Minggu, 24 September 2017
Senin, 18 September 2017
Tinjauan Pustaka Cabai
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Botani Cabai
Tanaman cabai
(Capsicum annuum L.) berasal dari daratan Amerika Selatan dan Amerika
Tengah. Tanaman cabai
tumbuh kira-kira sejak 2500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat yang pertama kali
memanfaatkan dan mengembangkan cabai adalah orang Inca di Amerika
Selatan, orang Maya di Amerika Tengah, dan orang Aztek di Meksiko. Mereka
memanfaatkannya sebagai bumbu masakan. Pada tahun 1500-an, bangsa Portugis
mulai memperdagangkan cabai ke Makao dan Goa,
kemudian masuk ke India, Cina, dan Thailand. Hingga sekarang belum ada data
yang pasti mengenai kapan cabai dibawa masuk ke Indonesia.
Menurut dugaan kemungkinan cabai dibawa oleh
saudagar-saudagar dari Persia ketika singgah di Aceh. Sumber lain menyebutkan
bahwa cabai masuk ke Indonesia
dibawa oleh bangsa Portugis (Susmawati dan Muda, 2013). Sejak saat itu cabai
berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sudah
terbiasa memanfaatkan buah cabai sebagai bumbu masakan dan daunnya sebagai obat
luar. Penyebarluasan lewat biji atau benih diduga dilakukan secara tidak
sengaja oleh burung-burung liar ( Setiadi, 2013).
Klasifikasi tanaman cabai keriting adalah sebagai berikut (USDA, 2013):
Class :
Magnoliopsida
Subclass :Asteridae
Ordo :
Solanales
Tanaman cabai memiliki banyak ragam bentuk dan tipe
pertumbuhan. Bentuk
dan ukuran buahnya bervariasi, mulai
dari bulat, lonjong, hingga panjang dengan ukuran kecil sampai besar. Cabai
yang sebagian besar hidup dan berkembang di Benua Amerika diperkirakan sebanyak
20 spesies. Masyarakat di Indonesia umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja,
yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Harpenas dan
Dermawan, 2010).
Menurut Djarwaningsih (1984), buah cabai
besar (Capsicum annuum L.) memiliki panjang berkisar 6-10 cm, diameter
0,7-1,3 cm. Cabai besar di Indonesia dibagi menjadi dua
kelompok yaitu cabai merah besar dan cabai merah keriting. Permukaan buah cabai
merah besar halus dan mengkilat serta mempunyai rasa pedas, sedangkan cabai
merah keriting bentuknya lebih ramping dengan cita rasa sangat pedas. Cabai
besar dapat tumbuh subur di dataran rendah sampai dataran tinggi. Cabai merah
memiliki ciri-ciri antara lain bentuk buah besar, panjang, dan meruncing; buah
muda berwarna hijau, sedangkan buah tua berwarna merah; banyak terdapat biji
dan rasanya agak pedas.
Cabai keriting termasuk tanaman semusim,
berbentuk perdu atau setengah perdu, mempunyai sistem perakaran agak menyebar,
batang utama tumbuh tegak dan pangkalnya berkayu. Daun tumbuh secara tunggal
dengan bentuk sangat bervariasi, yaitu lancip sampai bulat telur dan ujungnya
runcing. Bentuk bunga cabai besar umumnya tunggal yang keluar dari
ketiak-ketiak daun. Daun bunga berwarna putih atau unggu dan mempunyai lima
benang sari serta satu buah putik. Penyerbukan dapat berlangsung secara silang
ataupun menyerbuk sendiri dan buah umunya terbentuk tunggal. Struktur buah
cabai besar terdiri atas kulit, daging buah, dan didalamnya terdapat sebuah
plasenta (tempat biji menempel secara tersusun) (Rukmana,2000).
Syarat tumbuh tanaman cabai adalah
dataran rendah hingga menengah pada ketinggian 0-800 m dpl dengan suhu berkisar
20-25oC, pada ketinggian di
atas 1.300 m dpl, cabai tumbuh sangat lambat dan pembentukan buahnya juga
terhambat. Adapun suhu bulanan yang dibutuhkan selama proses pembuahan berkisar
21-28oC. Tanaman cabai tidak
menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah karena pada keadaan
tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit. Curah hujan yang baik untuk
tanaman cabai yaitu 600-1250 mm/tahun.Tanaman cabai dapat tumbuh dan
beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berpasir
hingga tanah liat. Umumnya tanah yang baik untuk pertanaman cabai yaitu tanah
lempung berpasir atau tanah ringan yang banyak mengandung bahan organik dan
unsur hara. Pertumbuhan cabai akan optimum jika ditanam pada tanah dengan pH
6-7. Tanaman cabai dapat ditanam kapanpun tanpa tergantung musim (Harpenas dan
Dermawan, 2010).
B.
Budidaya Tanaman Cabai
Pengolahan tanah
dilakukan untuk hasil produksi tanaman cabai keriting yang berkualitas.
Pengolahan tanah tersebut memiliki beberapa syarat (Anonim, 2015).
1. Tanaman
cabai memerlukan tanah yang gembur untuk tumbuh baik. Tanah yang digunakan
harus memiliki porositas yang baik.
2.
Pembajakan dan pencangkulan lahan
diusahakan sedalam 30 cm, hal ini dilakukan agar perakaran tanaman cabai tidak
terganggu oleh kepadatan tanah.
3. Pembuatan
bedengan dengan tinggi 30 cm yang memiliki jarak antar bedengan 60 cm,
sedangkan panjang bedengan tergantung dengan kondisi lahan dilapangan. Hal
tersebut dilakukan untuk memaksimalkan bedengan agar saluran drainase yang baik
karena pada umumnya tanaman cabai tidak akan tahan terhadap genangan. Tanaman
cabai memrlukan pH tanah sekitar 6 sampai 7, apabila pH di bawah itu maka perlu
ditambahkan kapur dengan takaran sebanyak 2 – 4 ton (tergantung berapa pH
awal).
4. Teknik
budidaya cabai intensif memerlukan bedengan dengan menggunakan mulsa plastik.
Penggunaan mulsa bermanfaat untuk menekan terjadinya erosi, mempertahankan
kelembaban tanah, mengendalikan gulma dan juga dapat sebagai salah satu pemutus
rantai hama dan penyakit tanaman cabai.
Tanaman cabai memerlukan perhatian
khusus dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang perlu dilakukan antara lain:
penyiraman dan pengendalian gulma. Perkecambahan cabai akan berjalan dengan
baik apabila mendapatkan kelembaban yang cukup. Untuk itu, perlu dilakukan
penyiraman secara rutin. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari ketika awal masa
tanam, pagi dan sore. Penyiraman harus dilakukan secara hati – hati agar tidak
menggeser benih. Kemudian pengendalian gulma dilakukan secara rutin agar
tanaman mampu tumbuh dan berkembang secara efisien yang tidak melakukan
kompetisi dengan gulma (Warisno,2010).
Pemanenan dapat di lakukan pada umur 2,5
– 3 bulan di hitung sejak tanam. Pemanenan dapat di lakukan hingga tanaman
cabai mencapai umur 6 bulan bahkan bisa lebih, umur maksimal cabai adalah 24
bulan. Fase panen hingga 15-18 kali dalam sekali tanam. Perhitunganya pada umur
yang tua hasil panen akan berkurang dan kualitas cabai akan menurun sehingga
tidak ekonomis lagi. Pemanenan dilakukan pada pagi hari karena pada pagi hari
belum terjadi proses yang melibatkan cahaya matahari sehingga asimilat tidak
tereduksi. Cara pemanenan adalah dengan memetik buah berserta tangkainya. Buah
yang yang baik bentuknya ramping dan padat berisi. Tipe buah seperti ini
biasanya rasanya pedas dan dihargai lebih tinggi di pasar dibanding buah yang
besar namun kopong (Agrotani,2015).
Buah cabai dari setiap varietas cabai
mempunyai perbedaan dalam jumlah dan bobot per satuan berat, yang berpengaruh
terhadap rendemen biji. Perlakuan buah melalui penyimpanan buah beberapa hari
setelah panen akan lebih memudahkan dalam prosesing benih secara manual. Dalam
prosesing benih cabai, perontokan benih dapat dilakukan
secara manual untuk buah yang jumlahnya sedikit. Untuk buah yang jumlahnya
banyak dapat digunakan alat bantu seperti penggiling daging yang telah
dimodifikasi, yaitu ujung pisau ditumpulkan untuk mengekstrak benih cabai.
Untuk itu benih perlu dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir
(Kusandriani dan Muharam, 2005)
Jika kadar air benih awal sudah baik dan
konstan, yaitu lebih kurang 7%, maka untuk penyimpanan jangka menengah (medium)
benih ditempatkan di “Cold Storage” dengan kelembaban 15 – 50%. Dua faktor yang
menentukan kualitas dan daya tahan benih di tempat penyimpanan benih (gudang
benih) adalah kadar air benih dan suhu gudang penyimpanan “suhu rendah”. Untuk
penyimpanan benih jangka menengah (18 -24 bulan), suhu yang
diperlukan adalah 16 – 20 ºC, dan kelembaban 50% (Sutopo 1993).
C.
Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit
Ketahanan tanaman terhadap penyakit
didefinisikan sebagai suatu karakter yang memungkinkan tanaman terhindar,
mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan penyakit dalam kondisi yang
akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman oleh patogen (Hammerschmidt
dan Dann, 2000 dalam Firmansyah, 2008).
Ketahanan tanaman inang terhadap infeksi
patogen dibagi menjadi dua, yaitu ketahanan pasif dan aktif. Salah satu bentuk
ketahanan tanaman terhadap penyakit yaitu ketahanan mekanis yang merupakan
ketahanan aktif. Sifat ketahanan aktif terjadi setelah tanaman terinfeksi.
Ketahanan pasif disebabkan adanya srtuktur tanaman yang menjadi penghalang
patogen untuk melakukan penetrasi karena tanaman mempunyai epidermis yang
berkutikula tebal, lapisan lilin, dan jumlah stomata sedikit. Ketahanan
metabolik juga merupakan ketahanan pasif yang disebabkan adanya senyawa-senyawa
metabolit yang dihasilkan tanaman, baik sebelum maupun sesudah infeksi. Menurut
Hardi dan Darwiati (2007) sifat-sifat tanaman resisten dipengaruhi oleh faktor
(1) genetik yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik, (2)
morfologi yaitu sifat tahan yang disebebkan oleh sifat morfologi tanaman yang
tidak menguntungkan hama, dan (3) ekologi yaitu ketahanan tanaman yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Syukur et al., 2009).
Ketahanan genetik yaitu sifat tahan yang
diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan. Berdasarkan susunan dan
sifat-sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi:
1. monogenik,
sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif;
2. oligogenik,
sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain; dan
3. polygenik,
sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen
memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe patogen sehingga
mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.
Ketahanan genetik juga dapat dibedakan
menjadi beberapa tipe yaitu ketahanan vertikal dan ketahanan horizontal.
Ketahanan vertikal adalah suatu bentuk ketahanan tanaman yang dikendalikan oleh
satu atau beberapa gen, biasanya sifatnya sangat tahan, sifat ketahanannya
sangat mudah patah, jadi kalau ketahanannya sudah patah maka seolah-olah
tanaman itu tidak mempunyai ketahanan. Tipe ketahanan vertikal dikendalikan
oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik).
Secara
umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri (Sutopo et al., 1992):
1. biasanya
diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen;
2. relatif
mudah diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan
genetik;
3. menghasilkan
ketahanan genetik tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika
timbul biotipe baru maka ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman
menjadi sangat rentan terhadap biotipe tersebut; dan
4. biasanya
menunda awal terjadinya epidemi, tetapi apabila terjadi epidemi maka
kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang rentan.
Tipe Ketahanan horizontal disebut juga
ketahanan kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan demikian masih
menunjukan sedikit kepekaan terhadap penyakit tetapi memiliki kemampuan untuk
memperlambat laju perkembangan penyakit.Secara teoritis, ketahanan horizontal
umumnya sulit dipatahkan. Kultivar dengan tipe ketahanan demikian dapat
diperoleh dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan minor ke dalam suatu
kultivar dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional
maupun non-konvesional (Kush, 1997).
Ciri-ciri
khusus ketahanan horizontal adalah (Sutopo et al., 1992):
1. biasanya
memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tipe ketahanan
vertikal, dan jarang didapat immunitas;
2. diwariskan
secara poligenik dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen; dan
pengaruhnya terlihat dari penurunan laju perkembangan penyakit
Ketahanan terhadap
virus dilaporkan terdapat pada cabai keriting, menurut Jimenez et al.(2014)
galur cabai liar yang berasal dari New Mexico State University (NMSU) yaitu
NuMex Bailey Piquin, NuMex Twilight, PI 257053, PI 281297, PI 288938, PI 357522 memiliki ketahanan terhadap Beet Curly
Top Virus (BCTV) dan satu kultivar ‘NuMex Las Cruces'
cayenne’ tahan terhadap BMCTV, BSCTV dan BCTV. Ketahanan tanaman terhadap
penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau
sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Bila ketahanan
dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan
sebaran diskontinu sehingga umumnya individu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi.
Untuk sifat yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel
(disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan
ragam lingkungan pada sifat yang dikendalikan oleh gen-gen minor. Karena jumlah
gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil,
maka ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar
merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek
dominan (Russel, 1981 dalam Hermawan et al.,
2014).
D.
Penyakit Antraknosa pada Cabai
Antraknosa (patek)
merupakan salah satu penyakit yang hingga saat ini masih menjadi kendala utama
dalam budidaya cabai, karena bisa menyebabkan kegagalan panen. Kehilangan
potensi hasil cabai akibat penyakit antraknosa dilaporkan bervariasi antara
25–100% (Hadden & Black 1988, Amilin et al. 1995, Wang & Sheu 2006,
Setiawati et al. 2011, Prathibha et al. 2013). Selain kuantitas, penyakit
antraknosa juga menurunkan kualitas cabai yang meliputi penurunan 16–69% kadar
penol, 20–60% kadar capsaisin, dan17–55% kadar oleoresin (Prathibha et al.
2013).
Gejala serangan penyakit
antraknosa pada buah ditandai dengan buah busuk berwarna kuning-cokelat,
seperti terkena sengatan matahari diikuti oleh busuk basah yang terkadang
muncul jelaga berwarna hitam, sedangkan pada biji dapat menimbulkan kegagalan
berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah.
Serangan pada tanaman dewasa dapat menyebabkan kematian pucuk yang berlanjut
dengan kematian bagian tanaman lainnya, seperti ranting dan cabang yang
mengering berwarna cokelat kehitaman. Pada batang cabai, aservulus cendawan
terlihat seperti tonjolan (Duriat 2007, Herwidyarti 2013). Buah yang terserang
antraknosa ditandai dengan gejala bercak berwarna hitam dan dapat berkembang
menjadi busuk lunak. Serangan berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering.
Patogen dapat juga menyerang pada buah yang sudah dipetik. Penyakit akan
berkembang dalam pengangkutan dan penyimpanan sehingga hasil panen akan
membusuk (Efri 2010). Penyebab penyakit antraknosa adalah cendawan Colletotrichum spp. Berdasarkan
morfologi spora, Colletotrichum spp.
dibagi menjadi empat spesies yaitu Colletotrichum
acutatum, Colletotrichum capsici, Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum
cocodes (Wang & Sheu 2006, Than
et al. 2008).
Upaya pengendalian
terhadap penyakit antraknosa sampai saat ini masih mengandalkan pestisida kimia
sintetik yang digunakan secara intensif di tingkat petani. Menurut Ameriana
(2008) penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sayuran diindikasikan dalam
jumlah yang berlebih. Hal ini berdampak terhadap tingginya tingkat residu
pestisida pada cabai (Mutiatikum & Raini 2006). Residu pestisida sangat
berbahaya bagi manusia, hasil penelitian Lubis et al. (2013) menunjukkan bahwa
residu pestisida yang terjadi pada fase kehamilan dapat menyebabkan mutasi
genetik dan menurunkan bakat leukimia pada individu tersebut dan keturunannya
pada masa mendatang.
Salah satu solusi untuk
memecahkan permasalahan penyakit antraknosa adalah melalui program pemuliaan
tanaman. Walaupun perakitan varietas tahan relatif memerlukan periode waktu
yang panjang, varietas tahan antraknosa tetap penting diwujudkan sebagai
kontribusi bidang pemuliaan tanaman untuk menurunkan tingkat penggunaan
pestisida oleh petani dan menyediakan produk aman bagi konsumen. Tahapan
kegiatan pemuliaan meliputi koleksi plasma nutfah, karakterisasi, seleksi
tetua, dan perluasan keragaman genetik (melalui hibridisasi, mutasi, fusi
protoplas, dan rekayasa genetika). Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan seleksi
setelah perluasan keragaman genetik, evaluasi, dan pengujian serta
pelepasan/pendaftaran varietas dan perbanyakan benih (Syukur et al. 2012,
Sutjahyo 2013).
Koleksi plasma nutfah
tahan antraknosa umumnya berasal dari genotip cabai hasil introduksi yang
bentuk dan ukuran buahnya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia,
sedangkan varietas cabai yang telah beredar di masyarakat dan diminati konsumen
tidak memiliki ketahanan terhadap serangan antraknosa. Perluasan keragaman
genetik melalui persilangan perlu dilakukan sebagai langkah awal program
pemuliaan perakitan varietas tahan antraknosa. Penelitian ini bertujuan
menyeleksi tetua tahan penyakit antraknosa dan mengetahui keberhasilan persilangan
antara tetua tahan dengan varietas Balitsa yaitu Kencana dan Tanjung-2 dalam
rangka memperluas keragaman genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa
sebagai bahan dasar untuk program seleksi.
Tinjauan Pustaka Kelapa Sawit
A. Botani
Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman
dari jenis palm yang umumnya dibudidayakan untuk diambil minyak nabatinya.
Dalam klasifikasi tanaman, posisi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut
(Pahan, 2013):
Divisi :
Embryophyta Siphonagama
Kelas :
Angiospermae
Ordo :
Monocotyledonae
Famili :
Arecaceae
Subfamili : Cocoideae
Genus :
Elaeis
Spesies :
1.
Elaeis guineensis Jacq.
2.
Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes
3. Elaeis odora
Terdapat 3 spesies tanaman kelapa sawit
yaitu Elaeis guineensis Jacq., Elaeis oleifera dan Elaeis odora. Dari ketiga spesies kelapa sawit ini spesies Elaeis guineensis Jacq. merupakan
spesies kelapa sawit yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia (Andoko dan Widodoro, 2013).
Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman
monokotil. Batang tanaman ini lurus, umumnya tidak bercabang dan tidak memiliki
kambium. Tanaman ini termasuk tanaman monoecious
atau tanaman berumah satu dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat
pada satu pohon. Kedua jenis bunga yang keluar dari ketiak pelepah daun
berkembang terpisah. Penyerbukan dapat terjadi secara silang maupun menyerbuk
sendiri. Tanaman kelapa sawit dapat menjadi bagian vegetatif dan bagian
generatif. Bagian vegetatif terdiri atas akar, batang, dan daun. Sedangkan
bagian generatif terdiri dari bagian bunga dan buah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Bagian-bagian tanaman kelapa sawit yaitu:
1.
Akar
Sistem perakaran tanaman kelapa sawit
adalah sistem akar serabut, terdiri dari akar primer, sekunder, tersier dan
kuartener. Akar primer umumnya berdiameter antara 6-10 mm, keluar dari pangkal
batang dan menyebar secara horizontal dan menghujam ke dalam tanah dengan sudut
yang beragam. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder yang diameternya antara
2-4 mm. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier dengan diameter 0,7-1,2
mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener (Pahan, 2013).
Perakaran tanaman kelapa sawit yang
paling padat berada pada kedalaman 25 cm. Panjang akar yang tumbuh ke samping
dapat mencapai panjang 6 m. Tanaman kelapa sawit tidak boleh terendam air, oleh
karena itu permukaan air tanah harus diupayakan sedalam 80-100 cm, khusunya
pada areal lahan gambut drainasenya harus lancar (Risza, 1994).
2.
Batang
Pada batang tanaman kelapa sawit,
terjadi pembengkakan pangkal batang (bole)
yang terjadi karena internodia (ruas batang) dalam masa pertumbuhan awal tidak
memanjang sehingga pangkal-pangkal pelepah daun yang tebal berdesakan. Bongkol
batang ini membantu memperkokoh posisi pohon pada tanah agar dapat berdiri
tegak. Pada tahun pertama sampai tahun kedua perkembangan batang lebih mengarah
ke samping, diameter batang dapat mencapai 60 cm. Setelah itu pertumbuhan
tanaman kelapa sawit akan mengarah keatas sehingga diameter batang menjadi
sekitar 40 cm. Pemanjangan batang berlangsung lambat, tinggi pohon bertambah
35-75 cm per tahun (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
3.
Daun
Daun tanaman kelapa sawit terdiri dari
tangkai daun yang pada kedua sisinya terdapat duri (spines). Tangkai daun bersambung dengan tulang daun utama (rachis) yang jauh lebih panjang dari
tangkai dan pada kanan-kirinya terdapat anak daun (pinna;pinnata). Tiap anak daun terdiri dari tulang anak daun (lidi)
dan helai daun (lamina). Anak daun
terpanjang yang terletak pada bagian
pertengahan daun panjangnya dapat mencapai 1,2 m. Jumlah anak daun dapat
mencapai 250-300 helai per daun (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Letak daun pada batang mengikuti pola
tertentu yang disebut filositaksis. Daun yang berurutan dari bawah ke atas
membentuk suatu spiral dengan rumus daun 1/8. Maksud dari rumus daun 1/8 ini
adalah setiap spiral yang terbentuk tersusun dari daun dengan kelipatan 8 (Risza,
1994).
4.
Bunga
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monoecious (berumah satu) artinya bunga
jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak berada pada
posisi yang sama. Meskipun demikian, kadang-kadang dijumpai juga bunga jantan
dan bunga betina pada satu tandan (hemaprodit). Bunga muncul dari ketik daun. Bunga
jantan maupun bunga betina mempunyai ibu tangkai bunga yang merupakan struktur
pendukung spikelet (Pahan, 2013)
5.
Buah
Buah kelapa sawit digolongkan sebagai
buah yang terdiri dari pericarp yang terbungkus oleh exocarp (kulit), mesocarp
(daging buah), endocarp (cangkang) dan karnel (inti). Lama pembentukan buah,
dari setelah terjadi penyerbukan sampai pemasakan buah dipengaruhi oleh keadaan
iklim dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Lama proses
pemasakan buah berbeda-beda ditiap daerah yang memiliki kondisi iklim yang
berbeda. Di Sumatra berkisar antara 5-6 bulan, sedangkan di Afrika lama
pemasakan buah berkisar antara 6-9 bulan (Setyamidjaja, 2006).
Proses pembentukan minyak pada buah
kelapa sawit berlangsung selama 24 hari, yaitu sampai buah mencapai tingkat
masak. Masaknya buah kelapa sawit dalam satu tandan tidak terjadi bersamaan,
melainkan berangsur-angsur dimulai dari bagian atas dan bagian samping yang
terkena sinar matahari menuju bagian pangkal tandan. Suatu tandan buah kelapa
sawit dikatakan sudah masak ketika ada beberapa buah yang sudah rontok
(Setyamidjaja, 2006).
B. Syarat
Tumbuh Kelapa Sawit
Keberhasilan budidaya suatu komoditas sangat bergantung pada varietas
tanaman yang ditanam, agroekologis lahan dan pengelolaan yang dilakukan oleh
pembudidaya. Lingkungan agroekologi sangatlah memegang peran yang sangat
penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman kelapa sawit :
1.
Iklim
Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai
berada pada 15°LU-5°LS, ketinggian yang ideal berkisar antara 0-400 mdpl, curah
hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun, suhu optimum adalah 29-30°C, intensitas
sinar matahari sekitar 5 - 7 jam/hari dengan rata-rata penyinaran 6 jam /hari,
kelembaban optimum sekitar 80-90 % (Sasongko, 2010). Kesesuaian lahan kelas 1
untuk budidaya tanaman kelapa sawit menghendaki curah hujan sebesar 2000–2500
mm/tahun dengan distribusi merata. Tetapi masih ditoleransi sampai dengan 1500
mm/tahun. Curah hujan lebih dari 2500 mm akan menstimulasi terjadinya erosi
yang akan menurunkan kesuburan tanah, sedangkan bulan kering yang signifikan akan mengakibatkan terjadinya
defisit air dan dapat menekan produksi
(Sasongko, 2010). Menurut Sastrosayono (2003), curah hujan yang terlalu tinggi
tidak akan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman kelapa sawit asalkan
drainase lahan cukup baik dan penyinaran matahari cukup.
Temperatur yang paling sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah
22–33oC. Sinar matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan
memacu pertumbuhan bunga dan buah (Sasongko,
2010). Menurut Sastrosayono (2003), semakin panjang hari penyinaran menunjukkan korelasi
positif terhadap produksi tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit
dewasa yang ternaungi, produksi bunga betinanya sedikit sehingga rasio bunga
betina dan jantannya kecil.
2.
Tanah
Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik,
Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol dengan nilai pH optimum adalah 5,0–5,5, tanah
gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam
tanpa lapisan padas. Solum tanah >80cm tanpa ada lapisan padas, tekstur
lempung atau liat dengan komposisi pasir 20–60%, debu 10 –40%, liat 20–50.
Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara
yang tinggi, dengan C/N mendekati 10 dimana C 1% dan N 0,1% (Sasongko, 2010).
Pada daerah lahan gambut, drainase yang tidak tepat
menjadi faktor penghamabat dalam menunjang produktivitas kelapa sawit. Drainase
merupakan keadaan tata air dalam tubuh profil tanah yang merupakan resultan
atau hasil akhir dari gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air
aliran permukaan (run off). Kedalaman
muka air tanah ikut mempengaruhi keadaan drainase karena gerakan air kapiler
kearah permukaan tanah ikut mempengaruhi basah atau keringnya tubuh tanah (Krisnohadi,
2011).
C. Pemeliharaan
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Kelapa Sawit
Pemeliharaan TBM merupakan kegiatan lanjutan dari
kegiatan pengolahan lahan dan penanaman. Beberapa kegiatan pemeliharaan yang
paling berpengaruh terhadap keberhasilan dan optimalisasi produktivitas kelapa
sawit yaitu pemeliharaan piringan pokok, pemupukan, pengendalian OPT, kastrasi
dan penunasan daun.
1.
Pemeliharaan
piringan pokok dan gawangan
Pembuatan piringan
dilakukan untuk mempermudah pekerja dalam melakukan pemupukan dan pengontrolan.
Area piringan yang bebas dari gulma biasanya sekitar 30 cm di luar luas tajuk
atau maksimal 150 cm dari pokok (Sunarko, 2014). Pemeliharaan piringan dan
gawangan pada tanaman belum menghasilkan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
cara manual dan cara kimiawi. Cara manual dilakukan dengan menggaruk gulma yang
berada di dalam area piringan. Gulma digaruk ke arah luar piringan pokok secara
bergantian, gulma-gulma tersebut dikumpulkan secara merata di pinggir piringan.
Cara pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan menyemprot gulma
menggunakan herbisida glifosat. Penyemprotan herbisida diusahakan tidak
mengenai daun dan bunga tanaman kelapa sawit (Andoko dan Widodoro, 2013).
2.
Pemupukan
Jenis pupuk yang sering diberikan pada tanaman belum
menghasilkan adalah pupuk buatan yang mengandung unsur N, P, K, Mg dan B. Pada
tanah gambut perlu diberi pupuk yang mengandung unsur hara mikro Cu dan Zn.
Kondisi kekurangan hara N, P, K dan Mg pada tanaman dapat menyebabkan tanaman
kelapa sawit muda pertumbuhannya akan terhambat, sehingga tanaman akan terlihat
kerdil tetapi tidak menyebabkan kematian apabila defisiensi unsur tidak terlalu
parah (Setyamidjaja, 2006). Pada fase TBM, jenis pupuk yang sering digunakan
adalah pupuk majemuk. Pupuk kimia majemuk ini bersifat tidak mudah tercuci dan
menguap sehingga pupuk ini cocok digunakan pada lahan marjinal (Andoko dan Widodoro, 2013). Sedangkan jenis pupuk organik yang
banyak digunakan antara lain pupuk kandang, kompos, gambut, dan pupuk alam
seperti: dolomite, fosfat alam, kiserit dan juga abu. Pupuk organik dapat
meningkatkan KTK (Kapasitas Tukar Kation), sehingga tanaman lebih mudah
menyerap hara, meningkatkan kemampuan tanah dalam mempertahankan lengas tanah (Andoko
dan Widodoro, 2013). Pemupukan pada fase TBM dapat dilakukan
dengan cara tebar atau benam. Pada pemupukan cara tebar, pupuk ditebar di
piringan dengan jarak 0,5 m dari pokok, sedangkan pada pemupukan dengan cara
benam, pupuk dibenamkan di dalam 4- 6 lubang mengelilingi piringan dengan jarak
1 m dari pokok kemudian ditutup dengan tanah. Waktu pemupukan biasanya pada
awal dan akhir musim hujan (Andoko dan Widodoro, 2013).
3.
Pengendalian
OPT
Pada suatu kegiatan usaha budidaya, kehadiran organisme
pengganggu tanaman tidak dapat dipungkiri, termasuk dalam kegiatan budidaya
tanaman kelapa sawit. Organisme pengganggu ini berupa gulma, hama dan patogen.
Gulma pada fase TBM pada umumnya sama dengan gulma yang mengganggu tanaman
kelapa sawit pada fase TM. Gulma yang sering mengganggu pertanaman kelapa sawit
dibagi menjadi dua macam, yaitu gulma berbahaya dan gulma lunak. Gulma-gulma
yang termasuk kelompok ini adalah lalang (Imperata
cylindrica), sambung rambat (Mikania
cordata), lempuyangan (Panicum rapens),
teki (Cyperus rotundus), serta gulma
berkayu lainnya. Gulma lunak merupakan gulma yang keberadaan pada sekitaran tanaman
pokok masih bisa ditolerir. Gulma-gulma yang termasuk kedalam kelompok gulma
lunak diantaranya babadotan (Ageratum
conyzoides), rumput kipahit (Paspalum
conjugatum) dan pakis (Nephrolepis
biserata) (Setyamidjaja, 2006).
Pengendalian gulma di pertanaman kelapa sawit dapat
dilakukan dengan cara manual, kimia dan kultur teknis. Pengendalian secara
manual dilakukan menggunakan alat konvensional dengan upaya konvensional pula,
seperti dibabat, dicangkul dan digarpu. Pengendalian secara kimia dilakukan
dengan menggunakan herbisida baik herbisida kontak maupun herbisida sistemik.
Pada pengendalian kultur teknis dilakukan dengan cara penanaman tanaman penutup
tanah jenis kacang-kacangan (Legume Cover
Crop/LCC) (Setyamidjaja, 2006).
Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah
ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, kumbang tanduk, dan kumbang malam. Pengendalian
hama terutama hama serangga menggunakan insektisida. Pengendalian hama tikus
dilakukan dengan cara memasang umpan Klerat RM-B atau umpan jenis lainnya yang
direkomendasikan Lembaga Penelitian Kelapa Sawit. Pengendalian dilakukan dua
kali dalam setahun (Pahan, 2013).
Penyakit pada tanaman kelapa sawit yang dapat menimbulkan
kerugian ekonomi yaitu bintik (Cercospora
elaedist), busuk batang ganoderma (Ganoderma
spp.), busuk batang armilaria (Armillariella
mellea), busuk daun corticium (Corticium
solani) dan busuk marasmius (Marasmius palmivora), serta beberapa
penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang ringan. Pengendalian penyakit
pada tanaman kelapa sawit dilakukan dengan cara kimiawi, penghilangan bagian
tanaman yang terinfeksi serta sanitasi lahan untuk mencegah timbulnya penyakit
(Kurian dan Peter, 2007).
4.
Kastrasi
Tanaman kelapa
sawit sudah mulai berbunga pada umur 14- 20 bulan. Untuk mendukung pertumbuhan
vegetatif pada fase TBM maka tanaman yang sudah menghasilkan bunga pada umur
muda ini dikastrasi (Purwanto, 2010). Kastrasi atau ablasi merupakan
serangkaian kegiatan penghilangan semua produk generatif yaitu berupa bunga
jantan, bunga betina dan tandan buah. Memelihara tandan buah pada awal
pembungaan dinilai kurang menguntungkan karena tandan yang muncul kecil dan
randemen minyaknya rendah (Kurian dan Peter, 2007). Kastrasi dapat dimulai jika 25% tanaman
sudah mulai berbunga. Kegiatan ini dilakukan setiap bulan, dimulai dari bulan
ke-14 sampai bulan ke-26 setelah penanaman (Sunarko, 2007). Manfaat dari
kegiatan kastrasi bagi tanaman kelapa sawit antara lain untuk merangsang
pertumbuhan vegetatif, menghemat penggunaan unsur hara dan air, mengurangi
resiko serangan hama Tirathaba dan
cendawan marasmus serta agar pada saat panen perdana ukuran tandan lebih besar,
berat dan sempurna (Risza, 2010).
5.
Penunasan/pemangkasan
daun (pruning)
Pemangkasan
merupakan upaya pengurangan sebagian daun pada batang tanaman kelapa sawit
denga tujuan-tujuan tertentu. Pada masa tanaman belum menghasilkan, kegiatan
pemangkasan dilakukan untuk mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman, memudahkan
proses pemanenan apabila tanaman sudah mulai menghasilkan buah, selain itu
pemangkasan pada tanaman kelapa sawit perlu dilakukan karena daun kelapa sawit
memiliki sifat tidak mudah rontok meski daunnya telah kering, daun yang telah
kering akan rontok beberapa tahun kemudian (Setyamidjaja, 2006).
Tanaman menghasilkan merupakan tanaman kelapa sawit dengan kondisi lebih
dari 25% sudah mulai menghasilkan TBS dengan berat lebih dari 3kg. Sasaran
pemeliharaan TM diantaranya memacu pertumbuhan daun dan buah seimbang, mempertahankan
buah agar mencapai kematangan yang maksimal, dan menjaga kesehatan tanaman
kelapa sawit. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencapai
sasaran tersebut, diantaranya pemupukan yang tepat, menjaga tanaman dari segala
gangguan seperti gulma dan hama penyakit, serta konservasi air yang memadai (Sunarko, 2009).
D.
Tahapan
Budidaya Tanaman Kelapa Sawit
Tahapan budidaya tanaman kelapa sawit meliputi pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit serta panen.
1. Pembibitan
Pembibitan
memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Selain itu pembibitan diperlukan untuk
memperpendek waktu antara persiapan lapangan dan penanaman pertama sehingga
begitu lahan siap tanam bibit sudah siap untuk ditanam. Pembibibitan juga
dimaksudkan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang bermutu tinggi. Lokasi pembibitan kelapa sawit – baik di
kebun tradisional maupun di areal pengembangan harus memperhatikan
syarat-syarat sebagai berikut : (Pahan, 2012)
a. Topografi
yang datar untuk memudahkan pengaturan bibit dan
mengurangi erosi akibat hujan lebat dan penyiraman. Sebisa mungkin, lokasi
pembibitan terlatak di tengah kebun.
b. Dekat
dengan sumber air yang tersedia cukup banyak.
c. Drainase
harus baik sehingga air hujan tidak akan tergenang.
d. Areal
harus jauh dari sumber hama dan penyakit, tersanitasi dengan baik dan terbuka,
serta tidak terhalang oleh pohon-pohon besar atau bangunan.
Pada saat penanaman
kecambah, kecambah-kecambah yang abnormal, patah, busuk dan lain-lain harus
diseleksi sebelum ditanam di polibag dengan melakukan uji berat jenis. Ciri
kecambah normal dapat dilihat pada pucuk dan akarnya yang dapat dibedakan
dengan jelas. Bentuk pucuk kecambah meruncing sedangkan akar agak tumpul,
panjang sekitar 8-25 mm, berwarna putih gading dan posisinya saling bertolak
belakang (Pahan, 2012).
2. Penanaman
2.1 Penentuan pola tanam
Pola tanam kelapa sawit
dapat monokultur ataupun tumpangsari. Pada pola tanam monokulltur, sebaiknya
penanaman tanaman kacang-kacangan sebagai tanaman penutup tanah dilaksanakan
segera setelah persiapan lahan selesai. Tanaman penutup tanah (legume cover crop atau LCC) pada areal
tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat
fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi,
mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan tanaman pengganggu
(gulma) (Kiswanto dkk., 2008)
2.2 Pembuatan lubang tanam
Lubang tanam dibuat
beberapa hari sebelum menanam. Ukurannya adalah 50x40x40 cm. Pada waktu
menggali lubang, tanah bagian atas dan bawah dipisahkan, masing-masing di
sebelah Utara dan Selatan lubang. (Kiswanto dkk., 2008)
2.3 Penanaman
Penanaman dilakukan
pada awal musim hujan, setelah hujan turun dengan teratur. Adapun tahapan
penanaman sebagai berikut: (Kiswanto dkk., 2008)
a.
Letakkan bibit yang berasal dari polibag di
masing-masing lubang tanam yang sudah dibuat.
b.
Siram bibit yang ada pada polybag sehari sebelum ditanam agar kelembaban tanah dan persediaan
air cukup untuk bibit.
c.
Sebelum penanaman dilakukan pemupukan dasar lubang
tanam dengan menaburkan secara merata pupuk fosfat seperti Agrophos dan
Rock Phosphate sebanyak 250gr/lubang.
d.
Buat keratan vertikal pada sisi polybag dan lepaskan polybag
dari bibit dengan hati-hati, kemudian dimasukkan ke dalam lubang.
e.
Timbun bibit dengan tanah galian bagian atas (top
soil) dengan memasukkan tanah ke sekeliling bibit secara berangsur-angsur dan
padatkan dengan tangan agar bibit dapat berdiri tegak.
f.
Penanaman bibit harus diatur sedemikian rupa sehingga
permukaan tanah polybag sama ratanya
dengan permukaan lubang yang
selesai ditimbun, dengan demikian bila hujan, lubang tidak akan tergenang air.
g.
Pemberian mulsa sekitar tempat tanam bibit sangat dianjurkan
2.4 Pemeliharaan
2.4.1
Penyulaman
dan penjarangan
Penyulaman dilakukan
untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbuh kurang baik. Penyulaman yang baik
dilakukan pada musim hujan. Banyaknya sulaman sekitar 3-5% setiap hektarnya.
Cara penyulaman sama dengan cara menanam bibit. (Kiswanto
dkk., 2008)
2.4.2
Pengendalian
gulma
Pengendalian gulma merupakan kegiatan untuk menekan
pertumbuhan gulma agar tidak menggangu pertumbuhan dan produksi tanaman.
Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual dan kimiawi. Cara manual
menggunakan alat tebas atau sejenisnya. Lakukan rotasi penyiangan setiap satu
bulan sekali. Penyiangan secara kimiawi dilakukan dengan menyemprotkan herbisida
sesuai dosis yang tertera pada label kemasan (Sunarko, 2009).
2.4.3
Penyiraman
Penyiraman
dilakukan setiap hari secara teratur dengan jumlah yang cukup. Jika musim
kemarau di siram dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Kebutuhan air
penyiramann sebanyak 2 liter air/tanaman/hari.
2.4.4
Pemupukan
Pemupukan
merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan
kualitas produksi yang dihasilkan. Salah satu efek pemupukan yaitu meningkatkan kesuburan tanah
yang menyebabkan tingkat produktivitas tanaman menjadi relatif stabil. Selain itu, pemupukan bermanfaat
melengkapi penyediaan unsur hara di dalam tanah sehingga kebutuhan tanaman
terpenuhi dan pada akhirnya tercapai daya hasil (produktivitas) yang maksimal.
Untuk
meningkatkan produksi maksimal kelapa sawit, maka dalam pelaksanaan pemupukan
harus mengacu pada tujuh tepat, yaitu tepat jenis, dosis, waktu, cara,
penempatan, bentuk formulasi, dan rotasi. Pupuk merupakan salah satu sumber
unsur hara utama yang sangat menentukan tingkat pertumbuhan dan produksi kelapa
sawit. Penyediaan hara dalam tanah melalui pemupukan harus seimbang, yaitu
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Untuk mencapai kondisi tanah yang subur
diperlukan kombinasi pemakaian pupuk organik dan anorganik. Unsur hara utama
yang mendapat perhatian dalam pemupukan tanaman kelapa sawit meliputi N, P, K,
Mg, Cu, dan B (Saputra, 2011).
Tabel 1. Dosis
Pemupukan Kelapa Sawit Berdasarkan Unsur Tanaman.
Jenis Pupuk
|
Dosis (Kg/Pokok/Tahun) *)
|
||
Umur
Tanaman
|
5
– 5
|
6
– 12
|
>12
|
Sulphate
of Amonia (ZA)
|
1,0
– 2,0
|
2,0
– 3,0
|
1,5
– 3,0
|
Rock
Phosphate (RP)
|
0,5
– 1,0
|
1,0
– 2,0
|
0,5
– 1,0
|
Muriate
of Potash (KCl)
|
0,4
– 1,0
|
1,5
– 3,0
|
1,5
– 2,0
|
Kieserite
(MgSO4)
|
0,5
– 1,0
|
1,0
– 2,0
|
0,5
– 1,5
|
Sumber:
Lubis (1992)
*) Keterangan : Pupuk
N, K, dan Mg diberikan dua kali aplikasi, pupuk P diberikan satu kali aplikasi,
dan pupuk B (bila diperlukan) diberikan dua kali aplikasi per tahun (salah satu
contoh dosis B adalah 0,05 – 0,1 Kg per
pohon per tahun). Pemupukan
kelompok TM sebenarnya merupakan lanjutan dari pemupukan yang pernah dilakukan
saat tanaman masih berumur TBM. Oleh karena itu, jadwal dan aplikasinya harus
berturutan dan saling terkait. Jenis pupuk yang diberikan pada kelompok umur TM
adalah sama dengan pupuk yang diberikan pada kelompok umur TBM. Dosis pupuk harus disesuaikan dengan umur dan tingkat produksi tanaman
(Hadi, 2004).
2.4.5
Pemangkasan
Teknik pemangkasan dilakukan secara teratur sesuai
dengan perkembangan atau umur tanaman yang ada. Adapun
tujuan pemangkasan pada tanaman secara umum adalah adalah sebagai berikut (Setyamidjaja,
2006) :
a.
Memperbaiki sirkulasi udara di sekitar tanaman
sehingga dapat membantu proses penyerbukan secara alami.
b.
Mengurangi penghalangan pembesaran buah dan kehilangan
brondolan buah terjepit pada pelepah daun.
c.
Membantu dan memudahkan pada waktu panen.
2.4.6
Pengendalian
Hama dan penyakit
Penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama dan
penyakit sangat tidak dianjurkan. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan
logam berat seperti tembaga (Cu), air raksa (Hg), dan Timah (Pb) (Pahan, 2012).
2.5 Panen
Pekerjaan
panen adalah pekerjaan eksploitasi potensi produksi. Meningkatkan eksploitasi
produksi adalah dengan memperkecil kerugian produksi. Produksi yang maksimal
hanya dapat tercapai apabila kerugian produksi minimal. Sumber kerugian
produksi meliputi buah mentah, buah tinggal di pokok, buah tinggal di blok, brondolan
tinggal, serta buah di TPH yang tidak terangkut atau terlambat dikirim (Herdiyanti,
2010).
Salah
satu kunci sukses panen adalah sarana panen yang baik, termasuk diantaranya
adalah pasar pikul. Pasar pikul adalah jalan diantara dua jalur tanaman dalam
blok yang digunakan untuk mempermudah aktifitas pekerjaan. Lebar pasar pikul
timbun yaitu ± 1,2 meter , tinggi ± 45 centimeter, serta lebar parit ± 50
centimeter. Pembuatan pasar pikul timbun ini akan memudahkan pengangkutan buah
dari dalam blok ke TPH terutama pada saat hujan karena areal rendahan khususnya
rawan tergenang atau banjir saat hujan (Hartono, 2008).
Langganan:
Postingan (Atom)