Indonesia memiliki 25 spesies anggrek bulan dengan 10
spesies di antaranya adalah endemik Indonesia (Christenson, 2001). Anggrek
bulan memiliki berbagai variasi bentuk, warna, dan ukuran bunga. Oleh karena
itu, anggrek bulan menjadi salah satu komoditi hias yang sangat popular. Selain
itu, anggrek bulan juga berpotensi sebagai induk dalam pemuliaan untuk
menghasilkan berbagai anggrek bulan hibirida baru (Tang dan Chen, 2007).
Phalaenopsis amabilis (L.) Blume
dan Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith banyak digunakan sebagai tetua dalam
pemuliaan Phalaenopsis. Phalaenopsis amabilis mewariskan sifat bunga berukuran
besar dan berwarna putih sedangkan P. amboinensis berpotensi untuk menghasilkan
warna kuning, bintik coklat, tangkai bunga tegak, serta aroma yang khas (Tang
dan Chen, 2007).
Kromosom dasar dari spesies-spesies anggrek Phalaenopsis
adalah diploid (2n=2x=38) (Lin et al., 2001), sementara sebagian besar varietas
komersial atau hibrida adalah tetraploid (Chen et al., 2011). Persilangan
antara spesies dengan hibrida tetraploid menunjukkan adanya hambatan dalam
pembentukan biji, terutama jika tanaman tetraploid digunakan sebagai donor
polen dan tanaman diploid sebagai betina (Tang dan Chen, 2007). Oleh karena
itu, dalam upaya melakukan persilangan antara spesies diploid dengan hibrida
tetraploid, diperlukan upaya peningkatan ploidi dari spesies diploid.
Tang dan Chen (2007) menyatakan
bahwa klon superior dari Phalaenopsis Taisuco berbunga putih besar pertama kali
dikembangkan melalui melalui perbaikan genetik Phalaenopsis Doris melalui
penggandaan kromosom, sehingga dihasilkan kapasitas genomik yang lebih besar
untuk mengakumulasi lebih banyak alel. Tanaman tetraploid yang dihasilkan
selanjutnya disilangbalik atau disilang dengan kerabatnya untuk
mengakumulasikan alel-alel aditif untuk ukuran bunga dan karakter lainnya
sehingga telah dihasilkan lebih dari 30 Phalaenopsis Taisuco unggul. Poliploidi
dapat meningkatkan keragaman genetik, menghasilkan ukuran bunga yang lebih
besar, bentuk bunga yang lebih bulat dan warna bunga yang lebih pekat (Miguel
dan Leonhardt, 2011).
Pemuliaan tanaman dengan induksi
mutasi merupakan metode alternatif untuk pemuliaan konvensional, dapat
dilakukan dengan mutagen fisik dan kimia (van Harten 1998). Induksi mutasi
dengan mutagen fisik iradiasi sinar gamma pada tanaman hias antara lain telah
dilaporkan pada krisan oleh Aisyah et al. (2009) dan anggrek Spathoglotis
plicata oleh Romeida et al. (2012). Mutasi kimia dengan tujuan menghasilkan
tanaman poliploid, yaitu tanaman yang memiliki tiga set kromosom atau lebih,
umumnya menggunakan kolkisin (Dhooghe et al., 2011). Kolkisin telah digunakan
secara in vitro untuk menghasilkan tanaman poliploid pada berbagai spesies
anggrek seperti Phalaenopsis (Griesbach, 1981 dan 1985), Cattleya intermedia
Lindl. (Silva et al., 2000), Dendrobium secundum (Blume) Lindl. (Atichart dan
Bunnag, 2007), Dendrobium scabrilingue L. (Sarathum et al., 2010), dan
Rhyncostylis gigantea var. rubrum (Kerdsuwan dan Techato, 2012). Griesbach (1981) melakukan induksi poliploidi
pada protokorm Phalaenopsis equestris, Phalaneopsis fasciata, dan Phalaenopsis
Betty Hausermann menggunakan 50 mg L-1 kolkisin serta perendaman selama 10
hari. Penelitian tersebut menghasilkan 50% protokorm yang kemudian berkembang
menjadi tanaman tetraploid. Penambahan 0.5 mg L-1 kolkisin ke dalam media
kultur dapat menghasilkan Phalaenopsis Golden Sands ‘Canary’ heksaploid
(Griesbach, 1985). Perendaman protokorm D. secundum dalam kolkisin 500 mg L-1
selama 1 hari menghasilkan tanaman poliploid tertinggi (Atichart dan Bunnag,
2007). Planlet D. scabrilingue tetraploid dihasilkan dari perendaman protokorm
dalam kolkisin 750 mg L-1 selama 14 hari (Sarathum et al., 2010). Silva et al.
(2000) melaporkan bahwa perendaman protokorm C. intermedia dalam kolkisin 500
dan 1,000 mg L-1 selama 4 hari dapat menghasilkan tanaman tetraploid. Tanaman
R. gigantea var. rubrum tetraploid dihasilkan dari perendaman protokorm dalam
kolkisin 2,000 mg L-1 selama 3 hari.
Salah satu usaha yang dapat
dilakukan untuk pemuliaan P. amabilis dan P. amboinensis adalah dengan
melakukan induksi poliploidi secara in vitro. Konsentrasi kolkisin optimum
untuk induksi poliploidi kedua spesies anggrek tersebut belum diketahui.
Pertumbuhan yang lambat dan
morfologi abnormal merupakan gejala yang umum terjadi setelah perlakuan
kolkisin pada tanaman. Griesbach (1981) menemukan bahwa pertumbuhan Phalaenopsis
yang diberi perlakuan kolkisin lebih lambat daripada planlet kontrol.
Pertumbuhan yang lebih lambat tersebut diduga disebabkan oleh penetrasi dari
kolkisin ke dalam lapisan sel apikal sehingga mempengaruhi pembelahan sel (Thao
et al., 2003; Sarathum et al., 2010; Gantait et al., 2011). Morfologi yang
abnormal juga dilaporkan oleh Zeng et al. (2006), dimana kolkisin dapat
menimbulkan efek samping, yaitu morfologi abnormal seperti penebalan daun
selama proses mutagenesis. Penebalan daun tanaman tetraploid ditemukan pada
Caladium ‘Tapestry’ (Cai et al., 2015) dan Thymus persicus (Tavan et al.,
2015).
KESIMPULAN
Perlakuan perendaman protokorm P.
amabilis dan P.amboinensis dalam larutan kolkisin 50 dan 75 mg L-1 selama 10
hari dapat menghasilkan planlet dengan panjang stomata lebih besar 1.25x dari
panjang stomata planlet kontrol. Ukuran stomata planlet poliploid lebih besar
daripada planlet diploid, tetapi kerapatan stomata planlet poliploid lebih
rendah daripada kerapatan stomata planlet diploid. Hasil analisis kromosom
membuktikan bahwa perendaman protokorm kedua spesies anggrek tersebut dalam
larutan kolkisin 50 mg L-1 selama 10 hari menghasilkan persentase planlet
poliploid paling tinggi yaitu 33.3% pada P. amabilis dan 40% pada P.
amboinensis dari planlet yang menunjukkan morfologi daun menebal.
Respon Pertumbuhan dan Produksi Jintan Hitam (Nigella sativa L.) denganPemupukan Nitrogen dan Fosfor
Jintan hitam (Nigella sativa L.)
adalah tanaman semusim, famili Ranunculaceae, merupakan tanaman asli dari daerah
Asia Barat, dan banyak dibudidayakan di kawasan Mediterania, Syria, Turki,
Iran, Arab Saudi, Pakistan, Jordania, dan India (Ghouzhdi, 2010; Iqbal et al.,
2010; Tulukcu, 2011). Jintan hitam dalam bahasa Inggris disebut black seed atau
black cumin, siyah daneh (Persia), kalonji (India), dan dalam bahasa Arab
disebut habbat-ulbarakah atau habbat-ul-sauda (Rabbani et al., 2011). Bagian
tanaman jintan hitam yang dimanfaatkan adalah bijinya yang banyak digunakan
untuk obat dan rempah. Biji jintan hitam bermanfaat untuk anti-mikrob,
anti-parasit, anti-iskemia, anti-kanker, anti-imflamasi, imunomodulator,
anti-oksidan, anti-tumor, dan anti-diabetes (Hosseinzadeh et al., 2006; Mbarek
et al., 2007; Sultan et al., 2009; Paarakh, 2010; Moghadhasi, 2011; Rajsekhar dan
Kuldeep, 2011).
Industri farmasi dan pengolahan
biji jintan hitam didalam negeri masih mengimpor biji jintan hitam dari India
dan Mesir serta negara Timur Tengah lainnya. Total impor biji jintan hitam
dalam setahun sebanyak 510,003 kg dengan nilai US$ 364,394 (Wahyuni, 2009).
Produk jintan hitam banyak dijual dalam bentuk serbuk dan minyak yang dikemas
dalam kapsul dan dikenal dengan nama “Habbatussauda”.
Di tempat asalnya yang beriklim sub
tropis, seperti di Jordania, Turki, dan Iran, jintan hitam ditanam pada
ketinggian 530-1,725 m dpl, suhu rata-rata 6.9-21.4 °C, kelembaban 45.4-61.7%,
curah hujan 140-462.5 mm per tahun, dengan kemasaman tanah 7.7-8.1 (Tuncturk et
al., 2005; Talafih, et al., 2007; Khoulenjani dan Salamati, 2011; Tuncturk et
al., 2011). Pemupukan berperan menambah ketersediaan unsur hara didalam tanah
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil penelitian
di India, Jordania, dan di Turki menunjukkan pemupukan N dan P dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi jintan hitam (Tuncturk et al., 2005;
Shah, 2007; Shah dan Samiullah. 2007; Talafih et al., 2007; Kizil et al., 2008;
Tuncturk et al., 2011).
Indonesia yang beriklim tropis umumnya mempunyai suhu,
kelembaban, dan curah hujan yang lebih tinggi dengan kemasaman tanah yang
rendah, sehingga tanaman jintan hitam memerlukan adaptasi di lingkungan tumbuh
yang baru. Perbedaan lingkungan tumbuh akan berpengaruh terhadap respon tanaman
menyerap unsur hara di dalam tanah.
Curah hujan yang tinggi menyebabkan
tingginya pencucian unsur hara di dalam tanah terutama unsur N, sehingga
ketersediaannya rendah. Kemasaman tanah yang agak masam (6.19) juga diduga
menyebabkan ketersediaan P di dalam tanah rendah karena terjadi pengikatan P
oleh aluminium (Al) Purnomo et al. (2007),
menyatakan bahwa pada tanah yang masam akan terjadi oksida aluminium (Al) yang
akan memfiksasi ion-ion fosfat (P) sehingga akan menurunkan ketersediaan hara P
dan menyebabkan penurunan hasil pada cabai. Oleh sebab itu, pada penelitian ini
penambahan pupuk N dan P dosisnya lebih tinggi dibandingkan pada penelitian di
India dan Turki yang mempunyai curah hujan yang lebih rendah (140-462.5 mm per
tahun) dengan kemasaman tanah antara netral sampai agak alkalis (pH 7.7-8.1)
(Shah dan Samiullah, 2007; Kizil et al., 2008; Tuncturk et al., 2011).
Semakin bertambah umur tanaman, ILD
semakin meningkat karena tanaman semakin rimbun. Meningkatnya ILD mengakibatkan
intensitas cahaya dalam tajuk tanaman semakin berkurang. Menurut Musyarofah
etal. (2007), intensitas cahaya rendah akan mengurangi jumlah lapisan jaringan palisade dan sel-sel mesofil
sehingga daun menjadi tipis pada tanaman pegagan.
Bobot biji per tanaman meningkat dengan penambahan dosis N
dan P, akibat meningkatnya jumlah kapsul per tanaman dan jumlah biji per kapsul
yang merupakan hasil dari fotosintesis yang semakin meningkat dengan
meningkatnya ILD dan LAB. Nilai ILD yang semakin meningkat akan meningkatkan
fotosintesis sehingga hasilnya yang diukur dalam LAB juga meningkat. Semakin
tinggi asimilasi bersih akan meningkatkan jumlah kapsul yang terbentuk (fruit
setting) dan pengisian biji yang menyebabkan meningkatnya bobot biji per
tanaman.
Pemupukan P lebih berpengaruh
terhadap peningkatan produksi dibandingkan pemupukan N. Sejalan dengan penelitian
Agustin et al. (2010), bahwa pemupukan P dosis perlakuan 125 kg P2O5 ha-1 mampu
meningkatkan jumlah buah per tanaman, produksi buah per tanaman, dan produksi
benih per tanaman pada tanaman cabai.
KESIMPULAN
Pertumbuhan dan produksi jintan
hitam semakin meningkat dengan meningkatnya pemupukan N dan P sampai dosis
maksimum perlakuan 120 kg N ha-1 dan 120 kg P2O5 ha-1, sehingga tidak diperoleh
dosis optimum pupuk N dan P. Pemupukan N lebih berperan terhadap peningkatan
pertumbuhan tanaman, sedangkan pemupukan P lebih berperan terhadap peningkatan
produksi.
Handeuleum (Graptophyllum pictum L.
Griff.) telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Orang Sunda menggunakannya untuk mencegah infeksi
setelah melahirkan, mengembalikan stamina, menormalkan kembali ukuran rahim,
membersihkan rahim dari darah putih, merangsang produksi ASI, dan mengurangi berat
badan (Bermawie et al., 2006).
Kearifan lokal penggunaan obat ini
sebagai obat tradisional juga dilaporkan di Pangalengan Jawa Barat sebagai obat
wasir; di Maluku handeuleum yang dikenal sebagai alifuru dimanfaatkan sebagai
obat bisul, darah tinggi, rematik, dan lain-lain; dan masyarakat Papua
menggunakan handeuleum untuk mengatasi penyakit ulu hati, diabetes, dan batu
ginjal (Khumaida et al., 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa handeuleum
aksesi Bogor memiliki kandungan fitokimia tinggi yang berguna untuk pengobatan.
Iradiasi sinar gamma dapat
menghasilkan radikal bebas dan energi mengakibatkan terjadinya perubahan
konstitusi genetik dalam sel. Pengamatan perubahan morfologi tanaman berupa
terhambatnya pertumbuhan serta terjadinya kimera dan variegata. Aisyah et al.
(2009) dalam penelitiannya mengamati terjadinya kimera sektoral pada satu
tanaman anyelir yang diiradiasi sinar gamma dosis 15 Gy. Minisi et al. (2013)
meneliti benih Moluccella laevis L. yang diiradiasi sinar gamma dengan dosis 0,
2.5, 5, 7.5, 10, 12.5, 15, 17.5, dan 20 Kr memperlihatkan perubahan pada daya
berkecambah, persentase hidup, pertumbuhan dan variasi morfologi.
Penelitian Widiastuti et al. (2010)
menunjukkan bahwa bentuk dan warna daun pucuk manggis abnormal akibat diiradiasi
sinar gamma, hal ini merupakan respon dari terjadinya perubahan proses
fisiologi. Song et al. (2009), menjelaskan terjadinya perubahan bentuk dan
jumlah helaian daun Trifolium repens L. yang diiradiasi dengan sinar gamma
dosis 25-100 Gy. Menurut penelitian ini tanaman mengalami stress akibat
iradiasi. Penelitian Badignnavar dan Murty (2007) menunjukkan bahwa warna daun
tanaman kacang tanah menjadi kuning setelah diiradiasi sinar gamma tapi
kemudian setelah 80 HST berubah menjadi hijau dan penampilan tanaman secara
keseluruhan menjadi normal kembali.
Penelitian Aisyah et al. (2009)
pada stek pucuk anyelir menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy
berpengaruh nyata terhadap penurunan tinggi tanaman. Dwimahyani (2007) pada
stek pucuk krisan yang diiradiasi sinar gamma (dosis 0, 10, 15, 20, dan 25 Gy),
yang menghasilkan pertumbuhan tanaman yang cenderung menurun dengan semakin
besarnya dosis iradiasi sinar gamma. Hal ini terjadi karena terjadi kerusakan
fisiologis akibat sinar gamma. Menurut Srivastava dan Kumar (2011) semakin
tinggi dosis radiasi sinar gamma yang diberikan, tanaman safflower semakin
pendek bila dibandingkan dengan tanaman kontrol, karena iradiasi sinar gamma
menyebabkan terjadinya gangguan pada sintesis DNA.
Penelitian Lukanda et al. (2013)
tentang kacang tanah yang diiradiasi sinar gamma (100, 200, 400, dan 600 Gy),
menunjukkan bahwa semakin besar dosis iradiasi yang diberikan pada kacang tanah
mengakibatkan jumlah daun semakin berkurang. Menurutnya hal ini karena sinar
gamma memproduksi radikal bebas yang dapat merusak sel sehingga mempengaruhi
morfologi tanaman. Rashid et al. (2013) mengamati bahwa irradiasi sinar gamma
menyebabkan penurunan pertumbuhan pada tanaman jahe (seperti kerdil, batang
yang bengkok, dan daun yang berkerut), dikarenakan sinar gamma menyebabkan
sintesis DNA menjadi terganggu dan mempengaruhi proses pembelahan sel.
Penelitian Jan et al. (2011) pada tanaman Psoralea corylifolia L., menunjukkan
bahwa iradiasi sinar gamma dosis rendah secara signifikan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif, sementara dosis tinggi terbukti menghambat pertumbuhan.
Handeuleum yang diiradiasi dengan dosis inggi (60, 75, 90, dan 105 Gy)
pertumbuhannya terhambat serta tidak
tumbuh daun baru, dan pada akhirnya mati
sehingga tidak diperoleh keturunannya.
KESIMPULAN
Iradiasi sinar gamma menyebabkan
perubahan morfologi daun dan tanaman, serta mempengaruhi pertumbuhan tanaman
handeuleum. Iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy menghasilkan morfologi daun baru,
yaitu cordate. Pertumbuhan tanaman yang terhambat, perubahan warna daun yaitu
hijau kekuningan dan tekstur daun menjadi kaku dihasilkan oleh iradiasi sinar
gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, 105 Gy. Iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy
menghasilkan indeks warna hijau relatif daun lebih besar daripada kontrol,
yaitu sebesar 56.81 ± 2.6.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting
bagi subsektor perkebunan dan sebagai penghasil minyak nabati yang menjadi
komoditas ekspor unggulan Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan minyak per
hektar 5-7 kali lebih besar dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lain
(Rafflegeau et al., 2010).
Kebutuhan minyak kelapa sawit akan semakin meningkat seiring
dengan peningkatan populasi penduduk (Sayer et al., 2012). Corley (2009)
memperkirakan kebutuhan minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2050 sekitar 120-
156 juta ton, sehingga perlu upaya peningkatan produksi. Peningkatan produksi
kelapa sawit dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas kebun-kebun yang
sudah ada dan memperluas areal (Corley, 2009; Phosri et al., 2010; Sayer et
al., 2012). Kelapa sawit umumnya dibudidayakan pada tanah-tanah tropika yang memiliki
tingkat kesuburan kimia rendah dan sifat fisik yang beragam (Suharta, 2010; Obi
dan Udoh, 2012; Paramananthan, 2013). Permasalahan utama yang akan timbul di
masa mendatang dalam usaha perluasan areal adalah pergeseran penggunaan
lahan-lahan pertanian dari lahan yang subur ke lahan marginal. Oleh karena itu,
pemupukan merupakan hal yang penting untuk mengatasi kondisi tanah yang
marginal ini khususnya dalam hal kesuburan tanah (Ng et al., 2011). Beberapa
penelitian sebelumnya telah menjelaskan tentang pengelolaan lahan marginal
untuk budidaya kelapa sawit berupa tanah dengan topografi miring, tanah di
daerah kering, tanah yang mengalami pelapukan, tanah sulfat masam, tanah
berpasir, dan tanah gambut (Paramananthan, 2013).
Perbaikan kesuburan tanah antara
lain dilakukan dengan pemupukan baik berupa pupuk organik atau anorganik.
Pemberian pupuk organik dapat memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Leszczynska dan Malina, 2011;
Uwumarongie-Ilori et al., 2012). Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan
daya menahan air dan kapasitas tukar kation tanah sehingga apabila ditambahkan
pupuk anorganik maka pencucian oleh air hujan dan erosi dapat dihambat
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Pemberian pupuk anorganik dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan hara yang tidak dapat disediakan oleh tanah. Unsur hara N,
P, dan K merupakan tiga unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman kelapa
sawit. Ketiga unsur hara tersebut dapat disuplai dari pupuk majemuk. Pupuk
majemuk umum digunakan pada tahapan pembibitan dan tanaman belum menghasilkan
(TBM). Contoh pupuk majemuk yang biasa digunakan di pembibitan kelapa sawit,
yaitu NPKMg 15:15:6:4 dan NPKMg 12:12:17:2.
Pemberian pupuk organik hanya
berpengaruh terhadap lingkar batang, namun tidak terhadap produksi pelepah,
luas daun, dan panjang pelepah. Pemberian pupuk NPK majemuk secara nyata
meningkatkan produksi pelepah, lingkar batang, luas daun, dan panjang pelepah.
Hasil ini diduga disebabkan pengaruh pupuk organik yang lebih lambat
dibandingkan dengan pengaruh pupuk NPK majemuk terhadap pertumbuhan vegetatif
kelapa sawit TBM1. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan pupuk
organik dan NPK majemuk pada semua peubah yang mungkin disebabkan tanaman
kelapa sawit belum mampu merespon pemberian pupuk organik dan NPK majemuk
sampai dengan 12 BSP.
Pelarutan unsur hara yang lebih
baik pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau (Wigena et al., 2006;
Sudradjat et al., 2014). Luas daun dan panjang pelepah dipengaruhi oleh
pemupukan, namun tidak terlalu sensitif terhadap faktor lain. Ukuran tajuk yang
berkaitan dengan luas daun, panjang pelepah, dan jumlah anak daun memiliki pola
pertumbuhan yang berubahubah. Perubahan ukuran tajuk merupakan mekanisme
adaptasi untuk pengaturan laju transpirasi sebagai tanggap terhadap perubahan
keseimbangan air tanaman (Yahya dan Manurung, 2002).
Aplikasi pupuk organik mampu meningkatkan lingkar batang
sebagai akibat dari perbaikan sifat fisik dan kimia tanah. Aplikasi pupuk
organik bermanfaat bagi tanaman untuk jangka panjang karena unsur-unsur hara
yang terkandung di dalamnya dilepaskan secara perlahan-lahan (Ermadani dan
Muzar, 2011).
Fungsi unsur N adalah untuk
pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, yaitu untuk pembentukan protein,
sintesis klorofil, dan proses metabolisme (Goh dan Hardter, 2003; Rachman et
al., 2008). Unsur P berperan sebagai unsur pembentuk molekul ATP yang merupakan
molekul kaya energi yang dibutuhkan dalam proses metabolisme misalnya sintesis
protein, sehingga kahat hara P dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat (Goh dan
Hardter, 2003). Unsur K berperan sebagai aktivator enzim, memelihara potensial
osmosis dan pengambilan air, serta translokasi hasil fotosintesis keluar daun
menuju sink (Goh dan Hardter, 2003; Pettigrew, 2008).
Curah hujan yang tinggi selama tiga bulan bertutut-turut
sejak aplikasi pupuk majemuk NPK diduga menyebabkan tingginya kehilangan hara
melalui pencucian. N dan K mudah hilang melalui pencucian, sedangkan P bersifat
immobil dalam tanah dan kehilangan P akibat pencucian tidaklah signifikan.
Tingkat pencucian tinggi terutama pada tanah dengan kandungan bahan organik
rendah dan pada lahan dengan curah hujan tinggi. Hasil ini didukung oleh
pelaporan Lee et al. (2011) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
memengaruhi kadar hara daun yaitu curah hujan.
Aplikasi pupuk dosis tinggi biasanya direkomendasikan pada
tanah-tanah marginal untuk mempertahankan keseimbangan hara dalam tanah dan
meningkatkan kesuburan tanah sehingga dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman
(Ng et al., 2011).
KESIMPULAN
Tidak terdapat pengaruh interaksi
antara pupuk organik dan pupuk NPK majemuk pada semua peubah pengamatan. Tanah
marginal Jonggol memerlukan dosis pupuk yang tinggi untuk menghasilkan performa
tanaman kelapa sawit TBM1 yang baik. Peningkatan pertumbuhan vegetatif tanaman
kelapa sawit TBM1 di lahan marginal Jonggol dapat dicapai dengan pemberian 30
kg pupuk organik atau 2.6 kg pupuk NPK majemuk (15:15:15) untuk setiap tanaman.
Optimasi Dosis Pupuk Nitrogen dan Fosfor pada Tanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan Umur Satu Tahun
Tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman penting penghasil minyak di dunia dan dibudidayakan secara luas di
Asia Tenggara ermasuk Malaysia, Indonesia, dan Thailand (Wilcove dan Koh,
2010). Kelapa sawit menjadi komoditas perkebunan andalan Indonesia yang
memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber perolehan devisa
negara. Kelapa sawit menghasilkan minyak per hektar 5-7 kali lebih besar
dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lain (Rafflegeau et al., 2010).
Kelapa sawit dapat menghasilkan bahan dan produk-produk komersial yang dapat
bernilai ekonomi tinggi. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas adalah rehabilitasi kebun yang sudah ada dan intensifikasi (Noor
et al., 2012). Pengembangan kelapa sawit perlu didukung oleh pengelolaan yang tepat
terutama aspek pemupukan untuk mendapatkan produktivitas optimal.
Kelapa sawit umumnya dibudidayakan
pada tanahtanah tropik yang memiliki tingkat kesuburan kimia rendah dan
kesuburan fisik yang beragam (Suharta, 2010; Paramananthan, 2013). Secara umum
produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik dan
teknik budidaya (Santosa et al., 2011). Pemupukan merupakan faktor utama untuk
mengatasi kondisi tanah yang marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanah,
sehingga dibutuhkan keseimbangan dosis dan jenis pupuk yang digunakan bukan
pada tingkat dosis yang tinggi (Ng et al., 2011). Pemupukan dengan dosis yang
tepat dan jadwal yang teratur akan memperpendek masa tanaman belum menghasilkan
(TBM). Pemberian pupuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hara yang tidak
dapat disediakan oleh tanah. Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur-unsur
hara makro yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Nitrogen dan fosfor termasuk
unsur-unsur hara makro yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Nitrogen memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan suatu tanaman, kahat N
dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan mempengaruhi perkembangan dan
fungsi kloroplas sehingga protein akan terhidrolisis untuk menghasilkan asam
amino yang akan ditranslokasikan ke daun-daun muda. Gejala defisiensi N
terlihat pertama kali pada daun-daun tua, daun berwarna hijau pucat kemudian
akan menjadi kuning pucat atau kuning cerah (klorosis) dan mengalami nekrosis
(Goh dan Hardter, 2003; Bala dan Fagbayide, 2009).
Fosfor merupakan salah satu hara
esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang pertumbuhan dan produksi yang
baik bagi tanaman kelapa sawit (Zakaria et al., 2007). Kahat P dalam tanaman
akan memperlambat proses pertumbuhan akar, daun warna gelap dan tegak kemudian
menjadi keungu-unguan serta umur panen lambat, hal ini karena proporsi asimilat
yang dialokasikan untuk pertumbuhan akar lebih besar dibandingkan untuk pucuk
(Goh dan Hardter, 2003).
Penelitian mengenai pemupukan tanaman kelapa sawit telah
banyak dilakukan terutama pada fase pembibitan dan TM (tanaman menghasilkan),
namun masih sedikit pada fase TBM (Corley dan Tinker, 2003).
Luz et al. (2006) yang melaporkan
bahwa pemberian pupuk nitrogen meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan bibit
tanaman “lady palm” (Rhapis excels). Goh dan Hardter (2003) menunjukkan bahwa
pemupukan nitrogen merupakan kekuatan pendorong utama untuk pertumbuhan
vegetatif kelapa sawit yang cepat.
Jumlah klorofil yang tinggi
menandakan bahwa proses fotosintesis dapat berjalan baik sehingga tanaman
mendapatkan energi untuk pertumbuhannya (Suharno et al., 2007). Percobaan ini
menunjukkan bahwa pupuk N secara statistik tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kadar N daun pada umur 12 BSP, hasil analisis daun (leaflet dari daun
pelepah ke-9) pada 12 BSP, kadar N sebesar 1.99- 2.06% N. Hasil ini lebih
rendah dibandingkan dengan taraf hara critical nutrient level pelepah ke-9 pada
tanaman belum menghasilkan sebesar 2.75% untuk N (Ochs dan Olvin, 1977),
keseimbangan kadar hara dalam tanaman belum tercapai sehingga perlu
ditingkatkan dosis pupuk N agar tercapai keseimbangan kadar hara dalam tanaman.
Tanaman kelapa sawit muda membutuhkan jumlah hara yang banyak untuk pertumbuhan
yang maksimal (Tarmizi dan Tayeb, 2006). Kebutuhan hara N tanaman kelapa sawit
akan meningkat dalam jumlah besar selama tahun ke dua sampai ke lima dan
relatif stabil setelah tahun keenam (Fairhurst dan Mutert, 1999; Goh dan
Hardter, 2 03).
KESIMPULAN
Pupuk N meningkatkan tinggi tanaman
secara linier pada umur 10 BSP, secara kuadratik terhadap peubah tinggi tanaman
pada umur 12 BSP. Lingkar batang, jumlah pelepah dan luas daun pelepah ke-9
ditingkatkan secara kuadratik oleh N pada umur 9, 10, 12 BSP. Pupuk N
meningkatkan kandungan klorofil daun secara kuadratik pada umur 12 BSP, namun
tidak berpengaruh nyata pada kadar hara N, yang masih di bawah taraf cukup
sehingga menjadi faktor pembatas. Pupuk P meningkatkan tinggi tanaman secara
linier pada umur 9 dan 10 BSP. P meningkatkan lingkar batang secara linier pada
umur 12 BSP, sedangkan pada 9 dan 10 BSP secara kuadratik. Jumlah pelepah
meningkat secara kuadratik oleh P pada 9, 10, 12 BSP, dan meningkatkan luas
daun pelepah ke-9 secara linier pada umur 9 BSP, sedangkan pada 12 BSP
berpengaruh secara kuadratik. Pupuk P meningkatkan kandungan klorofil daun
secara linier pada umur 12 BSP, sedangkan kadar hara P daun sudah mendekati
status hara cukup. Berdasarkan peubah tinggi tanaman, lingkar batang dan luas
da n pelepah ke-9, dosis optimum pupuk nitrogen pada TBM 1 sebesar 382 g N per
tanaman per tahun dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar