II. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Botani Cabai
Tanaman cabai
(Capsicum annuum L.) berasal dari daratan Amerika Selatan dan Amerika
Tengah. Tanaman cabai
tumbuh kira-kira sejak 2500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat yang pertama kali
memanfaatkan dan mengembangkan cabai adalah orang Inca di Amerika
Selatan, orang Maya di Amerika Tengah, dan orang Aztek di Meksiko. Mereka
memanfaatkannya sebagai bumbu masakan. Pada tahun 1500-an, bangsa Portugis
mulai memperdagangkan cabai ke Makao dan Goa,
kemudian masuk ke India, Cina, dan Thailand. Hingga sekarang belum ada data
yang pasti mengenai kapan cabai dibawa masuk ke Indonesia.
Menurut dugaan kemungkinan cabai dibawa oleh
saudagar-saudagar dari Persia ketika singgah di Aceh. Sumber lain menyebutkan
bahwa cabai masuk ke Indonesia
dibawa oleh bangsa Portugis (Susmawati dan Muda, 2013). Sejak saat itu cabai
berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sudah
terbiasa memanfaatkan buah cabai sebagai bumbu masakan dan daunnya sebagai obat
luar. Penyebarluasan lewat biji atau benih diduga dilakukan secara tidak
sengaja oleh burung-burung liar ( Setiadi, 2013).
Klasifikasi tanaman cabai keriting adalah sebagai berikut (USDA, 2013):
Class :
Magnoliopsida
Subclass :Asteridae
Ordo :
Solanales
Tanaman cabai memiliki banyak ragam bentuk dan tipe
pertumbuhan. Bentuk
dan ukuran buahnya bervariasi, mulai
dari bulat, lonjong, hingga panjang dengan ukuran kecil sampai besar. Cabai
yang sebagian besar hidup dan berkembang di Benua Amerika diperkirakan sebanyak
20 spesies. Masyarakat di Indonesia umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja,
yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Harpenas dan
Dermawan, 2010).
Menurut Djarwaningsih (1984), buah cabai
besar (Capsicum annuum L.) memiliki panjang berkisar 6-10 cm, diameter
0,7-1,3 cm. Cabai besar di Indonesia dibagi menjadi dua
kelompok yaitu cabai merah besar dan cabai merah keriting. Permukaan buah cabai
merah besar halus dan mengkilat serta mempunyai rasa pedas, sedangkan cabai
merah keriting bentuknya lebih ramping dengan cita rasa sangat pedas. Cabai
besar dapat tumbuh subur di dataran rendah sampai dataran tinggi. Cabai merah
memiliki ciri-ciri antara lain bentuk buah besar, panjang, dan meruncing; buah
muda berwarna hijau, sedangkan buah tua berwarna merah; banyak terdapat biji
dan rasanya agak pedas.
Cabai keriting termasuk tanaman semusim,
berbentuk perdu atau setengah perdu, mempunyai sistem perakaran agak menyebar,
batang utama tumbuh tegak dan pangkalnya berkayu. Daun tumbuh secara tunggal
dengan bentuk sangat bervariasi, yaitu lancip sampai bulat telur dan ujungnya
runcing. Bentuk bunga cabai besar umumnya tunggal yang keluar dari
ketiak-ketiak daun. Daun bunga berwarna putih atau unggu dan mempunyai lima
benang sari serta satu buah putik. Penyerbukan dapat berlangsung secara silang
ataupun menyerbuk sendiri dan buah umunya terbentuk tunggal. Struktur buah
cabai besar terdiri atas kulit, daging buah, dan didalamnya terdapat sebuah
plasenta (tempat biji menempel secara tersusun) (Rukmana,2000).
Syarat tumbuh tanaman cabai adalah
dataran rendah hingga menengah pada ketinggian 0-800 m dpl dengan suhu berkisar
20-25oC, pada ketinggian di
atas 1.300 m dpl, cabai tumbuh sangat lambat dan pembentukan buahnya juga
terhambat. Adapun suhu bulanan yang dibutuhkan selama proses pembuahan berkisar
21-28oC. Tanaman cabai tidak
menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah karena pada keadaan
tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit. Curah hujan yang baik untuk
tanaman cabai yaitu 600-1250 mm/tahun.Tanaman cabai dapat tumbuh dan
beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berpasir
hingga tanah liat. Umumnya tanah yang baik untuk pertanaman cabai yaitu tanah
lempung berpasir atau tanah ringan yang banyak mengandung bahan organik dan
unsur hara. Pertumbuhan cabai akan optimum jika ditanam pada tanah dengan pH
6-7. Tanaman cabai dapat ditanam kapanpun tanpa tergantung musim (Harpenas dan
Dermawan, 2010).
B.
Budidaya Tanaman Cabai
Pengolahan tanah
dilakukan untuk hasil produksi tanaman cabai keriting yang berkualitas.
Pengolahan tanah tersebut memiliki beberapa syarat (Anonim, 2015).
1. Tanaman
cabai memerlukan tanah yang gembur untuk tumbuh baik. Tanah yang digunakan
harus memiliki porositas yang baik.
2.
Pembajakan dan pencangkulan lahan
diusahakan sedalam 30 cm, hal ini dilakukan agar perakaran tanaman cabai tidak
terganggu oleh kepadatan tanah.
3. Pembuatan
bedengan dengan tinggi 30 cm yang memiliki jarak antar bedengan 60 cm,
sedangkan panjang bedengan tergantung dengan kondisi lahan dilapangan. Hal
tersebut dilakukan untuk memaksimalkan bedengan agar saluran drainase yang baik
karena pada umumnya tanaman cabai tidak akan tahan terhadap genangan. Tanaman
cabai memrlukan pH tanah sekitar 6 sampai 7, apabila pH di bawah itu maka perlu
ditambahkan kapur dengan takaran sebanyak 2 – 4 ton (tergantung berapa pH
awal).
4. Teknik
budidaya cabai intensif memerlukan bedengan dengan menggunakan mulsa plastik.
Penggunaan mulsa bermanfaat untuk menekan terjadinya erosi, mempertahankan
kelembaban tanah, mengendalikan gulma dan juga dapat sebagai salah satu pemutus
rantai hama dan penyakit tanaman cabai.
Tanaman cabai memerlukan perhatian
khusus dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang perlu dilakukan antara lain:
penyiraman dan pengendalian gulma. Perkecambahan cabai akan berjalan dengan
baik apabila mendapatkan kelembaban yang cukup. Untuk itu, perlu dilakukan
penyiraman secara rutin. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari ketika awal masa
tanam, pagi dan sore. Penyiraman harus dilakukan secara hati – hati agar tidak
menggeser benih. Kemudian pengendalian gulma dilakukan secara rutin agar
tanaman mampu tumbuh dan berkembang secara efisien yang tidak melakukan
kompetisi dengan gulma (Warisno,2010).
Pemanenan dapat di lakukan pada umur 2,5
– 3 bulan di hitung sejak tanam. Pemanenan dapat di lakukan hingga tanaman
cabai mencapai umur 6 bulan bahkan bisa lebih, umur maksimal cabai adalah 24
bulan. Fase panen hingga 15-18 kali dalam sekali tanam. Perhitunganya pada umur
yang tua hasil panen akan berkurang dan kualitas cabai akan menurun sehingga
tidak ekonomis lagi. Pemanenan dilakukan pada pagi hari karena pada pagi hari
belum terjadi proses yang melibatkan cahaya matahari sehingga asimilat tidak
tereduksi. Cara pemanenan adalah dengan memetik buah berserta tangkainya. Buah
yang yang baik bentuknya ramping dan padat berisi. Tipe buah seperti ini
biasanya rasanya pedas dan dihargai lebih tinggi di pasar dibanding buah yang
besar namun kopong (Agrotani,2015).
Buah cabai dari setiap varietas cabai
mempunyai perbedaan dalam jumlah dan bobot per satuan berat, yang berpengaruh
terhadap rendemen biji. Perlakuan buah melalui penyimpanan buah beberapa hari
setelah panen akan lebih memudahkan dalam prosesing benih secara manual. Dalam
prosesing benih cabai, perontokan benih dapat dilakukan
secara manual untuk buah yang jumlahnya sedikit. Untuk buah yang jumlahnya
banyak dapat digunakan alat bantu seperti penggiling daging yang telah
dimodifikasi, yaitu ujung pisau ditumpulkan untuk mengekstrak benih cabai.
Untuk itu benih perlu dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir
(Kusandriani dan Muharam, 2005)
Jika kadar air benih awal sudah baik dan
konstan, yaitu lebih kurang 7%, maka untuk penyimpanan jangka menengah (medium)
benih ditempatkan di “Cold Storage” dengan kelembaban 15 – 50%. Dua faktor yang
menentukan kualitas dan daya tahan benih di tempat penyimpanan benih (gudang
benih) adalah kadar air benih dan suhu gudang penyimpanan “suhu rendah”. Untuk
penyimpanan benih jangka menengah (18 -24 bulan), suhu yang
diperlukan adalah 16 – 20 ºC, dan kelembaban 50% (Sutopo 1993).
C.
Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit
Ketahanan tanaman terhadap penyakit
didefinisikan sebagai suatu karakter yang memungkinkan tanaman terhindar,
mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan penyakit dalam kondisi yang
akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman oleh patogen (Hammerschmidt
dan Dann, 2000 dalam Firmansyah, 2008).
Ketahanan tanaman inang terhadap infeksi
patogen dibagi menjadi dua, yaitu ketahanan pasif dan aktif. Salah satu bentuk
ketahanan tanaman terhadap penyakit yaitu ketahanan mekanis yang merupakan
ketahanan aktif. Sifat ketahanan aktif terjadi setelah tanaman terinfeksi.
Ketahanan pasif disebabkan adanya srtuktur tanaman yang menjadi penghalang
patogen untuk melakukan penetrasi karena tanaman mempunyai epidermis yang
berkutikula tebal, lapisan lilin, dan jumlah stomata sedikit. Ketahanan
metabolik juga merupakan ketahanan pasif yang disebabkan adanya senyawa-senyawa
metabolit yang dihasilkan tanaman, baik sebelum maupun sesudah infeksi. Menurut
Hardi dan Darwiati (2007) sifat-sifat tanaman resisten dipengaruhi oleh faktor
(1) genetik yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik, (2)
morfologi yaitu sifat tahan yang disebebkan oleh sifat morfologi tanaman yang
tidak menguntungkan hama, dan (3) ekologi yaitu ketahanan tanaman yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Syukur et al., 2009).
Ketahanan genetik yaitu sifat tahan yang
diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan. Berdasarkan susunan dan
sifat-sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi:
1. monogenik,
sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif;
2. oligogenik,
sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain; dan
3. polygenik,
sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen
memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe patogen sehingga
mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.
Ketahanan genetik juga dapat dibedakan
menjadi beberapa tipe yaitu ketahanan vertikal dan ketahanan horizontal.
Ketahanan vertikal adalah suatu bentuk ketahanan tanaman yang dikendalikan oleh
satu atau beberapa gen, biasanya sifatnya sangat tahan, sifat ketahanannya
sangat mudah patah, jadi kalau ketahanannya sudah patah maka seolah-olah
tanaman itu tidak mempunyai ketahanan. Tipe ketahanan vertikal dikendalikan
oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik).
Secara
umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri (Sutopo et al., 1992):
1. biasanya
diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen;
2. relatif
mudah diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan
genetik;
3. menghasilkan
ketahanan genetik tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika
timbul biotipe baru maka ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman
menjadi sangat rentan terhadap biotipe tersebut; dan
4. biasanya
menunda awal terjadinya epidemi, tetapi apabila terjadi epidemi maka
kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang rentan.
Tipe Ketahanan horizontal disebut juga
ketahanan kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan demikian masih
menunjukan sedikit kepekaan terhadap penyakit tetapi memiliki kemampuan untuk
memperlambat laju perkembangan penyakit.Secara teoritis, ketahanan horizontal
umumnya sulit dipatahkan. Kultivar dengan tipe ketahanan demikian dapat
diperoleh dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan minor ke dalam suatu
kultivar dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional
maupun non-konvesional (Kush, 1997).
Ciri-ciri
khusus ketahanan horizontal adalah (Sutopo et al., 1992):
1. biasanya
memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tipe ketahanan
vertikal, dan jarang didapat immunitas;
2. diwariskan
secara poligenik dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen; dan
pengaruhnya terlihat dari penurunan laju perkembangan penyakit
Ketahanan terhadap
virus dilaporkan terdapat pada cabai keriting, menurut Jimenez et al.(2014)
galur cabai liar yang berasal dari New Mexico State University (NMSU) yaitu
NuMex Bailey Piquin, NuMex Twilight, PI 257053, PI 281297, PI 288938, PI 357522 memiliki ketahanan terhadap Beet Curly
Top Virus (BCTV) dan satu kultivar ‘NuMex Las Cruces'
cayenne’ tahan terhadap BMCTV, BSCTV dan BCTV. Ketahanan tanaman terhadap
penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau
sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Bila ketahanan
dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan
sebaran diskontinu sehingga umumnya individu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi.
Untuk sifat yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel
(disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan
ragam lingkungan pada sifat yang dikendalikan oleh gen-gen minor. Karena jumlah
gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil,
maka ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar
merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek
dominan (Russel, 1981 dalam Hermawan et al.,
2014).
D.
Penyakit Antraknosa pada Cabai
Antraknosa (patek)
merupakan salah satu penyakit yang hingga saat ini masih menjadi kendala utama
dalam budidaya cabai, karena bisa menyebabkan kegagalan panen. Kehilangan
potensi hasil cabai akibat penyakit antraknosa dilaporkan bervariasi antara
25–100% (Hadden & Black 1988, Amilin et al. 1995, Wang & Sheu 2006,
Setiawati et al. 2011, Prathibha et al. 2013). Selain kuantitas, penyakit
antraknosa juga menurunkan kualitas cabai yang meliputi penurunan 16–69% kadar
penol, 20–60% kadar capsaisin, dan17–55% kadar oleoresin (Prathibha et al.
2013).
Gejala serangan penyakit
antraknosa pada buah ditandai dengan buah busuk berwarna kuning-cokelat,
seperti terkena sengatan matahari diikuti oleh busuk basah yang terkadang
muncul jelaga berwarna hitam, sedangkan pada biji dapat menimbulkan kegagalan
berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah.
Serangan pada tanaman dewasa dapat menyebabkan kematian pucuk yang berlanjut
dengan kematian bagian tanaman lainnya, seperti ranting dan cabang yang
mengering berwarna cokelat kehitaman. Pada batang cabai, aservulus cendawan
terlihat seperti tonjolan (Duriat 2007, Herwidyarti 2013). Buah yang terserang
antraknosa ditandai dengan gejala bercak berwarna hitam dan dapat berkembang
menjadi busuk lunak. Serangan berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering.
Patogen dapat juga menyerang pada buah yang sudah dipetik. Penyakit akan
berkembang dalam pengangkutan dan penyimpanan sehingga hasil panen akan
membusuk (Efri 2010). Penyebab penyakit antraknosa adalah cendawan Colletotrichum spp. Berdasarkan
morfologi spora, Colletotrichum spp.
dibagi menjadi empat spesies yaitu Colletotrichum
acutatum, Colletotrichum capsici, Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum
cocodes (Wang & Sheu 2006, Than
et al. 2008).
Upaya pengendalian
terhadap penyakit antraknosa sampai saat ini masih mengandalkan pestisida kimia
sintetik yang digunakan secara intensif di tingkat petani. Menurut Ameriana
(2008) penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sayuran diindikasikan dalam
jumlah yang berlebih. Hal ini berdampak terhadap tingginya tingkat residu
pestisida pada cabai (Mutiatikum & Raini 2006). Residu pestisida sangat
berbahaya bagi manusia, hasil penelitian Lubis et al. (2013) menunjukkan bahwa
residu pestisida yang terjadi pada fase kehamilan dapat menyebabkan mutasi
genetik dan menurunkan bakat leukimia pada individu tersebut dan keturunannya
pada masa mendatang.
Salah satu solusi untuk
memecahkan permasalahan penyakit antraknosa adalah melalui program pemuliaan
tanaman. Walaupun perakitan varietas tahan relatif memerlukan periode waktu
yang panjang, varietas tahan antraknosa tetap penting diwujudkan sebagai
kontribusi bidang pemuliaan tanaman untuk menurunkan tingkat penggunaan
pestisida oleh petani dan menyediakan produk aman bagi konsumen. Tahapan
kegiatan pemuliaan meliputi koleksi plasma nutfah, karakterisasi, seleksi
tetua, dan perluasan keragaman genetik (melalui hibridisasi, mutasi, fusi
protoplas, dan rekayasa genetika). Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan seleksi
setelah perluasan keragaman genetik, evaluasi, dan pengujian serta
pelepasan/pendaftaran varietas dan perbanyakan benih (Syukur et al. 2012,
Sutjahyo 2013).
Koleksi plasma nutfah
tahan antraknosa umumnya berasal dari genotip cabai hasil introduksi yang
bentuk dan ukuran buahnya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia,
sedangkan varietas cabai yang telah beredar di masyarakat dan diminati konsumen
tidak memiliki ketahanan terhadap serangan antraknosa. Perluasan keragaman
genetik melalui persilangan perlu dilakukan sebagai langkah awal program
pemuliaan perakitan varietas tahan antraknosa. Penelitian ini bertujuan
menyeleksi tetua tahan penyakit antraknosa dan mengetahui keberhasilan persilangan
antara tetua tahan dengan varietas Balitsa yaitu Kencana dan Tanjung-2 dalam
rangka memperluas keragaman genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa
sebagai bahan dasar untuk program seleksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar