Senin, 18 September 2017

Tinjauan Pustaka Cabai

II.  TINJAUAN PUSTAKA

A. Botani Cabai
 Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) berasal dari daratan Amerika Selatan dan Amerika Tengah.  Tanaman cabai tumbuh kira-kira sejak 2500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat yang pertama kali memanfaatkan dan mengembangkan  cabai adalah orang Inca di Amerika Selatan, orang Maya di Amerika Tengah, dan orang Aztek di Meksiko. Mereka memanfaatkannya sebagai bumbu masakan. Pada tahun 1500-an, bangsa Portugis mulai memperdagangkan  cabai ke Makao dan Goa, kemudian masuk ke India, Cina, dan Thailand. Hingga sekarang belum ada data yang pasti mengenai kapan  cabai dibawa masuk ke Indonesia. Menurut dugaan kemungkinan  cabai dibawa oleh saudagar-saudagar dari Persia ketika singgah di Aceh. Sumber lain menyebutkan bahwa  cabai masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Portugis (Susmawati dan Muda, 2013). Sejak saat itu cabai berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sudah terbiasa memanfaatkan buah cabai sebagai bumbu masakan dan daunnya sebagai obat luar. Penyebarluasan lewat biji atau benih diduga dilakukan secara tidak sengaja oleh burung-burung liar ( Setiadi, 2013). Klasifikasi tanaman cabai keriting adalah sebagai berikut (USDA, 2013):
Divisio      :  Magnoliophyta
Class         : Magnoliopsida
Subclass    :Asteridae
Ordo         : Solanales
Familia      :  Solanaceae
Subfamilia :  Solanoideae
Tribus        :  Capsiceae
Genus        :  Capsicum
Species      :Capsicum annuum L.
Tanaman cabai memiliki banyak ragam bentuk dan tipe pertumbuhan. Bentuk
dan ukuran buahnya bervariasi, mulai dari bulat, lonjong, hingga panjang dengan ukuran kecil sampai besar. Cabai yang sebagian besar hidup dan berkembang di Benua Amerika diperkirakan sebanyak 20 spesies. Masyarakat di Indonesia umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Harpenas dan Dermawan, 2010).
Menurut Djarwaningsih (1984), buah cabai besar (Capsicum annuum L.) memiliki panjang berkisar 6-10 cm, diameter 0,7-1,3 cm. Cabai besar di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yaitu cabai merah besar dan cabai merah keriting. Permukaan buah cabai merah besar halus dan mengkilat serta mempunyai rasa pedas, sedangkan cabai merah keriting bentuknya lebih ramping dengan cita rasa sangat pedas. Cabai besar dapat tumbuh subur di dataran rendah sampai dataran tinggi. Cabai merah memiliki ciri-ciri antara lain bentuk buah besar, panjang, dan meruncing; buah muda berwarna hijau, sedangkan buah tua berwarna merah; banyak terdapat biji dan rasanya agak pedas.
Cabai keriting termasuk tanaman semusim, berbentuk perdu atau setengah perdu, mempunyai sistem perakaran agak menyebar, batang utama tumbuh tegak dan pangkalnya berkayu. Daun tumbuh secara tunggal dengan bentuk sangat bervariasi, yaitu lancip sampai bulat telur dan ujungnya runcing. Bentuk bunga cabai besar umumnya tunggal yang keluar dari ketiak-ketiak daun. Daun bunga berwarna putih atau unggu dan mempunyai lima benang sari serta satu buah putik. Penyerbukan dapat berlangsung secara silang ataupun menyerbuk sendiri dan buah umunya terbentuk tunggal. Struktur buah cabai besar terdiri atas kulit, daging buah, dan didalamnya terdapat sebuah plasenta (tempat biji menempel secara tersusun) (Rukmana,2000).
Syarat tumbuh tanaman cabai adalah dataran rendah hingga menengah pada ketinggian 0-800 m dpl dengan suhu berkisar 20-25oC, pada ketinggian di atas 1.300 m dpl, cabai tumbuh sangat lambat dan pembentukan buahnya juga terhambat. Adapun suhu bulanan yang dibutuhkan selama proses pembuahan berkisar 21-28oC. Tanaman cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit. Curah hujan yang baik untuk tanaman cabai yaitu 600-1250 mm/tahun.Tanaman cabai dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berpasir hingga tanah liat. Umumnya tanah yang baik untuk pertanaman cabai yaitu tanah lempung berpasir atau tanah ringan yang banyak mengandung bahan organik dan unsur hara. Pertumbuhan cabai akan optimum jika ditanam pada tanah dengan pH 6-7. Tanaman cabai dapat ditanam kapanpun tanpa tergantung musim (Harpenas dan Dermawan, 2010).

B.  Budidaya Tanaman Cabai
Pengolahan tanah dilakukan untuk hasil produksi tanaman cabai keriting yang berkualitas. Pengolahan tanah tersebut memiliki beberapa syarat (Anonim, 2015).
1.   Tanaman cabai memerlukan tanah yang gembur untuk tumbuh baik. Tanah yang digunakan harus memiliki porositas yang baik.
2.   Pembajakan dan pencangkulan lahan diusahakan sedalam 30 cm, hal ini dilakukan agar perakaran tanaman cabai tidak terganggu oleh kepadatan tanah.
3.   Pembuatan bedengan dengan tinggi 30 cm yang memiliki jarak antar bedengan 60 cm, sedangkan panjang bedengan tergantung dengan kondisi lahan dilapangan. Hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan bedengan agar saluran drainase yang baik karena pada umumnya tanaman cabai tidak akan tahan terhadap genangan. Tanaman cabai memrlukan pH tanah sekitar 6 sampai 7, apabila pH di bawah itu maka perlu ditambahkan kapur dengan takaran sebanyak 2 – 4 ton (tergantung berapa pH awal).
4.   Teknik budidaya cabai intensif memerlukan bedengan dengan menggunakan mulsa plastik. Penggunaan mulsa bermanfaat untuk menekan terjadinya erosi, mempertahankan kelembaban tanah, mengendalikan gulma dan juga dapat sebagai salah satu pemutus rantai hama dan penyakit tanaman cabai.
Tanaman cabai memerlukan perhatian khusus dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang perlu dilakukan antara lain: penyiraman dan pengendalian gulma. Perkecambahan cabai akan berjalan dengan baik apabila mendapatkan kelembaban yang cukup. Untuk itu, perlu dilakukan penyiraman secara rutin. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari ketika awal masa tanam, pagi dan sore. Penyiraman harus dilakukan secara hati – hati agar tidak menggeser benih. Kemudian pengendalian gulma dilakukan secara rutin agar tanaman mampu tumbuh dan berkembang secara efisien yang tidak melakukan kompetisi dengan gulma (Warisno,2010).
Pemanenan dapat di lakukan pada umur 2,5 – 3 bulan di hitung sejak tanam. Pemanenan dapat di lakukan hingga tanaman cabai mencapai umur 6 bulan bahkan bisa lebih, umur maksimal cabai adalah 24 bulan. Fase panen hingga 15-18 kali dalam sekali tanam. Perhitunganya pada umur yang tua hasil panen akan berkurang dan kualitas cabai akan menurun sehingga tidak ekonomis lagi. Pemanenan dilakukan pada pagi hari karena pada pagi hari belum terjadi proses yang melibatkan cahaya matahari sehingga asimilat tidak tereduksi. Cara pemanenan adalah dengan memetik buah berserta tangkainya. Buah yang yang baik bentuknya ramping dan padat berisi. Tipe buah seperti ini biasanya rasanya pedas dan dihargai lebih tinggi di pasar dibanding buah yang besar namun kopong (Agrotani,2015).
Buah cabai dari setiap varietas cabai mempunyai perbedaan dalam jumlah dan bobot per satuan berat, yang berpengaruh terhadap rendemen biji. Perlakuan buah melalui penyimpanan buah beberapa hari setelah panen akan lebih memudahkan dalam prosesing benih secara manual. Dalam prosesing benih cabai, perontokan benih dapat dilakukan secara manual untuk buah yang jumlahnya sedikit. Untuk buah yang jumlahnya banyak dapat digunakan alat bantu seperti penggiling daging yang telah dimodifikasi, yaitu ujung pisau ditumpulkan untuk mengekstrak benih cabai. Untuk itu benih perlu dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir (Kusandriani dan Muharam, 2005)
Jika kadar air benih awal sudah baik dan konstan, yaitu lebih kurang 7%, maka untuk penyimpanan jangka menengah (medium) benih ditempatkan di “Cold Storage” dengan kelembaban 15 – 50%. Dua faktor yang menentukan kualitas dan daya tahan benih di tempat penyimpanan benih (gudang benih) adalah kadar air benih dan suhu gudang penyimpanan “suhu rendah”. Untuk penyimpanan benih jangka menengah (18 -24 bulan), suhu yang diperlukan adalah 16 – 20 ºC, dan kelembaban 50% (Sutopo 1993).

C. Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit
Ketahanan tanaman terhadap penyakit didefinisikan sebagai suatu karakter yang memungkinkan tanaman terhindar, mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan penyakit dalam kondisi yang akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman oleh patogen (Hammerschmidt dan Dann, 2000 dalam Firmansyah, 2008).
Ketahanan tanaman inang terhadap infeksi patogen dibagi menjadi dua, yaitu ketahanan pasif dan aktif. Salah satu bentuk ketahanan tanaman terhadap penyakit yaitu ketahanan mekanis yang merupakan ketahanan aktif. Sifat ketahanan aktif terjadi setelah tanaman terinfeksi. Ketahanan pasif disebabkan adanya srtuktur tanaman yang menjadi penghalang patogen untuk melakukan penetrasi karena tanaman mempunyai epidermis yang berkutikula tebal, lapisan lilin, dan jumlah stomata sedikit. Ketahanan metabolik juga merupakan ketahanan pasif yang disebabkan adanya senyawa-senyawa metabolit yang dihasilkan tanaman, baik sebelum maupun sesudah infeksi. Menurut Hardi dan Darwiati (2007) sifat-sifat tanaman resisten dipengaruhi oleh faktor (1) genetik yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik, (2) morfologi yaitu sifat tahan yang disebebkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) ekologi yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Syukur et al., 2009).
Ketahanan genetik yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan. Berdasarkan susunan dan sifat-sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi:
1.   monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif;
2.   oligogenik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain; dan
3.   polygenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe patogen sehingga mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.
Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu ketahanan vertikal dan ketahanan horizontal. Ketahanan vertikal adalah suatu bentuk ketahanan tanaman yang dikendalikan oleh satu atau beberapa gen, biasanya sifatnya sangat tahan, sifat ketahanannya sangat mudah patah, jadi kalau ketahanannya sudah patah maka seolah-olah tanaman itu tidak mempunyai ketahanan. Tipe ketahanan vertikal dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik).
Secara umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri (Sutopo et al., 1992):
1.   biasanya diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen;
2.   relatif mudah diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan genetik;
3.   menghasilkan ketahanan genetik tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika timbul biotipe baru maka ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman menjadi sangat rentan terhadap biotipe tersebut; dan
4.   biasanya menunda awal terjadinya epidemi, tetapi apabila terjadi epidemi maka kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang rentan.
Tipe Ketahanan horizontal disebut juga ketahanan kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan demikian masih menunjukan sedikit kepekaan terhadap penyakit tetapi memiliki kemampuan untuk memperlambat laju perkembangan penyakit.Secara teoritis, ketahanan horizontal umumnya sulit dipatahkan. Kultivar dengan tipe ketahanan demikian dapat diperoleh dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan minor ke dalam suatu kultivar dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional maupun non-konvesional (Kush, 1997).
Ciri-ciri khusus ketahanan horizontal adalah (Sutopo et al., 1992):
1.   biasanya memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tipe ketahanan vertikal, dan jarang didapat immunitas;
2.   diwariskan secara poligenik dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen; dan pengaruhnya terlihat dari penurunan laju perkembangan penyakit
Ketahanan terhadap virus dilaporkan terdapat pada cabai keriting, menurut Jimenez et al.(2014) galur cabai liar yang berasal dari New Mexico State University (NMSU) yaitu NuMex Bailey Piquin, NuMex Twilight, PI 257053, PI 281297, PI 288938, PI 357522 memiliki ketahanan terhadap Beet Curly Top Virus (BCTV) dan satu kultivar ‘NuMex Las Cruces' cayenne’ tahan terhadap BMCTV, BSCTV dan BCTV. Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Bila ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan sebaran diskontinu sehingga umumnya individu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi. Untuk sifat yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel (disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan ragam lingkungan pada sifat yang dikendalikan oleh gen-gen minor. Karena jumlah gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil, maka ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek dominan (Russel, 1981 dalam Hermawan et al., 2014).

D. Penyakit Antraknosa pada Cabai
Antraknosa (patek) merupakan salah satu penyakit yang hingga saat ini masih menjadi kendala utama dalam budidaya cabai, karena bisa menyebabkan kegagalan panen. Kehilangan potensi hasil cabai akibat penyakit antraknosa dilaporkan bervariasi antara 25–100% (Hadden & Black 1988, Amilin et al. 1995, Wang & Sheu 2006, Setiawati et al. 2011, Prathibha et al. 2013). Selain kuantitas, penyakit antraknosa juga menurunkan kualitas cabai yang meliputi penurunan 16–69% kadar penol, 20–60% kadar capsaisin, dan17–55% kadar oleoresin (Prathibha et al. 2013).
Gejala serangan penyakit antraknosa pada buah ditandai dengan buah busuk berwarna kuning-cokelat, seperti terkena sengatan matahari diikuti oleh busuk basah yang terkadang muncul jelaga berwarna hitam, sedangkan pada biji dapat menimbulkan kegagalan berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah. Serangan pada tanaman dewasa dapat menyebabkan kematian pucuk yang berlanjut dengan kematian bagian tanaman lainnya, seperti ranting dan cabang yang mengering berwarna cokelat kehitaman. Pada batang cabai, aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat 2007, Herwidyarti 2013). Buah yang terserang antraknosa ditandai dengan gejala bercak berwarna hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak. Serangan berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering. Patogen dapat juga menyerang pada buah yang sudah dipetik. Penyakit akan berkembang dalam pengangkutan dan penyimpanan sehingga hasil panen akan membusuk (Efri 2010). Penyebab penyakit antraknosa adalah cendawan Colletotrichum spp. Berdasarkan morfologi spora, Colletotrichum spp. dibagi menjadi empat spesies yaitu Colletotrichum acutatum, Colletotrichum capsici, Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum cocodes (Wang & Sheu 2006, Than et al. 2008).
Upaya pengendalian terhadap penyakit antraknosa sampai saat ini masih mengandalkan pestisida kimia sintetik yang digunakan secara intensif di tingkat petani. Menurut Ameriana (2008) penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sayuran diindikasikan dalam jumlah yang berlebih. Hal ini berdampak terhadap tingginya tingkat residu pestisida pada cabai (Mutiatikum & Raini 2006). Residu pestisida sangat berbahaya bagi manusia, hasil penelitian Lubis et al. (2013) menunjukkan bahwa residu pestisida yang terjadi pada fase kehamilan dapat menyebabkan mutasi genetik dan menurunkan bakat leukimia pada individu tersebut dan keturunannya pada masa mendatang.
Salah satu solusi untuk memecahkan permasalahan penyakit antraknosa adalah melalui program pemuliaan tanaman. Walaupun perakitan varietas tahan relatif memerlukan periode waktu yang panjang, varietas tahan antraknosa tetap penting diwujudkan sebagai kontribusi bidang pemuliaan tanaman untuk menurunkan tingkat penggunaan pestisida oleh petani dan menyediakan produk aman bagi konsumen. Tahapan kegiatan pemuliaan meliputi koleksi plasma nutfah, karakterisasi, seleksi tetua, dan perluasan keragaman genetik (melalui hibridisasi, mutasi, fusi protoplas, dan rekayasa genetika). Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan seleksi setelah perluasan keragaman genetik, evaluasi, dan pengujian serta pelepasan/pendaftaran varietas dan perbanyakan benih (Syukur et al. 2012, Sutjahyo 2013).

Koleksi plasma nutfah tahan antraknosa umumnya berasal dari genotip cabai hasil introduksi yang bentuk dan ukuran buahnya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia, sedangkan varietas cabai yang telah beredar di masyarakat dan diminati konsumen tidak memiliki ketahanan terhadap serangan antraknosa. Perluasan keragaman genetik melalui persilangan perlu dilakukan sebagai langkah awal program pemuliaan perakitan varietas tahan antraknosa. Penelitian ini bertujuan menyeleksi tetua tahan penyakit antraknosa dan mengetahui keberhasilan persilangan antara tetua tahan dengan varietas Balitsa yaitu Kencana dan Tanjung-2 dalam rangka memperluas keragaman genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa sebagai bahan dasar untuk program seleksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar