Senin, 19 Maret 2018


Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro Biodiversitas dalam Mendukung Penganekaragaman dan Ketahanan Pangan Indonesia

Permasalahan pangan di Indonesia merupakan tantangan yang masih perlu dicari solusinya. Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat diperkirakan tahun 2045 akan mencapai 450 juta jiwa. Bukanlah hal yang mudah untuk mencapai kecukupan bagi ketahanan pangan, keamanan pangan dan kedaulatan pangan dengan hanya mengandalkan pengelolaan sumber daya alam secara konvensional. Dampak pemanasan global telah mengindikasikan adanya pergeseran musim yang tidak menentu, timbulnya kekeringan pada masa tertentu dan sebaliknya bahaya banjir mengancam di berbagai daerah. Pembangunan kota baru serta infrastrukturnya seringkali mengorbankan lahan pertanian. Di lain pihak pada setiap pembangunan perumahan dengan pengembangan sistem horizontal, maka pada setiap unit rumah selalu dirancang agar memiliki ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan sebagai pekarangan. Oleh karena itu, sekecil apa pun, jumlah pekarangan akan selalu bertambah sehingga total luasannya pun bertambah. Oleh karena itu betapa pentingnya pekarangan diberdayakan sebagai lahan bagi usaha pertanian.
Pekarangan, dari sudut ekologi, merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik/penghuninya dengan tanaman, tumbuhan serta ikan, satwa liar, dan hewan yang diternakannya. Sebagai lahan yang berada di sekitar rumah dengan batas dan pemilikan yang jelas, pekarangan merupakan lanskap yang berpotensi sebagai salah satu lahan untuk praktik agroforestri. Selain untuk produksi pertanian, juga mengkonservasi keanekaragaman hayati pertanian. Pemanfaatan pekarangan merupakan hal yang sangat strategis dalam konteks mengkonservasi keanekaragaman hayati pertanian untuk beragam jenis tanaman, hewan, dan ikan. Oleh karena itu, pekarangan berperan dalam ketahanan pangan masyarakat desa untuk pemenuhan penganekaragaman pangan lokal.
Pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam harus mempertimbangkan kondisi bio-fisik/ekologis yaitu kesesuaian lahan dan agroklimat, kondisi sosial-ekonomi yaitu potensi dan permintaan pasar, dan kondisi budaya yaitu kebiasaankebiasaan serta pengetahuan yang dimiliki masyarakat setempat. Pekarangan sebagai bagian dari kegiatan pertanian maka dalam pengembangannya memerlukan perencanaan penggunaan lahan pertanian berbasis ekosistem dengan memperhatikan ketinggian tempat, agroklimat, kesuburan tanah, tingkat erosi, dan kemiringan lereng. Pekarangan yang berkelanjutan diperlihatkan berdasarkan hubungan antara ranah wilayah bio-fisik/agro-ekologis dan sosialekonomi-budaya. Dengan memperhatikan kesamaan kedua ranah tersebut, secara ideal pekarangan yang berkelanjutan dalam bioregion dapat mencerminkan suatu sistem lahan yang dapat memberi kemandirian masyarakat dalam perbanyakannya; pemenuhan bahan pangan/pakan, sandang dan papan; dan pengelolaannya.
Secara sosial-ekonomis, dapat dibedakan empat fungsi dasar pekarangan. Pertama, produksi secara subsisten, kedua dapat menghasilkan produksi untuk komersial dan memberi tambahan pendapatan keluarga, khususnya di wilayah yang memiliki akses pasar yang baik, ketiga mempunyai fungsi sosial-budaya. Fungsi ini termasuk jasa seperti untuk saling bertukar hasil tanaman dan bahan tanaman antar tetangga, keempat memiliki fungsi ekologis, bio-fisik lingkungan. Struktur tanaman dengan multi-strata merupakan miniatur dari hutan alam tropis yang berfungsi sebagai habitat bagi beragaman tumbuhan dan satwa liar. Keberlanjutan pekarangan bisa dilihat dari struktur elemen maupun fungsi serta filosofinya. Keberlanjutan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu ukuran lahan pekarangan, tata-ruang pekarangan, keragaman struktur horizontal yaitu keragaman jenis elemen penyusunannya, dan keragaman struktur vertikal yaitu struktur stratifikasi tingginya tanaman dalam pekarangan.
Ukuran pekarangan itu dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : pekarangan sempit dengan luas <120 m="" sup="">2
, pekarangan sedang dengan luas 120-300 m2, pekarangan besar dengan luas 400-1000 m2, pekarangan sangat luas dengan luas > 1000 m2. Luasan tersebut dibagi berdasarkan dengan the critical minimum size pekarangan yaitu seluas 100 m2 yang didasarkan ukuran minimal tempat untuk menyediakan tempat untuk 5 strata tanaman. Tanaman tertentu ditanam sesuai dengan defisiensi waktu dan tenaga setiap daerah juga memiliki nama daerah untuk pekarangan masing-masing.
Tata ruang pekarangan dipengaruhi oleh letak atau posisi rumah terhadap jalur aksesibilitas jalan raya, jalan desa, gang, atau jalur sungai. Bangunan rumah pada umumnya menghadap ke jalur aksesibilitas tersebut. Pada tapak lahan yang relatif luas terutama di perdesaan dengan pola single house, rumah berada di bagian tengah tapak lahan. Bagian pekarangan mulai dari teritis teras depan hingga batas pemilikan ke depan disebut halaman depan; yang bagian samping disebut halaman samping, yaitu samping kiri dan samping kanan; sedangkan mulai dari teritis bagian belakang hingga batas pemilikan lahan di belakang disebut halaman belakang. Tata ruang pekarangan ini penting dalam menentukan peruntukan fungsinya, khusus bagi tanaman. Tanaman tertentu ditanam pada bagian pekarangan sesuai dengan efisiensi waktu dan tenaga. Zonasi pekarangan dipengaruhi juga oleh adat-istiadat, kebiasaan, agama dan suku. Konsep tri-hita-karana sebagai local knowledge pada masyarakat Bali, di mana tata-ruang mulai dari pulau,banjar, sampai pekarangan dibagi menjadi parahyang (hulu, atas, kepala), pawongan (tengah, badan), dan palemahan (hilir, bawah, kaki). Setiap bagian memiliki penggunaan yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan pemilihan jenis tanaman di pekarangan.
Stratifikasi tanaman (etagebow) di pekarangan merupakan hal yang menarik. Dengan sistem tumpangsari dalam praktik agroforestri, pekarangan memiliki struktur tanaman dari pohon yang sangat tinggi hingga rerumputan yang menjadi penutup tanah. Struktur ini dikelompokkan menjadi 5. Strata V adalah pohon tinggi > 10 m; strata IV yaitu pohon kecil/perdu besar: 5-10 m; strata III adalah perdu kecil, semak: 2-5 m; strata II adalah semak, herba: 1-2 m; dan strata I adalah herba, rumput <1m .="" adalah:="" air="" alam.="" baik="" bawah="" berlapis="" bertahap.="" butir="" dalam="" dan="" dapat="" daripada="" dedaunan="" demikian="" dengan="" di="" ditangkap="" efisien="" erosi="" hujan="" hutan="" ini="" itu="" jatuhnya="" kanopi="" karbon="" karena="" ke="" keistimewaan="" lapisan="" lebih="" lemah.="" matahari="" menahan="" menerobos="" menjadi="" menyerupai="" monokultur="" multi-strata="" o:p="" oleh="" pada="" pekarangan="" pemanenan="" penetrasi="" pengendalian="" penyaringan="" penyerapan="" permukaan="" rendah="" ruangan="" rumah="" sampai="" satu="" secara="" sehingga="" sejuk="" sinar="" sistem="" strata="" struktur="" tajuk="" tanah="" tanaman="" tekanan="" tetap="" udara="" yang="">
Keragaman horizontal dalam pekarangan adalah keragaman elemen penyusun pekarangan yaitu keragaman jenis tanaman, hewan ternak dan satwa liar, serta jenis ikan. Keragaman ini dipengaruhi oleh beragam faktor seperti ekologi, ekonomi, dan budaya. Struktur tanaman pekarangan dikelompokkan dalam kegunaan atau fungsinya bagi rumah tangga pemilik pekarangan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian telah dikelompokkan menjadi 8 fungsi tanaman pekarangan, yaitu (1) tanaman hias; (2) tanaman buah; (3) tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6) tanaman penghasil pati; (7) tanaman bahan baku industri; dan (8) tanaman lainnya, seperti penghasil pakan, kayu bakar, bahan kerajinan tangan, dan peneduh. Keanekaragaman tanaman secara horizontal juga dipandang sebagai keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) dalam pekarangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar