan kemasaman lahan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan goyahnya kisi-kisi mineral, sehingga melarutkan logam berat seperti Al, Mn, Zn, dan Cu (Suriadikarta, 2005; Saad et al., 2008).
Lahan sulfat masam dengan kondisi yang demikian bisa diperbaiki dengan perlakuan lindi, untuk mengurangi konsentrasi senyawa meracun seperti Fe2+, SO4 2-, H+, dan kemasaman tanah (Noor et al., 2008; Alwi et al., 2010). Senyawa Fe2+ dikenal sebagai racun besi yang dapat menyebabkan turunnya hasil padi 30-100%, tergantung tingkat keracunan dan kesuburan tanahnya (Majerus et al., 2007; Khairullah et al., 2011a).
Produksi padi pada lahan pasang surut sulfat masam yang tidak terdegradasi yang diberi pupuk lengkap (90 kg N ha-1+ 60 kg P2O5 ha-1+ 50 kg K2O ha-1) + 1 ton kapur ha-1, memberikan hasil 4.5-5.0 ton ha-1 (Khairullah et al., 2011b), sedangkan pada lahan yang terdegradasi hasilnya 0.4-1 ton ha-1.
Pada tanaman padi, jumlah anakan merupakan indikator keragaan tanaman (Herawati et al., 2009). Meningkatnya jumlah anakan mengindikasikan kondisi lingkungan tumbuh yang baik (Buang, 2009; Utama et al., 2009; Kairullah et al., 2011b).

KESIMPULAN
Hasil padi pada lahan sulfat masam terdegradasi di lahan pasang surut dapat ditingkatkan melalui kombinasi perlakuan lindi dengan olah tanah. Pengolahan tanah sedalam 15 cm, memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan kedalaman 30 cm. Pertumbuhan dan hasil padi dapat meningkat, akibat menurunnya konsentrasi senyawa meracun dalam tanah, terutama racun besi dan S-pirit melalui proses pelindian.


Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Umbi ubi kayu mengandung karbohidrat (termasuk pati) yang digunakan sebagai bahan pangan, pakan serta bahan baku berbagai industri. Rawan pangan dan kebutuhan industri berbahan baku pati menyebabkan kebutuhan terhadap ubi kayu meningkat,karena pati ubi kayu dapat bersaing dengan pati lainnya untuk  produksi beberapa industri. Selain itu, sejak krisis energi tahun 1970, cadangan energi fosil dunia semakin langka yang mendorong masyarakat dunia mencari pengganti bahan baku energi yang terbaharukan seperti biofuel. Ubi kayu menjadi salah satu komoditas yang diharapkan mampu menyediakan bahan baku biofuel tersebut, karena memiliki kandungan pati yang cukup tinggi. Hasil penelitian Susilawati et al. (2008) menunjukkan bahwa kadar pati varietas Kasetsart berumur panen 10 bulan di Desa Gunung Agung Kecamatan Sekampung Udik Lampung mencapai 35.93%. 
Upaya pengembangan industri berbasis ubi kayu dan pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan menuntut pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas unggul baru yang memiliki beberapa keunggulan, termasuk berdaya hasil tinggi. Peningkatan potensi hasil dapat dilakukan apabila tersedia sumber keragaman genetik yang cukup. Ubi kayu merupakan tanaman yang membiak vegetatif dan hanya berbunga pada ketinggian di atas 800 m dpl.
Hal ini menyebabkan ubi kayu memiliki keragaman genetik yang rendah, sehingga perlu dilakukan peningkatan keragaman genetik. Keragaman genetik dapat diperoleh dari rekombinasi gen, melalui hibridisasi, rekayasa genetik, atau induksi mutasi.
Induksi mutasi dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia (EMS (ethylene methane sulfonate), NMU (nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), dan lainlain) atau mutagen fisik (sinar gamma, sinar X, sinar neutron dan lain-lain). Mutasi dengan iradiasi pada bagian vegetatif tanaman memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan dengan mutagen kimia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya daya serap jaringan vegetatif tanaman terhadap cairan kimia. Sinar gamma mempunyai energi iradiasi tinggi, yaitu di atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya (Crowder, 2006).
Radiosensitivitas tanaman terhadap iradiasi sinar gamma dapat diketahui melalui respon fisiologis bahan tanaman yang diiradiasi, termasuk penentuan dosis yang menyebabkan kematian pada tanaman yang diiradiasi sebesar 20-50% atau lethal dose (LD20-LD50). Mutan-mutan yang diinginkan umumnya berada pada selang LD20 dan LD50. Radiosensitivitas bervariasi tergantung pada spesies dan kultivar tanaman, kondisi fisiologis dan organ tanaman (Herison et al., 2008, Aisyah et al., 2009). Dosis optimum iradiasi sinar gamma pada ubi kayu secara in vitro berkisar antara 12-25 Gy (Owoseni et al., 2006). Dosis iradiasi sinar gamma yang optimum bervariasi tergantung genotipe tanaman dan organ tanaman yang diiradiasi. Dosis iradiasi optimum dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman umumnya berkisar antara LD20 dan LD50 (Indriyati et al., 2011).
Iradiasi sinar gamma yang menembus inti sel dapat menyebabkan terjadinya mutasi, tetapi tidak bisa diarahkan pada target tertentu (bersifat acak). Pengaruh mutasi yang bersifat acak terlihat dari populasi mutan yang tidak memberikan pola perubahan teratur. Keseluruhan perubahan pada galur mutan diduga terjadi akibat mutasi yang menyebabkan proses fisiologis yang dikendalikan secara genetik dalam tanaman menjadi tidak normal dan menimbulkan variasi genetik baru. Tofino et al. (2011) melaporkan bahwa ubi kayu hasil iradiasi sinar gamma 200 Gy menghasilkan bunga dengan penebalan pada ovarium tanpa terjadi antesis, menghasilkan bunga hermaprodit, perubahan warna kulit pada batang, dan luas daun menjadi lebih kecil pada generasi M1.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa nilai LD20 dan LD50 bervariasi antar genotipe tanaman. Nilai LD20-LD50genotipe Jame-jame, Ratim, UJ-5, Malang-4, dan Adira-4 berturut-turut 24.94-33.24 Gy, 24.06-29.53 Gy, 18.80-29.50 Gy, 7.53-18.47 Gy, dan 21.81-30.71 Gy. Dosis iradiasi 15 dan 30 Gy, serta posisi setek bagian tengah dapat meningkatkan keragaman fenotipe karakter bobot umbi ubi kayu. Berdasarkan hasil iradiasi diperoleh 32 mutan putatif potensial ubi kayu yang memiliki bobot umbi di atas rataan genotipe asal.


Cabai (Capsicum spp.) diperkenalkan di Asia dan Afrika pada abad ke-16 oleh pedagang Portugis dan Spanyol melalui jalur perdagangan dari Amerika Selatan (Djarwaningsih, 2005). Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima diantaranya telah dibudidayakan, yaitu C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C. baccatum, dan C. pubescens. Klasifikasi spesies-spesies ini didasarkan pada 1) karakter morfologi, terutama morfologi bunga, 2) persilangan dapat dilakukan antar spesies, dan 3) biji hibrida antar spesies fertil. Spesies C. baccatum dan C. pubescens mudah diidentifikasi dan dibedakan satu dengan yang lainnya, karena terdapat perbedaan sifat yang jelas pada kedua spesies tersebut; C. baccatum mempunyai bercak kuning pada petal yang berwarna putih, dan C. pubescens mempunyai petal ungu dan biji hitam. Spesies C. annuum, C. chinensis dan C. frutescens mempunyai banyak sifat yang sama, sehingga untuk membedakannya dapat dilakukan dengan mengamati bunga dan buah dari masing-masing spesies (Pickersgill, 1989). Rodrigues dan Tam (2010) membedakan spesies C. annuum dan C. frutescens dengan marker molekuler. Sanatombi dan Sharma (2007) menyatakan bahwa perbanyakan C. frutescens juga bisa dilakukan melalui stek tunas.
Capsicum annuum L. adalah tumbuhan berupa terna, biasanya berumur hanya semusim, berbunga tunggal dan mahkota berwarna putih dan ada yang ungu, bunga dan buah muncul di setiap percabangan, warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan, posisi buah menggantung. C. frutescens L. adalah tumbuhan berupa terna, hidup mencapai 2 atau 3 tahun. Bunga muncul berpasangan di bagian ujung ranting dalam posisi tegak, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan atau hijau keputihan dengan bentuk seperti bintang. Buah muncul berpasangan pada setiap ruas, rasa cenderung sangat pedas, bentuk buah bervariasi mulai dari bulat memanjang atau setengah kerucut, warna buah setelah masak biasanya merah dengan posisi buah tegak. Spesies ini kadang-kadang disebut cabai burung (Greenleaf, 1986; Pickersgill, 1989; Djarwaningsih, 2005).
Capsicum pubescens R.&P. adalah tumbuhan berupa terna, berbulu lebat, bunga dan buah tunggal atau bergerombol berjumlah 2-3 bunga pada tiap ruas dengan posisi tegak, mahkota bunga berwarna ungu dan berbulu. Buah memiliki rasa pedas, berbentuk bulat telur, warna setelah masak bervariasi dari merah, jingga atau cokelat, posisi buah menggantung, biji berwarna hitam. C. baccatum L. adalah tumbuhan berupa terna, memiliki bunga tunggal yang muncul di bagian ujung ranting, posisi bunga tegak atau menggantung, mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkota, berbentuk seperti bintang dengan kelopak bunga berbentuk lonceng. Buah tanaman ini bersifat tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat memanjang, warna buah intermediet dan buah masak bervariasi yaitu merah, jingga, kuning, hijau atau cokelat. Buah tumbuh dengan posisi buah tegak atau menggantung. C. chinense Jacq. ialah tumbuhan berupa terna, bunga menggerombol berjumlah 3-5 bunga pada tiap ruas, dengan posisi tegak atau merunduk, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan dan berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol mencapai 3-5 buah pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, kulit buah keriput atau licin dan warna buah masak bervariasi mulai dari merah, merah jambu, jingga, kuning atau coklat (Greenleaf, 1986; Pickersgill, 1989; Djarwaningsih, 2005).
Sebagian besar spesies Capsicum bersifat menyerbuk sendiri (self pollination) tetapi penyerbukan silang (cross pollination) secara alami dapat pula terjadi dengan bantuan lebah dengan persentase persilangan berkisar 7.6-36.8% (Greenleaf, 1986). Kim et al. (2009) melaporkan bahwa penyerbukan silang alami pada tanaman cabai dapat terjadi dalam jarak 18 m.
Umumnya persilangan antar spesies cabai bisa dilakukan, karena antar spesies cabai tersebut mempunyai kesamaan genom yaitu diploid (2n=2x=24) (Wang dan Bosland, 2006). Namun persilangan tersebut ada yang relatif mudah misalkan antara C. annuum x C. chinense dan C. frutescens x C. pendulum, dan ada yang sangat sulit untuk persilangan C. annuum x C. frutescens, C. annuum x C. pubescens dan C. pendulum x C. pubescens (Greenleaf, 1986).
Hasil penelitian Setiamihardja (1993), menyatakan bahwa cabai rawit spesies C. frutescens hanya dapat dijadikan sebagai tetua betina ketika disilangkan dengan C. annuum dalam kegiatan persilangan buatan dan akan menghasilkan tanaman yang fertil. Nowaczyk et al. (2006) melakukan persilangan interspesifik (C. frutescens x C. annuum) dan berhasil dengan tujuan untuk meningkatkan kadar kepedasan (capsaicin), namun tidak dilakukan pada persilangan resiproknya (C. annuum x C.frutescens). Dari dua hasil penelitian yang sudah dilakukan tersebut, terlihat bahwa persilangan interspesifik antara C. frutescens dengan C. annuum akan berhasil jika C. frutescens hanya dijadikan sebagai tetua betina. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Kumar et al. (2010), yang menyatakan bahwa pada persilangan interspesifik C. annuum dengan C. chacoense akan mendapatkan benih jika C. annuum dijadikan sebagai tetua betina. ersilangan antar spesies (interspesifik) memerlukan waktu yang relatif lama karena sulit dilakukan dan keberhasilanny a relatif kecil akibat adanya sifat inkompatibiltas dan kegagalan persilangan yang cukup tinggi serta hasil persilangan antar spesies juga sering menunjukkan sterilitas yang tinggi (Greenleaf, 1986). Persilangan antar spesies telah banyak dimanfaatkan baik pada tanaman cabai maupun tanaman lain. Kirana (2006) melakukan persilangan antar varietas lokal cabai dapat memperbaiki daya hasil cabai. Anandhi dan Khader (2011) memanfaatkan persilangan antar spesies cabai untuk melihat ketahanan terhadap virus keriting pada daun cabai. Pada tanaman selain cabai, seperti pada tanaman lada (Pipper spp.) (Wahyuno et al., 2010), untuk mendapatkan ketahanan terhadap busuk pangkal batang dengan memanfaatkan lada liar. Malek (2007) menyilangkan Brasica rapa x B. nigra. Fu et al. (2009) menyilangkan Oryza sativa dan O. meyeriana. Ackermann et al. (2008) memanfaatkan persilangan antar spesies pada tanaman Caiophora. Miyashita et al. (2012) menyilangkan antara Vaccinium corymbosum dan V. virgatum. Persilangan antar spesies pada tanaman gandum (gandum budidaya x gandum liar) memiliki keberhasilan yang rendah sekitar 9.1% (Mishina et al., 2009) demikian halnya pada tanaman sambiloto 13.33% (Valdiani et al.,2012).


KESIMPULAN
Cabai rawit C. frutescens memiliki kemampuan bersilang yang rendah dan menghasilkan benih F1 yang steril jika berposisi sebagai tetua jantan. Sebaliknya jika C. frutescens berposisi sebagai tetua betina memiliki kemampuan bersilang tinggi dan menghasilkan benih F1 yang fertil. Analisis komponen utama dan analisis gerombol berdasarkan karakter morfologi menghasilkan dua kelompok cabai rawit. Kelompok I teridentifikasi sebagai spesies C. frutescens (IPBC288, IPBC295, IPBC163, IPBC289, IPBC294, IPBC61, IPBC139, IPBC63 dan IPBC285) dan kelompok II sebagai C. annuum (IPBC287, IPBC293, IPBC145, IPBC160, IPBC292, IPBC133, IPBC284, IPBC8, IPBC291, IPBC10, IPBC126 dan IPBC174). Berdasarkan hasil analisis daya silang atau crossability (karakter biologi), analisis komponen utama dan analisis gerombol (karakter morfologi) didapatkan dua kelompok cabai rawit yaitu spesies C. annuum dan C. frutescens. Kedua kelompok tersebut secara morfologi mempunyai perbedaan karakter yaitu warna mahkota (corolla), warna anter, warna bua h muda, tangkai buah, dan bentuk daun.


Jeruk keprok garut adalah salah satu jenis jeruk unggulan nasional. SK Menteri Pertanian No. 760 tahun 1999 menetapkan jeruk keprok garut sebagai varietas unggul (Balitbangtan, 1999). Keprok garut mempunyai rasa asam manis, kulitnya mudah dikupas, warna kulit hijau kekuningan dan mempunyai biji sekitar 12-15 butir per buah. Saat ini kriteria buah jeruk yang digemari oleh konsumen dan pasar global adalah buah jeruk yang mempunyai biji sedikit atau tanpa biji (seedless), mudah dikupas dan memiliki warna yang menarik. Beberapa kriteria tersebut belum dimiliki oleh keprok garut sehingga kalah bersaing di pasar global.
Peningkatan kualitas buah jeruk keprok garut yang telah memiliki karakter unggul dapat dilakukan dengan teknik pemuliaan mutasi. Aplikasi pemuliaan mutasi dapat dilakukan secara in vitro, adanya keragaman yang ditimbulkan dan diregenerasi melalui kultur in vitro maka terbuka peluang untuk mendapatkan genotipe baru yang unggul (Hutami et al., 2006). Teknologi kultur jaringan yang dapat dikombinasikan untuk mengoptimalkan hasil yaitu metode embryogenesis somatik. Proses embrio somatik dimulai dengan terbentuknya sel-sel embriogenik berukuran kecil dengan isi sitoplasma yang penuh, nukleus yang membesar, vakuola yang kecil dan kaya akan butir-butir pati yang padat, kemudian sel-sel tersebut berubah menjadi preembrio yang berkembang menjadi fase globular, jantung dan kotiledon, dan ciri struktur bipolar yaitu memiliki dua calon meristem (akar dan tunas) (Husni et al., 2010). 
Aplikasi induksi mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar Gamma telah banyak dilakukan seperti pada tanaman anggrek Spathoglottis plicata Blume (Romeida et al., 2012) dan bunga anyelir (Aisyah, 2009) yang berhasil menginduksi perubahan pada warna bunga. Aplikasi iradiasi sinar gamma pada Jeruk Mandarin Kinnow varietas lokal di Pakistan menghasilkan jeruk tanpa biji (Altaf et al., 2004). 
Peningkatan kualitas dapat dilakukan melalui kombinasi pemuliaan mutasi dan teknik kultur jaringan yaitu eksplan diberikan perlakuan mutasi fisik berupa iradiasi sinar gamma dan diregenerasi menjadi tanaman baru dengan bantuan teknologi kultur jaringan.
Regenerasi kalus hasil iradiasi sinar gamma dalam media pendewasaan merupakan tahap yang paling sulit. Dibutuhkan media yang tepat dan optimal untuk meregenerasikan kalus embriogenik menjadi tanaman. Kalus hasil iradiasi diregenerasikan dalam media pendewasaan.Kalus embriogenik yang terdiri dari 100 proembrio per  clumps ditanam dalam media pendewasaan dan mulai mengalami perubahan pada minggu ke-3 setelah tanam. Perubahan awal yang terjadi adalah membesarnya sel-sel proembrio membentuk globular yang selanjutnya berubah menjadi seperti jantung, torpedo dan kotiledon. Perubahan ini terjadi secara bertahap. 
Berdasarkan beberapa penelitian pada jeruk keprok batu (Merigo, 2011), jeruk siam (Husni et al., 2010), nenas simadu (Purnamaningsih et al., 2009), kelapa sawit (Sumaryono et al., 2008), ABA banyak berperan untuk mematangkan embrio dalam meningkatkan perkembangan embrio sehingga mampu berdiferensiasi menjadi embrio dewasa.

KESIMPULAN
Lethal dose (LD50) kalus embriogenik jeruk keprok garut adalah 75.31 Gy. Tahap regenerasi kalus menghasilkan 887 embrio somatik dengan 31.76% mampu berkecambah dan 5.19% mampu beregenerasi menjadi 46 planlet. Iradiasi gamma pada dosis 70 Gy menghasilkan populasi planlet dengan keragaman yang luas. Pengamatan kualitatif secara visual pada populasi planlet yang dihasilkan terpilih 9 planlet dengan karakter beragam dan diperoleh keragaman planlet berdasarkan penanda morfologi sebesar 0-58%.


Karakterisasi Anggrek Alam secara Morfologi dalam Rangka Pelestarian Plasma Nutfah

Famili Orchidaceae adalah salah satu famili tanaman berbunga yang memiliki keragaman spesies yang tinggi dan telah menghasilkan berbagai pola diferensiasi genetik antara populasi (Niknejad et al., 2009). Indonesia memiliki kekayaan ragam spesies anggrek yang sangat penting untuk dilestarikan karena spesies-spesies tersebut semakin mendekati kepunahan. Berbagai spesies perlu diteliti kekerabatannya dalam rangka mendukung program pemuliaan tanaman. Keunggulan tanaman anggrek ditentukan oleh warna, ukuran, bentuk, susunan, jumlah kuntum bunga per tangkai, panjang tangkai dan daya tahan kesegaran bunga (Widiastoety et al., 2010).  
Areal hutan di Jawa sudah banyak yang terkonversi menjadi pemukiman atau perkebunan sehingga populasi anggrek di alam mulai terancam. Selain itu para pedagang anggrek alam yang secara ilegal memanen di alam tanpa ada usaha untuk membudidayakannya, turut memacu penurunan jumlah populasi anggrek alam (Puspitaningtyas, 2005).  
Program pemuliaan tanaman memerlukan informasi tentang keragaman dan klasifikasi yang dapat menunjukkan tingkat dan hubungan antara kultivar sebagai dasar untuk seleksi (Nandariyah, 2010). Xue et al. (2010); Yulia dan Russeani (2008) menyatakan bahwa semakin jauh hubungan kekerabatan suatu spesies tanaman, maka semakin sulit untuk disilangkan. Penentuan hubungan kekerabatan dapat dilakukan secara fenotipik dan genotipik. Hubungan kekerabatan secara fenotipik dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi.
Karakterisasi morfologi anggrek alam diperlukan untuk pelestarian plasma nutfah anggrek di Indonesia serta menyeleksi ragam plasma nutfah anggrek alam yang memiliki sifat-sifat unggul untuk dijadikan tetua dalam hibidisasi/persilangan. Identifikasi morfologi adalah proses yang digunakan untuk mengetahui karakter fenotip dari suatu tanaman. Menurut Susantidiana et al. (2009), identifikasi morfologi suatu tanaman dilakukan dengan mengamati daun, batang, bunga, buah, akar dan lain sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman. Purwantoro et al. (2005) menyatakan bahwa identifikasi morfologi juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu spesies. 
Anggrek alam asal Jawa jumlahnya masih terbatas dan belum banyak teridentifikasi, sehingga perlu dilakukan penelitian pada beberapa spesies dari genus Paphiopedilum, Coelogyne, Dendrobium, Bulbophyllum. Kedekatan hubungan kekerabatan genetik antar tetua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan persilangan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan genetik dengan melakukan karakterisasi anggrek secara morfologi.
Bermawie (2005) menyatakan bahwa karakterisasi merupakan suatu kegiatan dalam konservasi plasma nutfah untuk mengetahui sifat morfologi yang dapat dimanfaatkan dalam membedakan antar aksesi, menilai besarnya keragaman genetik, mengindentifikasi varietas menilai jumlah aksesi dan sebagainya. 

KESIMPULAN
Hasil dendrogram berdasarkan matrik kemiripan 52% diperoleh dua kelompok besar, masing-masing dalam satu kelompok maupun sub kelompok yang dapat dijadikan tetua sebagai bahan persilangan yaitu kelompok I : Paphiopedilum glaucophylum, P. javanicum, P. purpurascens, Coelogyne spesiosa, C. flexuosa, Dendrobium mutabile, Bulbophyllum blumei dan B. biflorum. Yang terbagi sub kelompok I: Paphiopedilum glaucophylum, P. javanicum, P. purpurascens, sub kelompok II : C. spesiosa, C. flexuosa, sub kelompok III Dendrobium mutabile, sub kelompok IV Bulbophyllum blumei dan B. biflorum. Kelompok II: C. tomentosa, C. trinervis, Bulbophyllum flavescens, dan Dendrobium crumenatum. Yang terbagi menjadi dua subkelompok yaitu sub kelompok I : Coelogyne tomentosa, dan C.trinervis sub kelompok II Bulbophyllum flavescens, dan Dendrobium crumenatum. 


Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan total produksi 24 juta ton minyak sawit mentah pada tahun 2011 yang setara dengan 52% dari total produksi dunia. Total area untuk pertanaman kelapa sawit di Indonesia mencapai 9.1 juta hektar dengan nilai ekspor sebesar 19.6 juta ton minyak mentah (Indonesian Sustainable Palm Oil Commission, 2012) atau setara USD 16.1 juta. Minyak kelapa sawit terutama digunakan untuk minyak sayur pada industri pangan yang diantaranya sebagai minyak goreng, margarin, mentega, dan sebagian kecil untuk industri non pangan (Pande et al., 2012).
Usaha perbaikan karakter penting tanaman kelapa sawit terus dilakukan salah satunya melalui program pemuliaan dengan metode Reciprocal Recurrent Selection (RRS) (Bakoume et al., 2010) atau program seleksi berulang. Akan tetapi pada kenyataannya program seleksi setiap generasi ini mengakibatkan penurunan dasar genetik pada populasi kelapa sawit sehingga menyisakan sumber gen yang memiliki kekerabatan yang semakin dekat. Konsorsium perusahaan kelapa sawit nasional telah melakukan eksplorasi kelapa sawit ke negara Kamerun dan Angola, Afrika. Hal ini disebabkan adanya keperluan mendesak untuk memperluas dasar genetik kelapa sawit untuk mendapatkan karakter-karakter penting seperti kemampuan adaptasi pada lingkungan khusus, pertumbuhan vegetatif yang lambat, tangkai buah yang panjang, betakaroten tinggi, nilai iodine dan ketahanan terhadap penyakit seperti Ganoderma (Tasma et al., 2013; Ajambang et al., 2012). Angola adalah salah satu negara asal kelapa sawit di Afrika diantara beberapa negara di sepanjang Laut Atlantik Selatan (Corley dan Tinker, 2003). Oleh karena itu, Angola digunakan sebagai salah satu tujuan eksplorasi.
Keberlanjutan produksi dan suplai produk kelapa sawit dunia perlu dipertahankan dengan pemuliaan yang lebih intensif melalui studi keragaman genetik untuk menjamin bahwa bahan tanam dengan produktivitas tinggi tersedia untuk dibudidayakan. Pemahaman mengenai keragaman genetik dan hubungan dengan materi plasma nutfah kelapa sawit sangat penting dalam menyeleksi materi bahan tanam unggul. Plasma nutfah merupakan sumber gen baru yang harus dialokasikan sebagai materi pemuliaan yang sangat menjanjikan. Ketersediaan keragaman genetik dalam plasma nutfah sangat membantu meningkatkan efisiensi kegiatan pemuliaan yang mampu menghasilkan capaian seleksi yang diharapkan.
Keragaman genetik berbasis informasi agromorfologis untuk mengevaluasi keragaman genotipik, saat ini dirasakan sudah tidak memadai lagi. Oleh sebab itu aplikasi marka molekuler sudah menjadi satu keharusan untuk meningkatkan efisiensi dalam menganalisis kekerabatan, pemetaan gen, dan marker-assisted selection (MAS) pada tanaman-tanaman pangan seperti padi (Susanto et al., 2008), jagung (Vigouroux et al., 2005), tanaman perkebunan seperti kelapa sawit (Billotte et al., 2005; Billotte et al., 2010; Marhalil et al., 2013;), serta tanaman kehutanan dan hortikultura (Benor et al., 2008; Fofana et al., 2009).
Simple Sequence Repeat (SSR) populer digunakan sebagai marka molekuler karena bersifat kodominan. Lokus mikrosatelit juga bersifat spesifik (satu lokus setiap pasangan primer) dengan kandungan informasi polimorfik yang cukup tinggi (Li et al., 2002). Analisis keragaman genetik pada aksesi plasma nutfah kelapa sawit telah dilakukan menggunakan marka SSR (Singh et al., 2008; Zaki et al., 2010; Zaki et al., 2012; Arias et al., 2012; Tasma dan Arumsari, 2013). 

KESIMPULAN
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi tingginya tingkat keragaman genetik individu-individu plasma nutfah kelapa sawit asal Angola. Persentase lokus polimorfik sebesar 100% dan nilai PIC sebesar 0.55 pada 136 individu plasma nutfah kelapa sawit asal Angola. Keragaman genetik berdasarkan lokus yang dianalisis menunjukkan individu cenderung tersebar pada analisis klaster. Pengelompokan individu tidak berdasarkan pada daerah distribusi spasial. Penyebaran individu tersebut menunjukkan terdapatnya satu struktur populasi yang tidak dibatasi oleh daerah dimana aksesi dikoleksi dan mengindikasikan tingginya pertukaran genetik antar individu pada saat persilangan dan juga dapat didukung oleh migrasi materi genetik melalui persebaran biji.


Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia terutama sebagai penghasil devisa negara. Kelapa sawit tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga bahan baku industri, farmasi dan bahan bakar nabati atau biodiesel (Palupi dan Dediwiryanto, 2008; Zulkifli et al., 2010; Murphy, 2014). Produktivitas buah kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak faktor seperti iklim, tanah, curah hujan, potensi genetik tanaman dan pemeliharaan tanaman (Adam et al., 2005; Wigena et al., 2009; Zuraidah et al., 2012). Salah satu faktor yang berperan penting yaitu pemeliharaan tanaman dalam hal ini pemupukan. Biaya pemupukan berkisar antara 40-60% dari biaya pemeliharan tanaman atau sekitar 30% dari total biaya produksi (Goh dan Hardter, 2003). Tujuan pemupukan adalah menyediakan hara yang cukup bagi tanaman (Tarmizi dan Tayeb, 2006; Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara esensial untuk pertumbuhan dan perkembangannya, baik unsur hara makro maupun mikro. Unsur hara makro utama untuk pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit adalah nitrogen, fosfor dan kalium (Tarmizi dan Tayeb, 2006). Unsurunsur hara tersebut dapat diperoleh dari pupuk anorganik yang bersumber dari Urea, SP-36 dan KCl. Nitrogen berperan dalam memacu pertumbuhan vegetatif tanaman, penyusun dari banyak senyawa seperti klorofil, asam-asam amino, protein, asam nukleat dan asam-asam organik serta meningkatkan kualitas daun (Rubio et al., 2009). Fosfor berperan dalam pembelahan sel, pembentukan buah, bunga, dan biji, kematangan tanaman, merangsang perkembangan rambut akar, kualitas hasil tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Goh dan Hardter, 2003; Boroomand dan Grouh, 2012). Kalium berperan dalam proses fisiologis tanaman diantaranya sebagai aktivator enzim, pengaturan turgor sel, transpor hara dan air, meningkatkan daya tahan tanaman, sintesis minyak, jumlah dan ukuran tandan (Goh dan Hardter, 2003).
Ruhnayat (2007) menyatakan bahwa pemupukan yang efektif dan efisien dipengaruhi oleh jenis dan dosis pupuk. Informasi mengenai dosis pupuk tunggal N, P, dan K yang tepat untuk tanaman kelapa sawit belum menghasilkan umur satu tahun akan bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi dan keefektifan pemupukan perkebunan kelapa sawit di suatu daerah (Tarmizi dan Tayeb, 2006; Webb, 2009).
Dasar teori dalam penetapan dosis optimum adalah dengan turunan pertama fungsi kuadratik, fungsi tersebut dapat mewakili keadaan hara dalam kondisi kahat, cukup dan berlebihan (Webb, 2009; Amisnaipa et al., 2009). Namun jumlah pelepah daun tidak dapat dipakai sebagai acuan penentuan dosis optimum karena lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan (Adam et al., 2011), sehingga pada penelitian ini dosis optimum paket pupuk tunggal belum bisa ditentukan.
Corley dan Mook (1972) menyatakan bahwa aplikasi pupuk N, P dan K mampu meningkatkan berat kering tanaman kelapa sawit melalui peningkatan luas daun dan laju asimilasi bersih tanaman. Luz et al. (2006) melaporkan bahwa pemberian pupuk nitrogen meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan bibit tanaman “lady palm” (Rhapis excels). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa pemberian pupuk N, P dan K mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit baik di pembibitan utama maupun di lapang (Kasno et al., 2010; Jannah et al., 2012; Uwumarongie et al., 2012; Poleuleng et al., 2013).
Pemberian pupuk urea meningkatkan ketersediaan hara N yang menjadi faktor penting dalam pembentukan klorofil. Korelasi antara kadar klorofil dan kadar N daun nyata positif (0.582) (Tabel 2), yang menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kadar N daun maka kadar klorofil meningkat yang juga akan meningkatkan fotosintesis. Jumlah klorofil yang tinggi menandakan bahwa proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik sehingga tanaman mendapatkan energi untuk pertumbuhannya (Suharno et al., 2007; Boussadia, 2010; Ai dan Banyo, 2011).
Goh dan Hardter (2003) menyatakan bahwa fosfor berperan dalam merangsang perkembangan perakaran tanaman kelapa sawit sehingga mampu meningkatkan penggunaan dan pengangkutan hara tanaman.

KESIMPULAN
Secara umum pemberian paket pupuk tunggal meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit secara linier pada peubah tinggi tanaman, lingkar batang, luas daun, kadar klorofil dan kadar P daun; dan secara kuadratik pada jumlah pelepah daun pada akhir pengamatan. Dosis optimum paket pemupukan tunggal untuk tanaman kelapa sawit umur satu tahun belum dapat ditentukan pada rentang dosis paket pupuk tunggal yang digunakan pada penelitian ini, karena belum tercapainya keseimbangan hara didalam tanaman terutama untuk hara K sehingga respons pertumbuhan tanaman secara umum masih berpola linier.


Penggunaan varietas unggul baru (VUB) yang responsif terhadap pemupukan mendorong petani untuk mengaplikasikan pupuk anorganik dosis tinggi serta tidak mengaplikasikan bahan organik ke dalam tanah. Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik tanah menurun sehingga terjadi degradasi kesuburan lahan yang menjadi salah satu faktor pembatas untuk memperoleh hasil yang tinggi. Pelandaian produktivitas padi di Indonesia diduga karena menurunnya kesuburan tanah akibat tidak tepatnya penerapan pupuk. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang dapat membenahi tanah yang telah mengalami kemunduran, meningkatkan kemampuan tanah menjerap unsur hara agar pemupukan menjadi lebih efisien, mampu menyimpan air lebih banyak, serta memperbaiki kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pengembalian bahan organik ke lahan sawah dan aplikasi pupuk hayati merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga dosis pupuk NPK diharapkan dapat dikurangi dan gangguan kesehatan tanah dapat diatasi. Pupuk organik merupakan sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) sehingga daya jerap kation tanah meningkat dan pupuk anorganik yang diberikan ke tanah menjadi lebih efisien dibandingkan dengan yang hanya diaplikasikan pupuk anorganik saja, meningkatkan daya pegang air (water holding capacity), dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn (Balai Penelitian Tanah, 2009). Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair dan merupakan sumber energi dan makanan bagi mikroba dan mesofauna tanah (Hasanuzzaman et al., 2010). Menurut Ali et al. (2012) jika bahan organik cukup tersedia, aktivitas organisme tanah dapat memperbaiki ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentukan pori mikro dan makro tanah. Jerami merupakan bahan organik utama yang paling potensial ketersediaannya di lahan sawah. Pupuk organik cair (POC) umumnya diaplikasikan secara foliar spray (melalui tajuk tanaman). Pemberian pupuk organik secara foliar spray diduga dapat menyediakan hara makro dan mikro lebih cepat dibandingkan aplikasi melalui tanah yang harus melalui mekanisme jerapan dan proses mineralisasi (Wijaya, 2013). Pupuk hayati mengandung mikroba yang mampu memacu pertumbuhan tanaman, menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan sebagai agen hayati (bio-control) untuk menghambat serta mengendalikan penyakit tanaman (Yasari et al., 2008). Pembenaman jerami, aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga dosis pupuk anorganik dapat dikurangi dan kesehatan tanah dapat ditingkatkan. Penggunaan VUB terus dikembangkan untuk meningkatkan hasil tanaman padi. Akan tetapi, saat ini potensi genetik daya hasil VUB telah mendekati titik maksimum sehingga sulit ditingkatkan (Sugiyanta et al, 2008).
Beberapa pemulia tanaman padi mulai mengembangkan varietas padi tipe baru (PTB) atau padi tipe ideal yang diharapkan dapat meningkatkan daya hasil padi sawah. Padi tipe baru merupakan padi unggul yang arsitektur tanamannya dimodifikasi (Susilawati et al., 2010). Selain VUB dan PTB di beberapa daerah terdapat varietas lainnya, yaitu varietas unggul lokal (VUL). Menurut Wahyuti et al. (2013) varietas unggul lokal dengan produktivitas yang rendah tetap berkembang karena memiliki sifat aromatik, nilai ekonomi tinggi, dan toleran terhadap berbagai cekaman. Hasil penelitian Sugiyanta et al. (2008) menunjukkan bahwa setelah 3 musim tanam (MT) aplikasi 50% dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1, 50 kg SP-36 ha-1, dan 50 kg KCl ha-1) dengan pembenaman jerami menghasilkan hasil gabah yang sama dengan perlakuan 100% dosis pupuk anorganik. Hasil penelitian Xu et al. (2009) yang dilakukan pada tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa pembenaman jerami sekitar 7.2 ton ha-1 pada MT 1 dan 6.4 ton ha-1 pada MT 2 dapat mengurangi penggunaan dosis pupuk N hingga 32% dibandingkan dengan perlakuan tanpa pembenaman jerami.
Hasil penelitian selama 6 musim tanam (2010-2013) pada lahan yang digunakan untuk penelitian menunjukkan bahwa pengurangan 50% dosis NPK dengan pembenaman jerami, penambahan pupuk hayati, dan pupuk organik menghasilkan pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil tanaman padi varietas Ciherang yang tidak berbeda dengan 100% dosis NPK. Varietas VUB, PTB dan VUL memiliki karakter morfologi, agronomi, maupun fisiologi yang berbeda satu dengan yang lainnya, dengan perbedaan kondisi hara tanah sawah yang diberi perlakuan organik dan anorganik menimbulkan dugaan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil ketiga varietas padi tersebut.
Kanokkanjana dan Garivait (2013) menyatakan bahwa aplikasi jerami dan pupuk organik menyediakan hara yang lebih seimbang untuk tanaman, terutama mengandung unsur hara mikro yang meskipun diperlukan dalam jumlah sedikit tetapi berperan dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
Menurut Yoshida (1981) arsitektur kanopi adalah faktor yang menyebabkan perbedaan LTR yang nyata di antara genotipe tanaman padi. Lu et al. (2010) menambahkan bahwa pengaruh tipe tanaman terhadap hasil sangat tergantung pada struktur kanopi tanaman. LTR yang tinggi pada tahap awal pertumbuhan akan meningkatkan kapasitas source yang dapat memenuhi kebutuhan kapasitas sink, sehingga akan mempengaruhi hasil gabah.
Dekomposisi bahan organik dengan peran mikroorganisme tanah akan melepas unsur N, P, K, Mg, S dan Si (Sidhu dan Beri, 2008). Menurut Balai Penelitian Tanah (2009) pembenaman jerami 5 ton ha-1 musim-1 selama 4 musim tanam dapat menyumbang 170 kg K ha-1, 160 kg Mg ha-1, 200 kg Si ha-1, serta 1.7 ton C-organik ha-1. Saha et al. (2013) menambahkan bahwa aplikasi pupuk organik dengan pupuk anorganik selain dapat menghemat penggunaan pupuk anorganik, mencegah ketidakseimbangan hara, juga dapat mengurangi risiko pencemaran lingkungan, meningkatkan kesuburan tanah, serta meningkatkan hasil padi. Pupuk hayati mengandung mikroorganisme penambat N dan pelarut P yang dapat meningkatkan ketersediaan N dan P yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2013) menunjukkan bahwa penggunaan mikrob pelarut P (bakteri dan fungsi pelarut P) dapat mengurangi penggunaan P anorganik hingga 50% serta dapat meningkatkan hasil gabah dan serapan P pada jerami dan gabah. Menurut Widiyawati et al. (2014) penggunaan pupuk hayati yang mengandung konsorsium bakteri Azotobacter-like dan Azospirillum-like dapat mengurangi 25% penggunaan pupuk nitrogen anorganik dari dosis rekomendasi (100 kg ha-1) tanpa menurunkan hasil.

KESIMPULAN
Pertumbuhan ketiga varietas tidak berbeda, demikian juga dengan hasil tanaman padi sawah pada perlakuan pengurangan 50% dosis NPK dengan pembenaman jerami, aplikasi pupuk organik, dan hayati. Penambahan pupuk organik padat, pupuk organik cair, dan pupuk hayati pada perlakuan pembenaman jerami+50% dosis NPK tidak diperlukan lagi karena tidak meningkatkan hasil secara nyata.


Cekaman lingkungan merupakan tantangan utama dalam memproduksi tanaman secara berkelanjutan. Salah satunya adalah cekaman kekeringan yang dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman memberikan respon secara anatomi dan fisiologi, ketika menghadapi kondisi tercekam sebagai usaha untuk menerima, menghindari dan menetralisir pengaruh dari cekaman. Respon anatomi dan fisiologi tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan berbeda-beda tergantung pada genotipe tanaman (Kalefetoglu dan Ekmekci, 2005). 
Akar merupakan organ penting pada tanaman terutama untuk menyerap air dan unsur hara pada media tanam. Pada saat kekeringan dapat terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada tanaman terutama pada akar (Fenta et al., 2014). Tanaman lebih banyak mengembangkan sistem perakaran dalam menanggapi kekurangan unsur hara dan kekeringan (Lynch dan Brown, 2012). Kemampuan tanaman untuk mengangkut air ke daun berhubungan dengan kelangsungan hidup tanaman. Penyediaan air ke daun tergantung pada keberadaan kolom air pada xilem dari akar ke pucuk (Prihastanti, 2010). Sel-sel akar mengalami perubahanantara lain dengan meningkatkan atau mengurangi jumlahmaupun ukuran dalam menghadapi cekaman kekeringan. Akar tanaman kedelai mengalami pengurangan ukuran diameter stele dan xilem sebagai mekanisme toleransi tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan (Makbul et al., 2011).
Cekaman kekeringan dapat menyebabkan terjadinya embolisme pada xilem. Embolisme adalah peristiwa terbentuknya gelembung-gelembung gas berupa uap air dan kemudian menjadi gelembung udara yang terperangkap dalam xilem (Sperry dan Tyree, 1988), dan hal ini akan membatasi aliran air yang melewatinya sehingga dapat menurunkan kapasitas tanaman untuk mengangkut air menuju kanopi. Embolisme terjadi saat tegangan air xilem naik pada saat terjadi transpirasi yang tinggi atau kondisi tanah yang kering. Embolisme dapat menghambat aliran air dalam kolom yang dapat menyebabkan kematian tajuk, cabang bahkan seluruh tanaman (Tyree et al., 1999). 
Cekaman kekeringan juga dapat menginduksi cekaman oksidatif yang disebabkan oleh adanya aktivitas ROS. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas yang sangat berbahaya. Peningkatan ROS menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein dan DNA (Carvalho, 2008; Sharma et al., 2012). Cekaman oksidatif merupakan suatu kondisi saat lingkungan seluler mengalami peningkatan produksi Reactive Oxygen Species akibat overreduksi dari sistem cahaya fotosintesis karena senyawa reduktan yang tidak termanfaatkan akibat terhambatnya CO2 selama cekaman kekeringan, cekaman suhu, intensitas cahaya yang tinggi dan polusi (Borsani et al., 2001). Salah satu komponen seluler utama yang rentan terhadap ROS adalah lipid. Peroksida lipid merupakan peristiwa auto oksidasi dimana lipid membran mengalami kelebihan oksigen radikal bebas (superoksida). Peroksidasi lipid merupakan gejala yang paling jelas dari cekaman oksidatif pada sel dan jaringan tanaman (El-Beltagi dan Mohamed, 2013). 
Malondialdehyde (MDA) merupakan produk akhir dari peroksida lipid dan keberadaannya bisa menunjukkan tingkat cekaman oksidatif yang terjadi pada tanaman. Tingkat kerusakan sel akar akibat peroksida lipid berbeda untuk tiap spesies, bahkan tiap varietas dalam satu spesies. Varietas jagung yang peka terhadap cekaman kekeringan mengalami peroksidasi lipid lebih tinggi daripada varietas yang toleran (Valentovic et al., 2006). Penggunaan PEG (poly-ethylene glycol) untuk simulasi lingkungan cekaman kekeringan telah banyak dilakukan terutama pada kedelai (Husni et al., 2006; Widoretno et al., 2002). PEG merupakan bahan yang terbaik untuk mengontrol potensial air dan tidak dapat diserap tanaman sehingga tidak menyebabkan keracunan pada tanaman (Verslues et al., 2006). Aplikasi PEG 6000 pada berbagai percobaan terbukti menyebabkan terjadinya peroksida lipid pada jagung (Mohammadkhani dan Heidari, 2007), kacang karas atau kekara (Murthy et al., 2012) dan mentimun (Huai- Fu et al., 2014).  
Peningkatan ketebalan korteks yang terjadi pada SC 39-1 merupakan mekanisme genotipe untuk memperbanyak sel-sel dalam korteks sebagai upaya untuk menyimpan lebih banyak air. Hal ini terjadi juga pada genotipe kedelai yang peka terhadap cekaman kekeringan (Makbul et al., 2011), kopi (Melo et al., 2014) dan jagung (Fraser et al., 1990) yang mengalami kekeringan. Ketebalan korteks berhubungan dengan kapasitas penyimpanan air pada akar. Peningkatan jumlah sel yang terdapat dalam korteks meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan (Melo et al., 2014).
Penurunan diameter xilem akar sebagai respon terhadap kekeringan merupakan mekanisme untuk menghindari pengaruh embolisme pada xilem (Comas et al., 2013) sebagaimana terjadi pada padi (Henry et al., 2012), kacang buncis (Pena-Valdivia, 2010), kopi (Prihastanti, 2010) dan anggur (Lovisolo dan Schubert, 1998). Respon anatomi akar dalam menghadapi cekaman kekeringan berbeda-beda pada masing-masing genotipe. Perubahan anatomis akar tanaman kedelai (Makbul et al., 2011) dan kacang buncis (Pena-Valdivia et al., 2010) terutama xilem, dapat dijadikan sebagai variabel yang penting untuk menduga toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. 
Respon tanaman terhadap cekaman oksidatif, tergantung pada jenis dan tingkat cekaman serta genotipe tanaman. Penelitian lain pada akar genotipe kacang karas atau kekara (Bhardwaj dan Yadav, 2012), gandum (Shahbazi et al., 2012) dan tebu (Abbas et al., 2014) menunjukkan bahwa tingkat cekaman kekeringan dan genotipe yang berbeda memiliki mekanisme fisiologis yang berbeda pula untuk menyesuaikan diri dengan perubahan cekaman kekeringan, termasuk terjadinya peroksida lipid. Tanaman yang peka terhadap cekaman kekeringan mengalami peroksidasi lipid yang lebih berat. Hal ini bisa terjadi karena cekaman oksidatif yang terjadi melebihi tingkat kapasitas antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif (Niki et al., 2005). Pada tanaman bentgrass cekaman kekeringan menyebabkan terjadinya peningkatan peroksida lipid karena menurunnya aktivitas antioksidan (Costa dan Huang, 2007). Genotipe yang toleran memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi (Shahbazi et al., 2012). Antioksidan dapat membatasi tingkat kerusak n seluler yang disebabkan oleh ROS pada saat terjadi cekaman kekeringan (Sofo et al., 2005). Berbagai macam antioksidan dengan fungsi yang berbeda menghambat peroksidasi lipid dan efek buruk yang disebabkan oleh produk peroksidasi lipid (El-Beltagi dan Mohamed, 2013). Pembentukan peroksida lipid sebagai respon fisiologi akar pada masing-masing genotipe berbeda. 

KESIMPULAN
Perlakuan cekaman kekeringan dengan simulasi PEG menyebabkan terjadinya perubahan tebal korteks, diameter stele dan diameter xilem. Dalam kondisi cekaman kekeringan, PG 57-1 dan Wilis mengurangi tebal korteks, diameter stele dan diameter xilem untuk mengurangi pengaruh cekaman kekeringan. Sebaliknya pada genotipe SC 39-1 terjadi peningkatan tebal korteks, diameter stele dan diameter xilem. Peroksida lipid pada genotipe SC 39- 1 lebih besar dibandingkan dengan Wilis dan PG 57-1. Genotipe Wilis dan PG 57-1 toleran terhadap kekeringan sedangkan SC 39-1 tidak toleran terhadap kekeringan.


Kacang bogor [Vigna subterranea (L.) Verdcourt] adalah tanaman yang berasal dari Afrika Barat. Tanaman kacang bogor merupakan salah satu pangan yang menjanjikan, hal ini terlihat dari banyaknya perhatian di daerah asalnya yang ditunjukkan dengan banyaknya penelitian tentang tanaman ini. Beberapa penelitian tentang kacang bogor yang sudah dilakukan diantaranya mengenai proses adaptasinya (Onwubiko et al., 2011), respon fisiologi  terhadap kekeringan (Vurayai et al., 2011), dan kandungan nutrisinya (Amarteifio et al., 2006; Makanda et al., 2008; Akande et al., 2009). Kacang bogor baik untuk dikonsumsi dan kandungan gizinya cukup tinggi yaitu protein 20.75%, karbohidrat 59.93%, lemak 5.88%, air 10.43%, dan abu 3.03% (Hidayah, 2005; Suwanprasert et al., 2006). Kacang bogor dapat dibuat menjadi produk olahan seperti kacang goreng, kacang rebus, dan susu (Massawe et al., 2005).
Masalah utama dalam peningkatan hasil tanaman kacang bogor adalah masih rendahnya produktivitas. Produksi rata-rata kacang bogor yang ditanam petani di Indonesia masih tergolong sangat rendah, di bawah 4 ton ha-1 biji kering (Redjeki, 2007). Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar tanaman kacang bogor dapat berproduksi secara maksimal adalah dengan pemupukan yang tepat. Penyusunan rekomendasi pemupukan memerlukan uji korelasi dan uji kalibrasi, namun pengujian ini membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. 
Menurut Waugh et al. (1973) untuk mendapatkan data awal rekomendasi pemupukan dapat dilakukan jalan pintas melalui pendekatan multi nutrient response. Percobaan dilakukan dengan cara menanam pada tiga percobaan paralel perlakuan pemupukan N, P, dan K. Masing-masing pupuk menggunakan dosis bertingkat, sehingga didapat kebutuhan masing-masing hara pada kondisi threshold yield (ambang batas) dan juga kondisi maksimum. Threshold yield mengacu pada titik awal respon hasil akibat tanpa pemberian tambahan hara. Pendekatan multi nutrient response akan menghasilkan empat pilihan rekomendasi, yaitu berdasarkan pemupukan maksimum serta ambang batas pemakaian pupuk N, P, dan K. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum pemupukan N, P, dan K agar pertumbuhan dan produksi tanaman kacang bogor maksimum sebagai upaya untuk mendapatkan data awal rekomendasi pemupukan. Pendekatan multi nutrient response digunakan sebagai metode untuk menentukan rekomendasi tersebut.
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (uji F), apabila hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut kontras polinomial ortogonal. Penentuan dosis optimum N, P, dan K dilakukan berdasarkan tahapan sebagai berikut: 1. Menghitung nilai relatif (Relative = % R) yaitu (Yi/Ymaks) x 100% Yi = nilai pada perlakuan dosis N, P, K ke-i Ymaks = nilai maksimum pada perlakuan dosis N, P, K 2. Nilai relatif sebagai dependent variable (Y) dihubungkan dengan nilai dosis N, P, dan K sebagai independent variable (X) untuk dianalisis dengan model regresi linier dan kuadratik. 3. Penentuan pilihan rekomendasi
Penentuan pilihan rekomendasi dievaluasi pada akhir penelitian menggunakan pendekatan multi nutrient response (Rohmawati, 2013). Pendekatan ini digunakan untuk menentukan rekomendasi pemupukan menggunakan model kuadratik dari beberapa percobaan pemupukan. Terdapat empat pilihan rekomendasi, yaitu berdasarkan pemupukan maksimum serta ambang batas pemakaian pupuk N, P, dan K. Dosis pemupukan maksimum tersebut dapat diketahui dengan menggunakan model regresi kuadratik (Susila et al., 2010): R = a + bX - cX2; dengan R = nilai relatif tanaman; X = konsentrasi pupuk; a,b,c = konstanta. Penentuan dosis pupuk maksimum dilakukan dengan menggunakan rumus turunan dari persamaan regresinya: dY/dX = b - 2cX = 0; X = b/2c.
Jumlah daun selalu bertambah walaupun sudah melewati masa vegetatif karena tanaman kacang bogor mempunyai pola pertumbuhan indeterminate yaitu pertumbuhan vegetatif tetap berlangsung setelah pembungaan dan selama pembentukan polong.
Unsur K sangat dibutuhkan dan mungkin merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan vegetatif tanaman yang salah satunya dapat menyebabkan jumlah daun tanaman kacang bogor menjadi lebih sedikit. Peranan K yang paling penting adalah aktivator enzim yang berperan dalam fotosintesis, regulator membuka dan menutupnya stomata, serta untuk transport asimilat (Maschner, 2011). Berbagai hasil penelitian pada komoditas lain menunjukkan bahwa K menjadi pembatas pertumbuhan tanaman kacang tanah (Silahooy, 2008), bawang (El-Bassiony, 2006; Ali et al., 2007), tomat (Amisnaipa et al., 2009), nenas (Safuan et al., 2011), kolesom (Mualim et al., 2009), dan katuk (Rohmawati, 2013). Kekurangan unsur K menyebabkan pertumbuhan dan jumlah akar tanaman berkurang, sehingga pengambilan unsur hara dan air menjadi terbatas (Rohmawati, 2013).
Pendekatan multi nutrient response adalah suatu metode yang dikembangkan untuk menentukan rekomendasi pemupukan menggunakan model kuadratik dari beberapa percobaan.

KESIMPULAN
Penelitian ini belum mendapatkan dosis optimum pemupukan N dan P karena hanya pemupukan K yang memberikan pola respon kuadratik. Rekomendasi pupuk K berdasarkan dosis optimum adalah berkisar antara 86.4-118.95 kg KCl ha-1.


Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman cabai dikembangkan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (2014), produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2013 adalah 8.16 ton ha-1. Angka tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produktivitasnya. Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 20 ton ha-1.
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah penyakit antraknosa. Antraknosa pada cabai disebabkan oleh spesies Colletotrichum acutatum yang merupakan spesies paling dominan menyerang tanaman cabai. Spesies ini dapat menyerang tanaman dan juga buah, bahkan setelah buah dipanen. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang paling merugikan dibanding penyakit cabai lainnya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10-80% saat musim hujan dan 2-35% saat musim kemarau (Widodo, 2007). Saat ini petani umumnya mengendalikan penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida kontak dan fungisida sistemik secara intensif. Namun, penggunaan pestisida secara berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan petani dan konsumen, serta kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas yang tahan merupakan salah satu cara yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah penyakit antraknosa (C. acutatum), sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik cabai yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa.
Induksi mutasi merupakan salah satu cara yang sering digunakan para peneliti sebagai usaha untuk memperoleh tanaman yang lebih tahan terhadap suatu penyakit. Fitri (2010), menyatakan bahwa uji ketahanan cabai keriting pada generasi kedua hasil induksi mutasi terhadap penyakit antraknosa adalah rentan sampai dengan sangat rentan. Hasil penelitian tersebut masih belum dapat diaplikasikan secara langsung karena gen-gen yang mengalami mutasi mungkin dapat kembali seperti normal, akibat adanya mutasi balik. Oleh karena itu, untuk memperoleh mutan yang seragam secara genetik perlu dilakukan seleksi sifat-sifat yang diinginkan diantara individu-individu pada generasi kedua. Mutasi adalah perubahan materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik dan merupakan bagian dari fenomena alam. Dosis iradiasi yang digunakan untuk menginduksi keragaman sangat menentukan keberhasilan terbentuknya tanaman mutan.
Kisaran dosis iradiasi yang efektif pada benih umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya. Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) dalam materi yang diiradiasi, maka akan semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk, sehingga tanaman menjadi lebih sensitif (Herison et al., 2008). Oleh karena itu perlu diketahui dosis optimum yang efektif untuk menghasilkan tanaman mutan. Mutan yang diperoleh pada umumnya terdapat pada atau sedikit dibawah nilai LD50 (Lethal Dose 50). LD50 adalah dosis yang menyebabkan 50% kematian dari populasi yang diiradiasi.
Heritabilitas merupakan komponen genetik yang menunjukkan seberapa besar suatu sifat diturunkan kepada turunannya. Heritabilitas arti luas diduga dari perbandingan ragam genetik dengan ragam fenotipe. Nilai heritabilitas rendah hingga medium menunjukkan bahwa tingginya pengaruh faktor lingkungan jika dibandingkan dengan faktor genetiknya, sedangkan nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa pengaruh genetik lebih tinggi jika dibandingkan dengan faktor lingkungan. Menurut Syukur et al. (2011) keragaman genetik dan heritabilitas sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai keragaman genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi. Karakter yang memiliki heritabilitas rendah hingga medium sebaiknya dilakukan seleksi pada generasi lanjut agar gen-gen aditifnya sudah terfiksasi.
Nilai duga heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menduga kemajuan dari suatu seleksi, apakah faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Syukur et al., 2011). Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih besar dibandingkan faktor lingkungan. Nilai heritabilitas sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi.

KESIMPULAN
Peningkatan dosis iradiasi dari 400 Gy sampai 1,000 Gy mempengaruhi daya tumbuh cabai. LD50 pada genotipe cabai IPB C2, IPB C10, dan IPB C15 berturut-turut adalah 317.9 Gy, 591.4 Gy, dan 538.8 Gy. Pemberian iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda pada setiap genotipe terhadap ketahanan penyakit antraknosa. Mutan genotipe IPBC2 cenderung mengarah pada kriteria sangat rentan terhadap penyakit antraknosa, mutan genotipe IPBC10 cenderung mengarah pada kriteria tahan, sedangkan mutan genotipe IPBC15 cenderung mengarah pada kriteria sangat tahan. Genotipe IPBC2 memiliki heritabilitas tinggi untuk karakter bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, tinggi tanaman, panjang buah, dan insidensi penyakit, genotipe IPBC10 terdapat pada bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, tinggi tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, sedangkan genotipe IPBC15 terdapat pada karakter bobot buah per tanaman, tinggi tanaman, panjang buah, diameter buah, dan bobot per buah pada. Karakter ketahanan  penyakit memiliki nilai heritabilitas medium sampai dengan tinggi.


Menurut Syukur et al. (2010), hingga saat ini produktivitas cabai besar di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan potensinya, yang dapat mencapai 22 ton ha-1. Produktivitas yang belum optimal ini dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah ketersediaan benih bermutu masih terbatas. Benih bermutu genetik, fisik, fisiologi dan patologi tinggi merupakan modal utama bagi keberhasilan pertanaman cabai.
Bobot kering dan viabilitas benih terus meningkat dari saat antesis hingga mencapai maksimum pada saat masak fisiologi. Benih sebaiknya dipanen pada saat mencapai masak fisiologi, karena bila benih tetap dibiarkan di lapang setelah mencapai masak fisiologi maka viabilitas dan vigornya akan menurun.
Saat masak fisiologi benih dapat diketahui melalui ciri-ciri buah dan benih. Buah cabai merupakan buah berdaging tipe beri atau buni, saat benih cabai mencapai masak fisiologi dapat ditandai dari perubahan warna daging buahnya. Warna daging buah cabai mengalami perubahan dari warna hijau pada waktu masih muda menjadi hijau tua, coklat dan merah pada waktu masak. Kortse dan Oladiran (2013) melaporkan bahwa masak fisiologis benih melon tercapai bersamaan dengan kemasakan buah yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah, viabilitas dan vigor benih mencapai maksimum.
Masak fisiologi pada masing-masing genotipe cabai, diduga dicapai pada umur tanaman berbeda, karena masing masing genotipe cabai mencapai fase vegetatif, umur berbunga, dan karakter kuantitatif lainnya berbeda. Tingkatan cabang tanaman diduga memiliki pengaruh terhadap lamanya waktu mencapai kemasakan buah dan benih. Penelitian Ibrahim dan Oladiran (2011) pada tanaman cabai menunjukkan bahwa, benih-benih yang diperoleh dari buah yang berada pada posisi cabang lebih tinggi berkualitas rendah, demikian pula hasil penelitian Ritonga (2013) menunjukkan bahwa buah cabai yang berada pada cabang yang lebih atas (cabang ke 13-17) memiliki ukuran dan bobot buah yang rendah. 
Penelitian terhadap mutu benih cabai pada tingkat kemasakan buah berbeda, tingkatan cabang tanaman berbeda, serta menentukan waktu masak fisiologis benih cabai perlu dilakukan untuk memperoleh benih cabai bermutu tinggi.
Menurut Amali et al. (2013) jumlah benih bernas pada buah meningkat bersamaan dengan jumlah hari setelah antesis. Marcelis dan Eijer (1997) menyatakan jumlah benih per buah meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah ovul yang terbuahi oleh polen, sehingga jumlah benih cabai dibatasi oleh banyaknya jumlah ovul yang dapat terbuahi oleh polen.
Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) menyatakan bahwa daya berkecambah minimum untuk benih cabai adalah sekitar 80%. Daya berkecambah merupakan peubah yang mengindikasikan kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum. Karakter kuantitatif buah pada saat masak fisiologi dipengaruhi genotipe. Karakter buah merupakan faktor penting untuk mengetahui saat panen yang tepat (Vidigal et al., 2011). 
Jumlah cabang pada tanaman sangat berhubungan dengan umur tanaman. Cabang pada tanaman cabai terus bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Pertambahan cabang ini diduga memiliki pengaruh terhadap karakter kuantitatif pembungaan, buah, benih, dan mutu fisiologis benih. Ibrahim dan Oladiran (2011) menyatakan bahwa buah proksimal (bawah) dapat memperoleh asimilat dan hara lebih banyak dibandingkan dengan buah distal (atas). Ketika perkembangan buah dan biji terjadi pada buah proksimal, suplai asimilat melimpah karena pohon masih muda. Benih yang diperoleh dari buah yang berada di posisi lebih tinggi berkembang pada saat pohon sudah lebih tua, akumulasi hara dan fotosintat tidak sebanyak pada saat pohon masih muda.

KESIMPULAN
Masak fisiologi enam genotipe cabai (Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3 dan SSP) dicapai pada 38- 44 HSA. Pada saat masak fisiologi warna buah cabai Anies 1 coklat hingga merah, sedangkan lima genotipe lainnya, hijau tua hingga merah. Karakter buah cabai saat masak fisiologi: cabai keriting SSP mempunyai ukuran buah terpanjang (95.7 mm) diameter buah (9.9 mm) terkecil dibandingkan dengan lima genotipe cabai besar. Panjang buah Anies 2, Anies 2 dan Seloka 3 sedang (± 87.0 mm), buah Seloka 1 dan 2 terpendek (± 77.0 mm). Diameter buah Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 3 ± 15.0 mm, Seloka 2 ± 13.0 mm. Jumlah benih per buah tertinggi pada Seloka 1, SSP jumlah benih terendah, sedang kan Anies 1, Anies 2, Seloka 2 dan Seloka 3 jumlah benih sedang. Bobot kering benih tinggi adalah Anies 1, Anies 2 dan Seloka 1. Rendemen buah tertinggi pada SSP. Mutu fisiologi benih yang dicapai enam genotipe cabai pada saat masak fisiologi: viabilitas benih 74.0-91.0% dan vigor benih 9.0-52.0%. Buah dari cabang bawah (pr ksimal) mempunyai panjang buah, diameter buah, jumlah benih per buah, bobot kering benih per buah lebih tinggi dibanding cabang atas (distal), meskipun rendemen benih per buah, viabilitas, vigor benih tidak berbeda.

Volume Irigasi untuk Budidaya Hidroponik Melon dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Produksi

Volume irigasi dari metode irigasi langsung untuk sistem hidroponik besarnya sama dengan evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dihitung berdasarkan koefsien tanaman dan evapotranspirasi referens. Evapotranspirasi referens dihitung berdasarkan parameterparameter iklim mikro seperti pada rumus Penman- Monteith. Evapotranspirasi referens juga dapat dihitung berdasarkan koefisien panci dan evaporasi panci, maka dari itu volume irigasi atau evapotranspirasi tanaman dapat dihitung berdasarkan koefisien tanaman, koefisien panci dan evaporasi panci. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan nilai gabungan antara koefisien tanaman dan koefisien panci yang diperlukan untuk menghitung volume irigasi hidroponik melon dengan media pasir.
Pertumbuhan dan produksi melon dipengaruhi oleh volume irigasi. Irigasi dengan volume air sedang tidak menurunkan produksi tetapi meningkatkan efisiensi penggunaan air. Jika volume irigasi terlalu kecil, maka produksi melon turun sebesar 25% yang disebabkan oleh penurunan bobot buah. Produksi relatif (produksi/produksi maksimum) lebih besar dari 95% jika volume irigasi antara 87-136% evapotranspirasi tanaman (Cabello et al., 2009). 
Volume irigasi juga mempengaruhi produksi tanaman selain melon. Produksi umbi wortel tertinggi dihasilkan dengan irigasi sebesar 1.0. Evapotranpirasi, lebih disebabkan oleh peningkatan bobot umbi dibandingkan dengan jumlah umbi (Badr et al., 2012). Produksi timun dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan volume irigasi dari 0.6Ep (evaporasi panci) menjadi 0.8Ep dan 1.0Ep, sedangkan efisiensi pemakaian air irigasi diperoleh dengan volume irigasi 0.8Ep. Peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan berat per buah dan jumlah buah (Sun et al., 2012). Pertumbuhan, produksi dan kualitas melon dipengaruhi oleh volume irigasi. Irigasi sampai 75% kapasitas lapang merupakan volume irigasi yang optimum (Li et al., 2012).
Volume irigasi mempengaruhi pertumbuhan tanaman melon seperti yang dilaporkan oleh Manh dan Wang (2014) bahwa peningkatan ketersediaan air dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun dan bobot biomasa tanaman melon. Irigasi minimum (50% evapotranspirasi) meningkatkan pertumbuhan akar tetapi menurunkan pertumbuhan tajuk tanaman melon (Sharma et al., 2014). Pada jenis buah yang lain juga menunjukkan bahwa volume irigasi meningkatkan kualitas eksternal buah tomat seperti diameter dan berat buah (Liu et al., 2013). Kekurangan air menurunkan ukuran buah peach lebih dari 49% (Avalos et al., 2013). Penelitian volume irigasi pada budidaya melon secara hidroponik yang menggunakan media pasir belum pernah dilakukan. Media pasir tidak dapat mengikat air dengan baik, maka penentuan volume irigasi yang tepat dan mudah sangat diperlukan.
Pelaksanaan irigasi dengan volume rendah disesuaikan dengan fase tumbuh tanaman (Geerts dan Raes, 2009). Selama pertumbuhan tanaman, kebutuhan air terus meningkat. Air digunakan untuk pertumbuhan titik tumbuh dan pembentukan daun tanaman yang lebih banyak. kebutuhan air pada fase generatif lebih tinggi dibandingkan fase vegetatif. Produksi yang tinggi berkaitan dengan ketersediaan air atau volume air irigasi yang diberikan, walaupun jumlah daun tidak berbeda. Jumlah daun yang sama akan mampu berfotosintesis lebih besar jika ketersediaan air lebih besar sebagai bahan baku fotosintesis. Ukuran buah dipengaruhi oleh volume irigasi. Buah dengan bobot yang berat juga mempunyai ukuran diameter vertikal dan horizontal yang besar. Hasil yang sama dilaporkan oleh Li et al. (2012) bahwa pertumbuhan, produksi dan kualitas melon dipengaruhi oleh volume irigasi. Volume irigasi yang lebih banyak menyebabkan akar dapat mengabsorbsi air dan hara lebih banyak, karena absorbsi hara terjadi bersama-sama dengan air. Karena fungsi air sebagai bahan baku fotosintesis maka pertumbuhan dan produksi meningkat, juga karena fungsi air untuk meningkatkan turgor sel maka ukuran buah meningkat dengan semakin banyaknya absorbsi air oleh akar. Avalos et al. (2013) melaporkan bahwa kekurangan air menurunkan ukuran buah peach lebih dari 49%.

KESIMPULAN
Secara umum perlakuan volume irigasi berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun, serta produksi buah melon. Volume irigasi untuk hidroponik melon dengan media pasir selama fase pertumbuhan vegetatif adalah 1.0 kali evaporasi atau setara dengan 170 cm3 per hari per tanaman, sedangkan selama fase generatif adalah 1.5 kali evaporasi atau setara dengan 234 cm3 per hari per tanaman pada penelitian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar