Pekarangan
Kampung untuk Konservasi Agro Biodiversitas dalam Mendukung Penganekaragaman
dan Ketahanan Pangan Indonesia
Permasalahan pangan di Indonesia merupakan
tantangan yang masih perlu dicari solusinya. Jumlah penduduk Indonesia terus
meningkat diperkirakan tahun 2045 akan mencapai 450 juta jiwa. Bukanlah hal
yang mudah untuk mencapai kecukupan bagi ketahanan pangan, keamanan pangan dan kedaulatan
pangan dengan hanya mengandalkan pengelolaan sumber daya alam secara
konvensional. Dampak pemanasan global telah mengindikasikan adanya pergeseran
musim yang tidak menentu, timbulnya kekeringan pada masa tertentu dan sebaliknya
bahaya banjir mengancam di berbagai daerah. Pembangunan kota baru serta
infrastrukturnya seringkali mengorbankan lahan pertanian. Di lain pihak pada
setiap pembangunan perumahan dengan pengembangan sistem horizontal, maka pada
setiap unit rumah selalu dirancang agar memiliki ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan
sebagai pekarangan. Oleh karena itu, sekecil apa pun, jumlah pekarangan akan
selalu bertambah sehingga total luasannya pun bertambah. Oleh karena itu betapa
pentingnya pekarangan diberdayakan sebagai lahan bagi usaha pertanian.
Pekarangan, dari
sudut ekologi, merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai
hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik/penghuninya dengan tanaman,
tumbuhan serta ikan, satwa liar, dan hewan yang diternakannya. Sebagai lahan yang
berada di sekitar rumah dengan batas dan pemilikan yang jelas, pekarangan
merupakan lanskap yang berpotensi sebagai salah satu lahan untuk praktik
agroforestri. Selain untuk produksi pertanian, juga mengkonservasi
keanekaragaman hayati pertanian. Pemanfaatan pekarangan merupakan hal yang
sangat strategis dalam konteks mengkonservasi keanekaragaman hayati pertanian
untuk beragam jenis tanaman, hewan, dan ikan. Oleh karena itu, pekarangan
berperan dalam ketahanan pangan masyarakat desa untuk pemenuhan penganekaragaman
pangan lokal.
Pemilihan jenis tanaman dan pengaturan
pola tanam harus mempertimbangkan kondisi bio-fisik/ekologis yaitu kesesuaian lahan
dan agroklimat, kondisi sosial-ekonomi yaitu potensi dan permintaan pasar, dan
kondisi budaya yaitu kebiasaankebiasaan serta pengetahuan yang dimiliki
masyarakat setempat. Pekarangan sebagai bagian dari kegiatan pertanian maka
dalam pengembangannya memerlukan perencanaan penggunaan lahan pertanian
berbasis ekosistem dengan memperhatikan ketinggian tempat, agroklimat,
kesuburan tanah, tingkat erosi, dan kemiringan lereng. Pekarangan yang
berkelanjutan diperlihatkan berdasarkan hubungan antara ranah wilayah
bio-fisik/agro-ekologis dan sosialekonomi-budaya. Dengan memperhatikan kesamaan
kedua ranah tersebut, secara ideal pekarangan yang berkelanjutan dalam bioregion
dapat mencerminkan suatu sistem lahan yang dapat memberi kemandirian
masyarakat dalam perbanyakannya; pemenuhan bahan pangan/pakan, sandang dan
papan; dan pengelolaannya.
Secara sosial-ekonomis, dapat dibedakan
empat fungsi dasar pekarangan. Pertama, produksi secara subsisten, kedua dapat
menghasilkan produksi untuk komersial dan memberi tambahan pendapatan keluarga,
khususnya di wilayah yang memiliki akses pasar yang baik, ketiga mempunyai
fungsi sosial-budaya. Fungsi ini termasuk jasa seperti untuk saling bertukar
hasil tanaman dan bahan tanaman antar tetangga, keempat memiliki fungsi
ekologis, bio-fisik lingkungan. Struktur tanaman dengan multi-strata merupakan
miniatur dari hutan alam tropis yang berfungsi sebagai habitat bagi beragaman tumbuhan
dan satwa liar. Keberlanjutan pekarangan bisa dilihat dari struktur elemen maupun
fungsi serta filosofinya. Keberlanjutan ini dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu ukuran lahan pekarangan, tata-ruang pekarangan, keragaman struktur
horizontal yaitu keragaman jenis elemen penyusunannya, dan keragaman struktur
vertikal yaitu struktur stratifikasi tingginya tanaman dalam pekarangan.
Ukuran pekarangan
itu dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : pekarangan sempit dengan luas
<120 m="" sup="">2
, pekarangan sedang dengan luas 120-300 m2,
pekarangan besar dengan luas 400-1000 m2, pekarangan sangat luas
dengan luas > 1000 m2. Luasan tersebut dibagi berdasarkan dengan the critical minimum size pekarangan
yaitu seluas 100 m2 yang didasarkan ukuran minimal tempat untuk
menyediakan tempat untuk 5 strata tanaman. Tanaman tertentu ditanam sesuai
dengan defisiensi waktu dan tenaga setiap daerah juga memiliki nama daerah
untuk pekarangan masing-masing.
Tata ruang pekarangan dipengaruhi oleh
letak atau posisi rumah terhadap jalur aksesibilitas jalan raya, jalan desa,
gang, atau jalur sungai. Bangunan rumah pada umumnya menghadap ke jalur aksesibilitas
tersebut. Pada tapak lahan yang relatif luas terutama di perdesaan dengan pola single
house, rumah berada di bagian tengah tapak lahan. Bagian pekarangan mulai
dari teritis teras depan hingga batas pemilikan ke depan disebut halaman depan;
yang bagian samping disebut halaman samping, yaitu samping kiri dan samping
kanan; sedangkan mulai dari teritis bagian belakang hingga batas pemilikan
lahan di belakang disebut halaman belakang. Tata ruang pekarangan ini penting dalam
menentukan peruntukan fungsinya, khusus bagi tanaman. Tanaman tertentu ditanam
pada bagian pekarangan sesuai dengan efisiensi waktu dan tenaga. Zonasi
pekarangan dipengaruhi juga oleh adat-istiadat, kebiasaan, agama dan suku.
Konsep tri-hita-karana sebagai local knowledge pada masyarakat
Bali, di mana tata-ruang mulai dari pulau,banjar, sampai pekarangan dibagi
menjadi parahyang (hulu, atas, kepala), pawongan (tengah, badan),
dan palemahan (hilir, bawah, kaki). Setiap bagian memiliki penggunaan
yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan pemilihan jenis tanaman di
pekarangan.
Stratifikasi tanaman (etagebow) di
pekarangan merupakan hal yang menarik. Dengan sistem tumpangsari dalam praktik
agroforestri, pekarangan memiliki struktur tanaman dari pohon yang sangat
tinggi hingga rerumputan yang menjadi penutup tanah. Struktur ini dikelompokkan
menjadi 5. Strata V adalah pohon tinggi > 10 m; strata IV yaitu pohon
kecil/perdu besar: 5-10 m; strata III adalah perdu kecil, semak: 2-5 m; strata II
adalah semak, herba: 1-2 m; dan strata I adalah herba, rumput <1m .="" adalah:="" air="" alam.="" baik="" bawah="" berlapis="" bertahap.="" butir="" dalam="" dan="" dapat="" daripada="" dedaunan="" demikian="" dengan="" di="" ditangkap="" efisien="" erosi="" hujan="" hutan="" ini="" itu="" jatuhnya="" kanopi="" karbon="" karena="" ke="" keistimewaan="" lapisan="" lebih="" lemah.="" matahari="" menahan="" menerobos="" menjadi="" menyerupai="" monokultur="" multi-strata="" o:p="" oleh="" pada="" pekarangan="" pemanenan="" penetrasi="" pengendalian="" penyaringan="" penyerapan="" permukaan="" rendah="" ruangan="" rumah="" sampai="" satu="" secara="" sehingga="" sejuk="" sinar="" sistem="" strata="" struktur="" tajuk="" tanah="" tanaman="" tekanan="" tetap="" udara="" yang="">
Keragaman horizontal dalam pekarangan
adalah keragaman elemen penyusun pekarangan yaitu keragaman jenis tanaman,
hewan ternak dan satwa liar, serta jenis ikan. Keragaman ini dipengaruhi oleh
beragam faktor seperti ekologi, ekonomi, dan budaya. Struktur tanaman
pekarangan dikelompokkan dalam kegunaan atau fungsinya bagi rumah tangga
pemilik pekarangan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian telah
dikelompokkan menjadi 8 fungsi tanaman pekarangan, yaitu (1) tanaman hias; (2)
tanaman buah; (3) tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6)
tanaman penghasil pati; (7) tanaman bahan baku industri; dan (8) tanaman
lainnya, seperti penghasil pakan, kayu bakar, bahan kerajinan tangan, dan
peneduh. Keanekaragaman tanaman secara horizontal juga dipandang sebagai
keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) dalam pekarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar